Aku duduk meringkuk di sofa tunggal sambil mengubah channel televisi dengan cepat begitu tampilannya sudah penuh. Bukan acara ini yang kucari dan kuganti lagi channelnya. Begitu seterusnya sampai aku menemukan yang kubutuhkan, tapi belum juga kutemukan. Entah sudah berapa lama ini kulakukan dan aku putus asa. Tapi, Kak Hasbi bilang kalau aku tidak boleh putus asa.
Sampai detik ini aku masih memungkiri berita yang terus kudengar dari orang-orang berjilbab sejak bertamu ke rumah subuh tadi. Tidak biasanya mereka datang dan berjilbab begitu. Biasanya itu hanya akan terjadi sewaktu acara tertentu. Tapi kali ini kok aneh. Hm.
Orangtua, Kakek, dan Nenekku bilang kalau kakakku meninggal dalam kecelakaan tunggal dini hari tadi. Ini tidak mungkin. Ya, pasti tidak mungkin. Maka dari itu, aku mencari beritanya sedari tadi dan belum ketemu, sementara Mama dan Papa entah di mana. Eh, katanya tadi bilang kalau ke rumah sakit. Mereka mengajakku untuk ke sana, menemui kakakku yang bersimbah darah dan terbujur kaku. Tapi aku tidak mau. Itu tidak mungkin.
Dan anehnya lagi, saat Mama dan Papaku tidak ada begini, Nenek, Kakek, saudara, dan para tetangga ribut sekali di rumah. Padahal tuan rumahnya tidak ada. Heran, kenapa mereka tidak tahu sopan santun dengan mondar-mandir melewati ruang keluarga yang kutempati sekarang. Sofa yang kududuki adalah satu-satunya yang tersisa. Barang-barang di rumah mendadak habis diangkuti orang-orang yang berseliweran seperti setan dan entah diboyong ke mana. Mereka juga membawa baskom kecil ditutupi dengan kain, yang ternyata berisi beras dan dituangkan ke dalam karung yang tak jauh dari tempatku. Mereka mendekat, menampilkan wajah iba dengan bercucuran air mata dan mengatakan yang intinya, aku harus ikhlas dan semua pasti ada hikmahnya.
Obrolan seputar kecelakaan tak terhindarkan sambil menyebut-nyebut nama kakakku, "Mungkin Hasbi ngantuk waktu menyetir, jadi sampai kecelakaan."
"Padahal Hasbi anak baik. Saleh. Dermawan. Kok meninggalnya cepat."
"Katanya, Hasbi juga mau kuliah di luar negeri, kan? Sayang, belum sampai sana sudah meninggal duluan."
"Tante tahu, ini pasti berat buat Puspa. Apalagi Puspa dekat sama kakak. Tapi semua sudah ada yang mengatur, Puspa. Tuhan tahu kalau Puspa pasti kuat," kata tetangga sebelah sambil mengusap-usap bahuku.
"Puspa harus ikhlas, ya? Ada atau tidaknya kakakmu, kamu harus terus berjuang hidup."
Ngomong apa sih mereka itu? Orang kakakku baik-baik saja dan dalam perjalanan pulang ke rumah setelah mengikuti acara di luar kota bersama teman-temannya. Kak Hasbi bahkan berjanji membawakan oleh-oleh dan aku pasti senang. Juga akan mengajakku liburan setelah UNBK. Dia berjanji mengajariku untuk persiapan masuk PTN, terutama di kampusnya.
"KENAPA SIH PADA KAYAK GINI? IRI SAMA KELUARGAKU? IYA?" sungutku kesal dan muak mendengar celoteh mereka.
"Puspa, nggak boleh teriak-teriak, Sayang," itu suara Nenek dan tetanggaku menjauh. Bagus kalau begitu. Jadi aku tidak perlu teriak lagi.
"Pindah ke kamar, ya? Sofanya mau dipindahin. Sebentar lagi jenazah kakak datang," Nenek mengusap-usap rambutku yang bergelombang alami yang panjangnya sedikit melebihi bahu. Aku mencibir. Entah ini untuk ke berapa kalinya orang-orang mengatakan itu padaku. Sebelum Nenek datang lagi, tadi Kakek juga bilang begitu. Heran. Kenapa orang-orang suka mengada-ada.
"Apa sih, Nek! Nggak mau! Aku mau nonton tv! Katanya Kak Hasbi kecelakaan? Mana? Mana? Nggak ada beritanya! Kenapa sih orang-orang harus bohong? Apa untungnya?" protesku sambil mempertahankan posisi dan sofa yang tersisa ini. "Segitu irinya sama keluarga kita? Emang nggak bisa menghijaukan rumput sendiri? Daripada iri melihat rumput tetangga yang lebih hijau," racauku.
"Puspa... dengarin Nenek."
"Bosan! Semua orang pembohong!" aku tak sengaja membanting remote televisi ke lantai.
Aku beranjak dan sekilas lupa kalau seharusnya kupertahankan sofa itu mati-matian. Begitu menoleh, benda itu tengah diangkut. Lalu suara ambulans terdengar begitu dekat dengan rumahku. Aku menutup telinga ketika suara itu semakin nyaring. Itu mengingatkanku dengan Yangkung—Eyang Kakung—yang meninggal empat tahun lalu dan Yangti—Eyang Uti—yang berpulang dua tahun yang lalu. Dan sekarang siapa lagi? Ah, aku tak peduli! Suara itu sama dengan suara maut. Maka aku bergegas menuju kamar.
*
Aku menggeram karena tak bisa tidur! Suara orang mengaji sangat ramai. Emang harus banget gitu mengajinya keras-keras? Mana banyak orang pula yang mengaji. Aku menutup telinga dengan guling yang melingkar sambil berharap suaranya akan teredam. Faktanya, tetap. Dan ini menjengkelkan. Kulemparkan guling itu sembarangan dan mengenai pigura foto yang tertanggal di dinding dekat meja belajar. Pigura itu jatuh dan kacanya pecah.
"Puspa, kok gulingnya dilempar?"
Aku menoleh begitu mendengar suara yang tidak asing. Kak Hasbi berdiri di depan pintu kamarku. Wajahnya pucat. Dia juga berpakaian serba putih. Aku mengernyit. Ini kan hari biasa? Tumben, dia pakai baju putih-putih begini.
"Foto kita jadi jatuh tuh. Kalau kacanya kena kaki kamu kan bahaya, Dik."
Aku beringsut turun dari ranjang. Kuhampiri dia dan kupeluk erat. Mataku berkaca-kaca. Pandanganku mulai memburam saat ucapan orang-orang kembali terputar seperti lagu dengan mode repeat, yang menyatakan bahwa kakakku telah meninggal. Sekarang, buktinya, dia berdiri di depanku. Bahkan kupeluk erat begini. Jadi, mereka benar-benar bohong, kan?
"Mereka jahat. Mereka bilang kalau Kakak meninggal. Mereka jahat, Kak. Jahat!" erangku sambil memeluknya dan menangis... membasahi bajunya. "Mama, Papa, Nenek, Kakek, semua orang yang ke sini bilang kalau Kakak udah nggak ada. Kakak dibilang meninggal. Kakak marah dong, Kak. Marahin mereka. Jangan diam aja!"
Kak Hasbi tidak menjawab.
"Kak Hasbi, ayo, marahin mereka. Mereka jahat, pembohong, bilang kalau Kakak udah mati. Padahal kan enggak. Marahin mereka, Kak, marahin," pintaku dengan suara manja bercampur serak dan tangis yang berlanjut.
Tak ada sahutan kecuali tangis yang kudengar.
"Mereka bilang, aku harus ikhlas. Mereka bilang, aku harus sabar. Sabar apanya? Sabar buat apa? Nggak jelas banget, kan?"
Lagi-lagi, Kak Hasbi tidak menjawab.
Aku hanya mendengar suara tangis, tak ada sanggahan. Dan aku semakin kesal karenanya. "Mereka bilang, semua ada hikmahnya. Hikmah apa lagi, Kak?"
"Kak Hasbi! Kakak kok diam? Marah dong, Kak, marah!" protesku sambil mengguncangkan lengan kanannya. Kak Hasbi hanya menangis lalu mengelus kepalaku.
"Mereka benar, Puspa. Kakak sudah pergi. Kakak akan dimakamkan sekarang."
Kupeluk Kak Hasbi semakin erat. Masa bodoh kalau dia kesakitan. Siapa suruh dia menjawab begitu.
"Enggak! Nggak mungkin, Kak! Kakak jangan bohong! Kakak pasti bohong!" koreksiku sambil masih menangis.
"Ayo, Puspa. Kita antar kakak ke makam, ya?"
Sontak, aku memisahkan diri dari Kakak. Dan ternyata yang kupeluk bukan Kakak, tapi Mama. "Kok Mama? Ngapain Mama ke sini? Mana Kak Hasbi?"
"Kamu nggak mau ngantar kakak ke peristirahatan terakhir?" tanya Mama sambil mengusap air matanya.
Aku menggeleng. "Kakak belum meninggal dan nggak meninggal. Kalian semua bohong."
"Puspa, dengarin Mama," ucap Mama sambil berjalan mendekat dan memegang kedua lenganku. "Kamu harus ikhlas. Kamu pasti kuat menerima kenyataan ini. Mama akan selalu temanin Puspa, ya, Sayang. Puspa nggak akan sendirian. Oke?"
"Enggak! Puspa maunya sama Kakak! Dan Kakak masih hidup! Kakak nggak meninggal, Ma!"
*
Ujian Nasional Berstandar Komputer
Perguruan Tinggi Negeri
YOU ARE READING
Ekspansi Hati
RomanceMental Puspa jatuh ke titik terendah setelah kematian kakaknya. Dia meyakini kakaknya masih hidup, meski orang-rang terus mengatakan bahwa dia harus sabar dan bisa menerima kenyataan. Namun, harapan orang-orang harus pupus, sebab Puspa masih meyakin...