Aku cemburu, melihat burung kecil itu terbang dengan bebas. Karena aku, juga butuh kebebasan.
🍁Bagi Darrell, tengah malam adalah waktu terbaik untuk mengulang pelajaran sekolah. Apalagi dirinya akan menghadapi UN sekitar satu bulan lagi. Meski tidak akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, setidaknya ia harus lulus SMA dengan nilai yang memuaskan.
Darrell menoleh ke belakang, pintu kamarnya yang tidak terkunci itu terbuka. Menandakan ada seseorang yang masuk ke kamarnya tanpa izin darinya. Ini tengah malam. Hal biasa melihat Talita-ibunya Darrell-baru pulang ke rumah.
"Sudah Ibu duga, kamu pasti sedang belajar." Talita berdiri di samping kanan Darrell, menatap sinis ke arah putranya itu.
Darrell hanya terdiam. Matanya tetap terfokus pada buku pelajarannya tanpa berpikir sedikit pun untuk meladeni Talita. Itu karena ia tahu apa maksud Talita datang ke kamarnya tengah malam seperti ini. Sama seperti malam-malam sebelumnya, Talita tak pernah lelah meminta Darrell untuk menuruti permintaannya.
"Sudah cukup belajarnya!" Talita menutup buku Darrell. Membuat putranya itu menatapnya datar.
"Kamu gak usah belajar! Toh, kamu juga bakalan jadi seperti Ibu. Dengan wajah tampanmu itu, mudah sekali untuk mendapatkan uang," lanjut Talita.
Darrell bangkit berdiri. Lagi-lagi menatap Talita dengan wajah datarnya. Padahal ia sudah sangat marah dengan permintaan ibunya itu.
"Ayolah sayang, jangan sia-siakan wajah tampanmu itu. Bekerjalah bersama Ibu!" Talita tak juga lelah memaksa Darrell.
"Maaf, aku tidak tertarik mencari uang dari jalan haram seperti Ibu. Jadi, berhentilah memaksaku, Bu!" Akhirnya Darrell menyuarakan apa yang ada di dalam pikirannya.
Plakk!!
Talita menampar wajah Darrell. "Dasar anak kurang ajar!" erangnya.
Darrell tersenyum sarkastik. "Untung saja rumah ini milik Ayah. Jika bukan, aku lebih baik tinggal di gubuk ketimbang tinggal di rumah mewah hasil uang haram Ibu."
"Beraninya kamu membantah ibumu sendiri. Ketahuilah, Ibu dan Ayahmu menikah tanpa rasa cinta. Lalu terlahirnya kamu adalah hukuman bagi kami. Kamu itu anak yang gak pernah diharapkan!" emosi Talita sudah naik ke ubun-ubun.
"Kalo aku enggak pernah diharapkan, kenapa Ibu gak pernah biarin aku pergi aja?" tanya cowok berdarah Korea-Indonesia itu.
Plakk!
Satu tamparan lagi mendarat di wajahnya Darrell. Kali ini Darrell meringis kesakitan. Bagaimana pun, tamparan itu tepat pada bagian tamparan sebelumnya.
"Diam kamu! Awas saja kalau berani kabur lagi." Talita pun berlalu pergi.
Dengan memegangi wajahnya, Darrell mendekat ke arah tempat tidurnya. Mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur. Sedangkan suasana hatinya, tengah sangat buruk saat ini.
Ia selalu sadar, kehadirannya tidak pernah diharapkan. Ayahnya saja pergi meninggalkannya. Ia tumbuh tanpa rasa sayang dari orang tua.
Sebesar apa pun rasa ingin pergi dari rumah itu, tetap saja ia tidak bisa. Karena setelah mencobanya, selalu berakhir dengan kegagalan.
Darrell, ia butuh kebebasan.
Darrell, di balik wajah datar dan sifat dinginnya. Ia adalah sosok yang begitu rapuh.
🍁🍁
Suara angin dan guyuran hujan membangunkan Chayra dari tidurnya. Ditambah suara perutnya yang berdemo meminta makanan. Ia merubah posisinya menjadi terduduk meskipun matanya masih sulit untuk terbuka.
Setelah matanya terbuka dengan baik, dilihatnya jam yang tertempel di dinding kamarnya yang berwarna biru muda itu. Sekarang sudah tengah malam. Walau begitu, ia harus menuntaskan keinginan perutnya. Daripada tidur dalam keadaan lapar. Oleh sebab itu, ia melangkah menuju dapur. Mencari sesuatu yang bisa dimakannya.
Di depan kulkas, matanya mulai meneliti isi lemari pendingin itu. Hanya bahan-bahan mentah yang ia temukan. Kesal, bahwa fakta dirinya yang tidak bisa memasak.
Apel, untung saja buah itu juga ada di sana. Setidaknya buah itu menjadi penawar rasa laparnya saat ini. Ia menutup kembali pintu kulkas setelah mengambil satu apel dan menggigitnya.
Tiba-tiba, sebuah tangan melingkar di pinggangnya. Seseorang memeluknya dari belakang. Ia terkejut bukan main. Takut ada penguntit yang memasuki rumahnya dan berniat berbuat jahat padanya.
"Sayang, kamu lagi ngapain, sih?"
Chayra merasa lega setelah mengenali suara itu. Ternyata bukan penguntit. Hanyalah cowok tengil yang sering membuatnya kesal.
Sembari mengunyah apel, Chayra melepaskan tangan itu dari pinggangnya. Ia berbalik dan menatap orang yang telah memeluknya seperti singa yang hendak memangsa makanannya.
Setelah kunyahannya habis, Chayra angkat suara, "Gavin! Lo ngapain peluk gue?"
Cowok bernama Gavin itu tersenyum geli. Lalu menjawab, "Malam ini dingin banget. Jadi, gue butuh kehangatan."
"Terus lo peluk gue?"
Gavin mengangguk. "Yakali gue peluk kakek. Lagian, lo itukan adik gue, emangnya salah gue peluk lo?"
"Heh, bocah tengil! Lo jangan pura-pura pikun, faktanya yang sekandung itu hanyalah almarhum bokap kita. Dan kita hanya sepupu."
"Terserah lo deh, sepupu gue yang cantik. Anggap aja tadi yang meluk lo itu Jackson, bukan gue."
"Apaan, sih?" Chayra menunduk. Wajahnya memerah. Ia jadi teringat Jackson, cowok yang diam-diam ia suka. Gavin memang tahu kalau Chayra menyukai Jackson.
Dan juga, rasa laparnya Chayra mendadak hilang. Apel yang baru sedikit ia makan kembali ia taruh ke dalam kulkas.
"Ya udah, cepat tidur lagi sana! Gue tau, lo pasti gak sabar ke sekolah buat lihat gebetan lo itu," ucap Gavin sebelum berlalu pergi.
Chayra mengikuti Gavin di belakang. Toh kamar mereka bersebelahan.
Sesampai di kamar, Chayra langsung membaringkan tubuhnya ke kasur empuknya. Lalu ia memejamkan matanya.
Dalam hatinya, ia berharap esok akan menjadi hari yang indah.
🍁🍁
Tinggalkan komentar untuk lanjut!
Terimakasih sudah membaca.Aceh Besar, 30 Mei 2019.
By Warda.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Remedy [END]
RomanceChayra langsung menyukai Darrell kala pertama kali melihat cowok dingin itu tersenyum. Ternyata, Darrell juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Tidak disangka. Malam itu, malam di mana Darrell mengungkapkan perasaan pada Chayra. Merupakan mala...