Sang Pemimpin

5 0 0
                                    

Aku terbangun. Aku menatap lapangan basket yang berada di depanku. Dua papan besar tampak seperti spanduk pemilihan gubernur terpasang di situ. Aku menoleh dan melihat Val. Ia juga menoleh ke arahku. Kami berdua saling tersenyum. Aku maju mendekati spanduk tersebut. Aku tersenyum menyadari itu adalah spanduk untuk pemilihan ketua kabinet KM ITB. Di bagian masing-masing spanduk terdapat berbagai macam lambang himpunan. Ada juga tanda tangan dan nama terang yang terpasang di situ. Aku membaca tanggal yang tertera dan mengetahui ini adalah tahun 2010.

Aku menatap kembali Val yang berjalan bersamaku. Kami berjalan memutari kampus. Sepanjang perjalanan aku melihat kertas berisi gambar untuk pemilihan. Kami berdua menjalani hidup dengan aktif di organisasi. Aku masuk ke kelas TPB. Aku sudah memahami pelajaran matematika, fisika dan kimia. Mungkin karena hanya ketiga hal itu yang pasti. Dalam keorganisasian kampus aku pun sedikit merasa aneh. Aku baru tahu di zaman ini semua calon memiliki promotor yang adalah kepala himpunan. Setiap kali aku bertanya tentang pemilu ini, Val selalu tersenyum dan bercerita betapa bagusnya salah satu calon yang namanya adalah Tizar.

Pemilu ini berjalan sangat lama. Jangka waktunya hampir empat bulan. Tizar adalah calon dari kubu yang mementingkan untuk mengubah KM ITB harus menggunakan jalan yang baik-baik. Sangat berbeda dari kubu lainnya. Ini perpecahan dari semasa kabinet sebelumnya. Yang golongannya bertahan hingga saat pemilu. Ia juga menekankan agar kita mau bersikap seperti apa yang kita minta dari orang lain. Tentu bagiku hal inilah yang mendasari untuk memilihnya. Akhirnya Tizar menang.

Kemenangan Tizar dalam pemilu memang agak membuat sedikit marah kubu yang kalah. Namun dengan berjalannya waktu mereka bisa saling bekerja sama. Aku sendiri masih saja hidup dalam masa ini. Setiap kali aku takut kehilangan Val, selalu aku teringat betapa aku harus berjuang untuk kampus ini. Ada perasaan dalam hatiku mengatakan bahwa sebentar lagi adalah akhirnya. Setiap saat aku selalu berusaha agar selalu mengingat saat-saat ini bersamanya.

Pagi ini aku membaca sebuah berita mengenai seorang mahasiswa dari Universitas Bung Karno, bakar diri di depan istana. Nama orang ini adalah Sondang Hutagalung. Aku meneruskan membaca. Entah apa motif orang ini. Aku tahu bahwa semua orang selalu punya sosok pemimpin ideal, tapi sedikit orang yang mampu menjadi sosok tersebut. Aku tidak bisa mengatakan mereka polos karena diriku pun dulu adalah satu dari orang-orang tersebut. Aku hanya merasa bisa sangat bersyukur semua hal yang terjadi akhir-akhir ini membuatku tidak berpikir untuk masa depan, tapi berpikir apa yang bisa kuberikan terbaik saat ini dan melakukannya.

"Sepertinya aku akan ke kampus sebentar lagi. Aku harus mengurus mahasiswa-mahasiswa yang sedang mendemo ITB. Entah apa yang sebenarnya mereka inginkan. Aku hanya tahu perbuatan mereka sampai membuat rusak properti ITB. Apakah kamu mau ikut datang dan melihat?" tanya Val yang sedang duduk di sampingku sambil memainkan hpnya.

"Boleh."

Kami berangkat tidak lama setelahnya. Kami langsung menuju gerbang utama. Aku melihat dari jauh terdapat berikade satpam yang menahan para mahasiswa itu untuk memasuki kampus. Satpam-satpam itu tampak memar-memar. Aku berlari mendekat. Aku dan Val membantu mereka sebisa mungkin. Beberapa roda ada yang dibakar. Pasukan mahasiswa luar kampus ITB membawa senjata-senjata tajam menyerang kampus kami.

Beberapa saat kemudian, pasukan dari luar kampus ITB menghentikan lakunya. Beberapa ketua badan mahasiswa lain melakukan pidato dan ceramah. Aku melihat sekitar dan menyadari banyak mahasiswa dari ITB datang dalam aksi ini. Tibalah ketua badan mahasiswa lain lagi melakukan ceramahnya. Sebelum ia pergi dari atas panggung, ia berkata, "Silahkan maju ketua keluarga mahasiswa ITB. Ada hadiah yang mau kami berikan."

Kami semua membuka jalan. Aku sendiri merasa panik. Apa yang akan terjadi? Bagaimana bila seseorang tanpa sengaja membuat terbunuhnya ketua KM ITB? Ataukah nanti akan ada yang dipermalukan? Aku menarik napas. Aku menoleh ke arah Tizar. Dia berdiri dengan gagahnya. Tidak peduli akan apa yang hendak terjadi. Dia maju dengan mantap bagaikan seorang pemimpin yang berani berjuang demi nilai-nilai kebenaran dan pancasila.

Dream From The FutureWhere stories live. Discover now