eins

58 5 4
                                    

.
.

Entah sampai kapanpun, dirinya akan terus mengikuti arah angin. Entah suka atau tidak, perlu atau tak perlu. Untuk jatuh ataupun hanya sekedar berkumpul menjadi pilu. Bersama angin dirinya tahu, bahwa pilu memang menjadi warna hidupnya sejak dulu.

🌧️🌧️🌧️

.

Kepalanya tunduk sangat dalam bertudung hoodie kebesaran, mengisyaratkan kepada sekitar bahwa dirinya adalah sosok yang tertutup. Tapi tidak demikian. Dirinya hanya sedang malas untuk sekedar memperbaiki kerudung yang berantakan. Ia bosan menunggu seseorang yang sejak tadi tak kunjung datang. Harusnya orang itu mengiriminya pesan singkat atau semacamnya. Agar ia tahu apa yang akan dilakukan, bukan malah berdiri di halte bus di bawah gerimis dengan kursi halte yang basah membuatnya tak bisa duduk.

Berulang kali ia mencoba menghubungi orang itu. Sayang, hasilnya nihil. Hanya jawaban operator yang dapat menandakan ponsel orang yang ia tuju sedang tidak aktif atau di luar jangkauan dan menyuruhnya untuk mencoba beberapa saat lagi. Harus berapa kali lagi? Harus sampai kapan? Dirinya kesal.

"Rinai, ya?" merasa namanya disebut, sontak ia menoleh dan mendapati seorang laki-laki beralmamater yang sama dengan sang kakak duduk di atas motor bebek dengan perpaduan warna hitam abu-abu kesukaannya. Dirinya menangguk ragu.

"Nih, ayo naik gue anter." Orang itu menyodorkan helm pada Rinai. Dengan bebas menyuruhnya naik.

Rinai mengerutkan alisnya bingung, dirinya tak mengenal sosok di hadapannya, sepertinya juga bukan anak yang satu sekolah dengannya. Tapi kenapa orang itu kenal namanya, dan ingin mengantarnya pulang? "Lo, siapa?"

Orang itu sontak menepuk dahinya, benar juga. Siapa yang akan mau di antar dengan orang yang tak dikenal? "Sorry, gue sebenernya lagi buru-buru, jadi lupa ngenailn diri. Gue temennya Bayu. Dia minta tolong gue jemput lo, kebetulan rumah kita searah, Bayu lagi latihan panahan buat lomba minggu depan, lo tau, kan? Nama gue..."

"Oke terserah, katanya lo buru-buru. Ayo." Rinai tidak peduli, dirinya sudah mendapatkan pesan singkat beberapa detik lalu dari Bayu bahwa ia akan dijemput oleh salah satu temannya, dan Rinai yakin dia orangnya. Dirinya hanya ingin pulang, ia lelah seharian berkutat dengan angka.

Tanpa mengucapkan apapun lagi, setelah memastikan Rinai naik dengan benar, laki-laki itu melajukan motornya membelah jalan raya dan menerjang gerimis di depan mereka. Jika saja bukan karena Bayu, dirinya tak akan mau menjemput seseorang di sekolah yang paling ia benci. Sekolah mantan pacarnya.

Merasa pengemudi ini terlalu melajukan motor, membuat Rinai was-was. Jika saja tidak sedang gerimis, dirinya akan duduk tenang menikmati lajunya kendaraan yang ia tumpangi. "Hati-hati, jalanan licin, buru-buru boleh, bego jangan."

Mendengat teriakan dari belakang, laki-laki itu tersadar dan mulai memelankan sedikit laju motornya, "Sorry, gue bakal hati-hati kok."

Rinai hanya menangguk sambil memeluk tubuhnya sendiri. Setelah itu sepanjang perjalanan hanya hening. Dirinya menikmati udara dingin dari gerimis yang kian membesar, membasahi hoodie yang ia kenakan. Sepertinya orang di depannnya ini juga tak keberatan jika kehujanan. Bersamaan dengan bau patrichor yang menggelitik hidung, Rinai menikmati setiap hembusan angin yang menyusup melalui celah kerudung dan melewati lehernya. Terlihat di pinggir jalan banyak yang menepi di pelataran ruko yang tutup. Rinai melihat jam tangan digitalnya yang juga basah oleh air hujan, pukul 5.34. ia berharap sang ayah sudah pulang sebelum hujan turun, dan bunda akan membuatkan hidangan hangat di meja makan. Dirinya tak sabar ingin sampai.

Stiller Regen || SVT LOKALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang