Hail POV
Aku terbangun dengan keringat dingin di sekujur tubuhku. Mimpi itu lagi, hari di mana Glafira membawaku ke rumahnya. Hari di mana aku membuang nama Amber dan kebebasanku demi sebuah balas dendam. Bekas luka di punggungku sudah lama sembuh, tetapi rasa sakitnya masih terasa sangat jelas tiap kali aku melihat pantulannya di cermin.
Sepuluh tahun telah berlalu sejak hari itu dan hingga saat ini, tak ada seorang pun yang tahu kalau aku masih hidup. Rahasiaku dijaga dengan baik oleh Glafira, wanita yang kini telah menjadi kepala keluarga Ghea, majikanku.
Aku segera berpakaian, merapikan diri sebelum aku datang menemui Glafira. Rutinitas harianku tak pernah berubah selama sepuluh tahun belakangan. Selalu saja hanya melayani Galfira, mendengarkan semua perintahnya tanpa memedulikan semua pertikaian yang ada di antara keluarga Ghea itu sendiri.
Itu semua karena dia seorang wanita, karena para tetua tak pernah bisa menerima organisasi yang dipimpin oleh seorang wanita. Tak peduli bahkan jika Glafira merupakan satu-satunya pemilik darah Ghea yang tersisa, mereka tak pernah mengakui kepemimpinannya. Karena itu pula, penghianatan terus-terusan ia terima. Hingga sampai di titik, tak ada lagi yang bisa ia percayai selain aku di sisinya.
"Lambat! Aku sudah kelaparan, cepat buat sarapan!" perintah Glafira.
"Segera, apa yang kau mau?" tanyaku, membuka kulkas untuk melihat bahan apa yang kupunya di sini. Menyiapkan makanan Glafira juga merupakan bagian dari tugasku, sejak dua tahun lalu. Ketika orang-orang di sekelilingnya mulai mencoba untuk meracuninya, mencoba untuk membunuh satu-satunya pewaris dan merebut seluruh kekayaan Keluarga Ghea.
"Apa saja, aku tak peduli."
"Oke, aku akan buat semauku, tapi jangan mengeluh nanti."
Sedikit banyak, aku mengerti perasaan Ghea. Paham jelas bagaimana rasanya dihianati oleh orang-orang yang mengaku sebagai keluarga, hanya demi kekuasaan dan harta. Kerena itulah, aku dengan setia berada di sisinya. Selain karena telah ditolong, aku juga tinggal karena merasa memiliki seseorang yang memahami perasaanku.
Glafira tak pernah takut atau menjadi lemah hanya karena di sekelilingnya dipenuhi oleh musuh. Wanita itu begitu tegar dan berani, dia juga sangat kuat dan percaya diri. Begitu angkuh menginjak orang yang menentangnya. Membuat para tetua tak bisa berbuat banyak untuk menyingkirkannya dari posisi ketua dan berakhir hanya dengan cara kotor, diam-diam mencoba menusuknya dari belakang.
Aku mengagumi Glafira. Terlepas dari balas dendam yang tersisa di dalam hatiku, ada perasaan lain yang terkadang membuatku berpikir untuk memberikan semua yang kupunya untuk melindunginya. Meskipun seorang Glafira Ghea tak pernah butuh untuk dilindungi. Sebab, dia terlalu sombong untuk membiarkan seseorang melindunginya.
"Keparat tua itu," desis Glafira ketika aku menyajikan sarapannya. Tangannya mengepal erat, meremas kertas yang ia baca hingga tak berbentuk.
"Siapa?" tanyaku penasaran, ingin tahu siapa yang akan ia kutuk kali ini.
"Martin Don. Dia diam-diam bekerja sama dengan Kenan," jawab Galfira.
Seketika itu juga, darahku mendidih. Mendengar nama orang yang paling kubenci disebut-sebut. Semua orang tahu kalau Keluarga Ghea dan Amber telah bermusuhan sejak beberapa dekade yang lalu. Jika Martin yang merupakan tetua keluarga Ghea, dengan berani menjalin kerja sama dengan Kenan yang saat ini telah menjadi kepala keluarga Amber, maka itu sudah jelas merupakan sebuah penghianatan.
Memikirkan kalau orang yang ingin menghianati Glafira dan bekerja sama dengan orang yang sangat kubenci, membuatku tak bisa untuk tidak peduli. "Biarkan aku yang membereskan masalah ini," pintaku. Aku ingin mengurusnya sendiri, menyingkirkan mereka berdua sekaligus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Mentari [END]
AcciónSejauh yang Hail ingat, ia tak pernah memiliki seorang ayah. Namun setelah kematian ibunya, Almeta Amber datang sebagai sosok ayah yang tak pernah ia harapkan. Kehidupan Hail yang tenang berubah drastis. Sebelum ia sadar, dia telah menjadi pewaris...