Bagian 4

52 8 0
                                    

Hail POV

Aku memanggil Glafira setelah itu, merasa kalau dia perlu tahu jika itu berkaitan dengan keluarga Amber. Saat datang, dia terlihat tak senang. Akan tetapi setelah aku menceritakan semua yang terjadi, Glafira mulai tertarik pada Misora.

"Aku yang berbicara dengannya, kamu diam saja di belakangku," perintah Glafira.

Aku mengangguk mengerti, berjalan mengikutinya ke ruang tahanan. Saat kami membuka pintu, Misora kembali tegang. Ia menatap takut-takut, memeluk bantal erat-erat. Glafira tak merasa kasihan sama sekali melihatnya, majikanku itu tanpa ragu mengambil tempat duduk tepat di samping Misora.

"Aku yakin kamu mengenali wajahku dan jika kau pintar, jawablah semua pertanyaan dariku," ucap Glafira.

Siapa yang tak kenal Glafira Ghea? Kepala keluarga Ghea, satu-satunya penguasa wanita pada era di mana wanita selalu dipandang rendah oleh laki-laki. Tak ada satu pun penduduk kota ini yang tak mengenalnya. Wanita tiran yang dengan sombongnya menginjak-injak laki-laki yang berani merendahkannya. Misora tentunya tahu jelas akan hal itu. Sebagai salah satu aktris yang aktif dalam kampanye pembela hak asasi wanita sepertinya, sosok Glafira seperti dewi jahat baginya.

"I-iya," jawab Misora, tergagap. Sikapnya jauh beda saat berhadapan denganku, padahal kami bisa dibilang komplotan yang menculiknya.

"Aku ingin tahu hubunganmu dengan Noir Amber." Glafira memang tak tahu yang namanya basa-basi, dia langsung bertanya tentang hal utama. Dengan nada memerintah dan terdengar bagai tuntutan daripada pertanyaan.

Misora terkaget, dia jadi gelisah. Kebingungan mau menjawab apa. Tak ada yang tidak tahu seburuk apa hubungan Ghea dan Amber. Jika dia tak hati-hati dalam menjawab, bisa jadi nyawanya menghilang saat ini juga.

"Aku tidak punya hubungan apa pun dengannya. Kami bertemu di hari pertunangan teman masa kecilku dan sejak itu dia selalu mengangguku. Noir yang menyukaiku secara sepihak, aku sudah menolak lamarannya berkali-kali, tapi dia tetap memaksa. Mengirimkan hadiah, surat dan terkadang membawaku secara paksa ke tempat-tempat mahal," jawab Misora panjang lebar. Dengan jelas dia menegaskan kalau tak ada hubungan apa pun dengan Noir.

Namun, semua itu tak ada artinya bagi Glafira. Siapa yang peduli dengan kebenaran? Glafira hanya peduli bagaimana caranya memanfaatkan perasaan cinta Noir untuk Misora. Semua yang berkaitan dengan Amber, meskipun hanya secuil selalu berguna untuknya.

"Jadi begitu, kasihan sekali." Glafira memeluk Misora, mengusap rambutnya seolah memang bersimpati. Nyatanya ekspresi wajahnya saat berbicara dengan lembut itu, sangat bertolak belakang. "Sebenarnya, penculikan ini juga didalangi oleh Noir. Noir membuat seseorang mengancam Hailku untuk menculikmu dan kami harus menyerahkanmu padanya besok." Glafira bahkan mulai menghasut, membuat Noir makin terkesan buruk dan dirinya sendiri jadi pihak yang baik.

"Aku tidak mau," rengek Misora. Pikirannya mulai berkabut, menaruh curiga ke Noir. Mulai merasa takut saat menyadari kalau cinta Noir terlalu berlebihan untuk dia terima. Misora tak bisa membayangkan apa jadinya bila dia diserahkan pada Noir.

Padahal kami bahkan tak tahu siapa sebenarnya yang menginginkan Misora. Apa itu memang keinginan pribadi Yasa, atau ada orang yang meminta Yasa untuk melakukan penculikan lalu dia oper kepadaku.

"Aku tidak bisa berbuat apa pun saat menyerahkanmu besok, tapi Misora, aku mungkin bisa melakukan sesuatu untuk menolongmu. Apa kamu percaya padaku?" Yang pasti, Glafira sudah punya rencananya sendiri. Otak itu selalu bekerja lebih cepat dari apa pun juga, selalu siap dengan solusi terbaik.

"Tapi kenapa? Menolongku tak ada untungnya untukmu." Misora rupanya tak bodoh-bodoh amat. Dia melepaskan pelukan Glafira, menatap matanya mencari kejujuran saat dia mempertanyakan alasan dari kebaikan tak beralasan Glafira.

Menanti Mentari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang