Di Ujung Libur

14 0 0
                                    

Hari yang ditunggu tiba.

Gue pergi ke kampus untuk menghadiri rapat bidang Keamanan yang juga dihadiri Ria, tentunya dengan wewangian yang santai dan paduan pakaian yang tidak membuat mata emosi. Kita dibagi menjadi beberapa kelompok dan oleh manajer keamanan. Kebetulan, gue dimasukkan dalam kelompok yang sama dengan Ria.

Setelah berkenalan, gue bertukar nomor ponsel dengan semua anggota kelompok, termasuk Ria. Bagi sebagian besar panitia, ini berguna untuk memudahkan komunikasi antaranggota. Bagi gue, ini berguna untuk memudahkan proses pendekatan ke Ria.

Di luar dugaan, Ria banyak mengobrol dengan gue hari itu. Ya, dia ternyata nggak segahar yang gue bayangkan. Gue pun berusaha untuk menjadi diri sendiri, menjadi pendengar yang baik sambil sesekali menanggapi obrolannya. Beberapa orang dalam kelompok terlihat agak heran dengan sikap Ria ke gue.

Rapat akhirnya selesai. Gue yang duduk nggak jauh dari Ria langsung merapikan catatan sambil mencari waktu yang tepat untuk mengajak perempuan itu makan siang. Namun Brian, salah satu anak Keamanan bertubuh tegap, datang mendekat.

"Hai, Brian!" sapa gue.

"Hai, Ria. Makan siang, yuk! Ada tempat makan yang asik di Margonda. Kamu pasti suka."

Pak, ini yang nyapa saya lho, Pak. Kok balesnya ke Ria?

"Hmm, gimana ya," kata Ria.

Say no, Ria, pleeeaase...!

"Nggak ah," kata Ria.

Buagus!

"Lho, kenapa? Udah ada janji?"

"Iya, hari ini gue mau makan bareng Ari," Ria menoleh ke gue. "Iya kan, Ri?"

"Uh, oh, iya. Sorry ya, Brian," kata gue kikuk.

Brian nggak menoleh, lalu pergi begitu aja. Gue merasa seperti upil yang dipeperkan di bawah meja.

***

"Gue nggak suka sama Brian," Ria membuka pembicaraan setelah memesan makanan di kantin. Dia memesan gado-gado, gue pilih sate.

"Kenapa? Kirain dia pacarlu. Udah aku-kamu gitu, ngomongnya."

"Ah, itu kan dia aja yang ngarep. Gue nggak simpatik sama cowok arogan."

"Nggak ngasih dia kesempatan?"

"Ari," Ria menatap gue dengan level tatapan Scarlett Johansson. "Ketika berkenalan dengan seseorang, wanita punya kemampuan khusus untuk mengkategorikan dia sebagai teman atau lebih dari itu."

"Maksudnya 'lebih dari itu'?"

"Maksudnya, apakah seorang pria yang mendekati kita, wanita, punya kesempatan untuk meningkatkan status pertemanan menjadi pacaran atau mentok aja di zona pertemanan."

"Jadi, Brian mentok di zona teman? Nggak bisa lebih?"

"Exactly."

"Kalo gue?"

Bagus lu, Ri, baguuus! Ngomong nggak dipikir dulu.

Gue mulai meragukan perkataan guru Biologi jaman SMP yang mengatakan bahwa lidah dikendalikan oleh otot sadar. Lain kali ketemu beliau, gue akan bilang bahwa lidah sama kayak jantung, dikendalikan otot bawah sadar. Contohnya kalo kita mengigau pas lagi tidur dan kalo gue mengigau di depan Ria begini.

"Oooh...jadi lu naksir gue, nih?" tanya Ria.

Izinkan gue melambaikan tangan ke kamera. Sekarang juga.

***

Minggu malam. Gue nggak punya waktu untuk menggambarkan gimana langitnya atau suasananya karena sedang bersiap untuk pergi dengan Ria.

Telat Puber: Saat Cinta Berubah LawakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang