Aku berdiri di ambang pintu kamar. Kulihat orang-orang masih berlalu lalang. Mama menghampiriku, lalu menggandeng dan aku menurut begitu saja. Aku sudah lelah menyangkal kematian Kak Hasbi, mataku terasa panas, tubuhku lemas, dan ingin berbaring saja, tapi juga tidak bisa. Seolah-olah ada yang mengganjal dan aku tidak tahu apa. Yang kutahu hanya suara orang mengaji, membicarakan kematian Kak Hasbi, dan serupa kalimat penyemangat untuk bertahan meski telah ditinggalkan.
Mama mengajakku berjalan ke ruang keluarga. Dari tempatku berdiri sekarang, aku bisa melihat keranda berselimut hijau dan sekujur tubuhku mendadak merinding. Aku sesak napas. Mataku memburam. Ini yang ketiga kalinya aku melihat benda itu. Dulu, Yangkung dan Yangti. Sekarang, siapa lagi? Sejak awal melihatnya, aku sudah tidak suka. Apalagi begitu tahu fungsinya, juga namanya, dan aku membencinya. Kendaraan maut yang memisahkanku dengan keluargaku.
"Tante, maaf, ya, Pranda nggak bisa datang. Dia masih menganggap dirinya..." ucap cewek yang tiba-tiba menghampiriku dan Mama. Di belakangnya, teman-teman cowok agak menunduk dengan mata merah, sembap, dan hidung memerah.
"Iya, nggak pa-pa. Tolong bilangin ke Pranda. Ini sudah takdir. Bukan karena ambil alih kerjaan dia. Ayo, Puspa. Sebentar aja, Sayang," balas Mama.
Aku menggeleng. Air mataku luruh lagi. Kuingin membantah, berteriak sekuat tenaga, tapi lidahku kelu. Aku tidak mau mendekat. Dengan tenaga yang tersisa, aku berlari meninggalkan Mama dan orang-orang yang sempat melemparkan pandangan padaku. Aku tidak peduli pada tatapan dan komentar mereka. Aku juga tidak peduli pada keranda itu. Aku yakin, di dalam sana bukan kakakku yang terbaring. Ya, pasti bukan Kak Hasbi. Kakakku masih hidup dan hari ini dia akan pulang. Dia akan kembali menemaniku seperti biasa, mengaji, makan, belajar, mengantar dan menjemputku di sekolah, dan segalanya serba bersama, kecuali mandi dan tidur. Semua itu kami lakukan sejak kecil.
"Puspa... Puspa... sebentar aja, Sayang," teriak Mama.
Nenek mencegahku masuk ke kamar. "Biar nggak kebayang-bayang Hasbi, ya. Sama Nenek deh. Ayo."
Aku menggeleng, tangisku semakin menjadi-jadi. Aku juga memukul-mukul Nenek. Suaraku kenapa tidak mau keluar? Aku ingin sekali menyangkal keras-keras, tapi kenapa malah begini? Aku merasa semakin lelah. Mataku amat panas. Dadaku kian sesak. Kepalaku terasa seperti kelebihan muatan dan ingin meledak. Aku ingin berbaring, lalu tidur sekarang. Sebentar, dunia ini mendadak berubah gelap sejenak, kemudian kembali terang. Begitu seterusnya sampai kemudian badanku terasa melayang dan kudengar suara teriakan.
*
Kepalaku terasa berat, sampai-sampai aku kesulitan membuka mata. Tubuhku lemas seperti tak makan seharian. Aku merasakan kening dan rambut diusap berkali-kali sambil samar-samar kudengar suara orang menangis dan ingus yang berisik. Aku berusaha membuka mata, berat juga. Kepalaku benar-benar terasa sakit. Perutku bergemuruh.
"Puspa belum makan, ya? Mama ambilin dulu, ya?"
"Mm," kan suaraku tidak keluar, hanya gumaman saja dan untungnya aku berhasil menggapai tangannya sebelum Mama benar-benar meninggalkanku sendiri. Maksudku, "Jangan pergi dulu," nah kan, suaraku putus-putus dan serak juga.
"Kenapa, Sayang? Puspa lapar, kan? Perutnya barusan bunyi. Mama nggak mau Puspa sakit."
"Kak Hasbi... Kak Hasbi mana..."
Air mata meluncur dari mata Mama.
"Hasbi...," Mama membasahi bibirnya dan air matanya terus keluar. "Hasbi sudah tenang, Sayang... Hasbi sudah senang di tempat barunya... Puspa tadi pingsan, jadi nggak ikut nganterin Hasbi...," bola matanya bergerak-gerak gusar saat menjawab itu.
"Apa?" tanyaku masih dengan suara minim.
"Hasbi sudah dimakamkan, Sayang," jawab Mama sambil mengusap air matanya.
YOU ARE READING
Ekspansi Hati
RomanceMental Puspa jatuh ke titik terendah setelah kematian kakaknya. Dia meyakini kakaknya masih hidup, meski orang-rang terus mengatakan bahwa dia harus sabar dan bisa menerima kenyataan. Namun, harapan orang-orang harus pupus, sebab Puspa masih meyakin...