Seperti biasa, sarapan bersama. Tapi wajah orang-orang di rumah ini agak berbeda. Mata mereka sembap dan merah. Begitu juga dengan hidung mereka. Dan ditambah dengan ingus yang dihirup maupun dikeluarkan dengan tisu. Aku memandang mereka dengan heran. Terusik juga untuk bertanya, "Tumben, murung berjamaah? Perasaan, nggak ada yang salah dari kemarin?" kunaikkan sebelah alis dan atensi mereka beralih dari kesibukan masing-masing, menatapku.
"Enggak. Siapa yang murung? Kita semua baik-baik aja, ya, kan?" sahut Nenek yang tadi menunduk, kini tersenyum padaku.
"Iya, baik-baik aja, Nduk. Kamu ujian ya, hari ini? Empat hari ya? Semangat ya, Nduk!" Kakek menimpali.
"Selama UN, nanti Papa yang antar, Mama yang jemput Puspa. Oke?" kata Papa membuka obrolan dan membuyarkan kefokusanku mengamati wajah mereka.
Mendengar kata antar dan jemput, aku menoleh. Tidak ada Kak Hasbi. "Lho, Kak Hasbi mana? Belum keluar kamar? Padahal kan dia tidur duluan tadi malam. Puspa susulin dulu, ya?"
Papa tiba-tiba menahan tanganku saat hendak meninggalkan meja makan. "Sudah, ya, Puspa. Harus ikhlas, Sayang." Aku mengeryit.
Aku menyahuti ketus sambil berusaha melepaskan pegangan Papa, "Apa sih, Pa? Ikhlas apa? Sarapan tanpa Kak Hasbi? Kan biasanya sarapan bareng. Nggak enak dong kalau nggak lengkap." Setelah berhasil lepas, aku berdiri dan hendak melangkah.
"Puspa, Puspa, Kak Hasbi sudah sarapan duluan," Mama menghadangku dan menjawab dengan nada suara aneh, seperti gemetar ketika menangis.
Mama mendudukkanku lagi. Aku menimpali, "Masa? Tumben? Biasanya kalau mau ke mana-mana kan ngomong dulu. Lah ini... Aneh deh Kak Hasbi. Udah tadi malam ngajarinnya bentar doang, sekarang berangkat kepagian." Aku mendengus sambil melipat tangan di depan dada. Di satu sisi aku merasa ganjil, seperti ada yang hilang dan menyisakan kekosongan yang menyesakkan. Di sisi lain, seperti ada yang aneh dengan tatapan, ucapan, dan perilaku orang-orang terhadapku. Sebenarnya ada apa?
"Sudah ya, nggak usah dibahas. Sekarang, Puspa makan, terus berangkat sekolah, jawab semua soal UNnya dengan benar biar nilainya bagus. Oke?" ujar Mama dengan ekspresi memohon dan mengelus bahuku. "Atau mau Mama suapin?"
Aku menggumam dan memikirkan ucapan Mama. "Nggak usah, kayak anak kecil aja."
Usai makan, aku berjalan setengah enggan ke halaman rumah. Bagaimana tidak, hari ini berbeda dengan biasaya, Kak Hasbi tidak mengantarkanku ke sekolah. Biasanya, kami akan berangkat bersama sebab kampusnya searah dengan sekolahku, meski lebih jauh. Kalau kampusnya Mama dan Papa beda lagi. Iya, Mama dan Papa dosen di universitas swasta nomor satu.
Sofa-sofa dan lemari berisi penghargaan tidak ada di tempat. Begitu pun dengan guci dan vas.
"Ayo, Puspa."
Suara Papa membuyarkan keherananku.
"Ayo, Sayang," ajak Mama sambil merangkulku keluar rumah.
Aku bertanya pada Mama, "Sofa... sofanya ke mana, Ma?"
"Di depan, Sayang."
Aku masih tidak mengerti, "Kenapa?"
"Ada pengajian seminggu."
Aku mengernyit. "Tumben kok lama?"
"Kan memang seminggu, Sayang. Sampai tujuh harinya kakakmu."
Jantungku seperti berhenti berdetak. Apalagi begitu mataku melihat banyak karangan bunga di halaman rumah. Ada juga yang diletakkan di gerbang tetangga di seberang rumah. Aku menoleh ke sekitar. Karangan bunga beragam itu bahkan sampai ditumpuk karena tak muat untuk berjajar rapi.
YOU ARE READING
Ekspansi Hati
RomanceMental Puspa jatuh ke titik terendah setelah kematian kakaknya. Dia meyakini kakaknya masih hidup, meski orang-rang terus mengatakan bahwa dia harus sabar dan bisa menerima kenyataan. Namun, harapan orang-orang harus pupus, sebab Puspa masih meyakin...