Part 2

19 3 0
                                    

Ternyata dia juga ada di sini. Si Sei yang pernah study di Amerika itu. Dan sekarang dia ada di depanku. Matanya sedang dingin menatapku. Sampai aku merasa tak sanggup untuk balik menatapnya. Dialah pasangan dansaku malam ini. Nomornya sama denganku, sebelas.

Aku sangat kaku di depannya. Tetapi, tak ku sangka, dia yang pendiam dan dingin seperti itu memperlakukan tubuhku dengan lembut saat dansa. Dia terlihat sudah berpengalaman dalam dansa. Seketika itu aku merasa berdansa dengan seorang pangeran kerajaan. Semakin aku perhatikan, wajahnya pun semakin tampan. Dan kini, wajah itu semakin mendekat ke wajahku.Dan...

"Permisi, kalian pasangan nomor berapa?" Seseorang bertanya kepada kami berdua yang seakan tak peduli dengan sekitar karena asik berdansa.

"Sebelas," jawabku singkat, karena Sei masih melangkahkan kakinya ke kiri maupun kanan dengan tanganku berada di pundaknya dan kedua tangannya di pinggangku.

Seseorang yang bertanya itupun pergi.

"Oh, maaf. Aku ingin ke toilet sebentar," kataku sambil melepaskan peganganku dan mundur 1 langkah menjauhi Sei.

Tanpa izin darinya aku langsung balik badan dan meninggalkannya menuju ke toilet.

.

.

.

"Bodoh, kenapa aku secanggung itu. Aku tak seharusnya seperti ini. Dan dia, kenapa harus dia sih yang jadi pasanganku. Jantungku mulai berisik tadi, untung saja kini sudah mulai tenang," bicaraku dengan aku yang ada di cermin toilet sebelum akhirnya aku menundukkan kepalaku.

.

.

.

"Baiklah, kita sudah sampai di puncak acara, aku akan memanggil pasangan yang paling romantis malam ini," ucap Axel, "Dan mereka, adalah pasangan nomor sebelas. Beri tepuk tangan untuk mereka..."

Sebelas? T-t-tapi, itu kan nomor pasanganku dengan Sei. Apaan ini?

Grep__

Sei menggandeng tanganku dan menarikku berjalan ke atas panggung. Hal itu sempat membulatkan mataku. Axel pun memahkotai kami berdua dan memberiku sebuket bunga sebagai tanda bahwa kami pemenang malam ini. Tepuk tangan pun bersahut-sahutan. Ada juga yang berbisik iri saat melihatku berada di samping Sei.

"Coba aja kalo bukan sama Sei, pasti kalah."

"Sei-kuunn, kenapa kamu tidak denganku saja." Dan blablala...

Sei pun berjalan menuruni panggung tanpa menggandengku lagi. Itu tak begitu masalah untukku. Karena dia terlihat buru-buru dan jam pun sudah menunjukkan pukul 22.10, aku harus cepat pulang.

"Eh, Xel, aku harus pulang, sudah jam segini. Si Noky juga belum makan >.<" pamitku kepada Axel.

"Oh ya. Terima kasih sudah datang, dan selamat ya,kau cocok sekali dengan Sei tadi. Hehehe :D"

"Apaan sih."

Masih dengan mahkota dan sebuket bunga merah yang Axel hadiahkan kepadaku, aku langsung pergi meninggalkan pesta yang masih ramai itu. Karena aku tidak membawa sepeda atau transportasi apapun, jadi aku harus melangkahkan kaki ini ke rumahku yang cukup jauh dari rumah Axel saat itu.

Cukup jauh aku berjalan dari rumah Axel, dengan gaun coklat selutut yang aku pakai, angin menghebus lembut kulit pucatku, dingin menembus sel-sel tulangku.

Mobil putih berhenti di samping kiri trotoar yang aku pijak, itu otomatis juga membuatku berhenti dan menengok ke arah kaca mobil itu.

"Masuklah, atau akan aku paksa!" itu terdengar seperti perintah bukan ajakan ataupun lain-lain.

"Apa maksudmu? Aku tidak mau."

"Dasar." Kemudian dia keluar dari mobilnya dan menghampiriku serta memaksaku untuk masuk ke mobilnya.

"Sei, lepas." tetapi dia tetap menarikku masuk ke mobilnya dan akhirnya dia berhasil membuatku duduk di kursi depan bagian kiri, di mana tepat di samping dia menyetir.

"Memangnya kau akan membawaku ke mana?"

Karena lama tidak ada jawaban, aku langsung saja meletakkan rangkaian bunga serta mahkotaku di samping kanan jok mobilnya yang sedang aku duduki.

"Perempatan ini arah rumahmu belok ke mana?" tanyanya tiba-tiba saat mulai mendekati perempatan dari jalur rumah Axel dekat rumahku.

"Kanan."

Dia pun berbelok ke kanan dan berjalan lurus menuju ke rumahku.

"Sto.." belum selesai aku mengucapkannya, Sei sudah memberhentikan mobilnya terlebih dahulu.

"Dari mana kamu tahu kalau ini rumahku?"

"Terlihat dari ekspresimu yang ingin berkata *berhenti*," jawabnya.

Apa? Mengapa bisa seperti itu? Apakah dia bisa membaca pikiran? Aku bergumam sebentar.

"Baiklah, terima kasih," dan aku membuka pintu mobil, kemudian aku keluar darinya.

Aku tidak melihat dia mengangguk, hanya saja aku melihat tatapan dinginnya yang masih lurus untuk menyetir mobilnya lagi. Tanpa pikir panjang, dia pun langsung meninggalkanku di depan pintu gerbang yang bernomorkan 32.

Aku membuka gerbang rumahku dan langsung masuk menuju ke kamarku. Aku terburu-buru sehingga aku tidak benar-benar mengunci gerbang rumahku. Aku melihat Noky masih tertidur pulas di karpet kamarku. Kasihan, malam ini dia belum makan. Mengingat itu, aku segera melepas gaunku dan menggantikannya dengan baju tidurku, karena aku harus segera tidur. Sudah pukul 22.30 sekarang.

"Noky-noky... bangun dan makanlah, maaf ya membuatmu menunggu."

Indra penciuman Noky yang kuatpun membuat Noky segera tersadar dan bangun untuk memakan makanan kucing yang sudah aku siapkan.

Ting__tong__(suara bel rumahku berbunyi)

"Eh, ada yang datang, siapa ya?"

Aku segera mendatangi pintu dan Noky mengikutiku dari belakang.

Aku pun membuka pintunya.

Berdiri seorang berjas putih sedang memegangi sebuket bunga merah. Aku kenal orang ini, dialah Sei.

"Oh ya, bungaku ketinggalan di mobilmu tadi, terima kasih," tetapi dia tidak segera memberikan bunga yang sudah jelas-jelas milikku.

"Dasar ceroboh!"

"Ya maaf, aku tahu."

"Jika kau tahu, kau tidak akan melakukan itu, bodoh."

"Apa maksud dari perkataanmu? Baiklah ambil saja bunga itu," aku yang sudah berbalik badan untuk menutup pintu, langkahku terhambat oleh sahutan tangannya yang menahanku. Sontak aku kaget dan berbalik badan kembali kepadanya.

"Apa lagi?"

"Meoowww..." oh tidak Noky untuk apa kau di sini sih.

"Kucing pemarah." Dia menyeringai seakan dia bangga akan kata-kata yang telah dia ucapkan padaku, memangnya apa maksud dari perkatannya itu. Dia melanjutkannya, "Ini, lain kali jangan ulangi," sambil memasangkan mahkota ke atas kepalaku dan menyodorkan sebuket bunga itu. Aku kaget dan aku pun menerimanya, "Kau ratunya untuk malam ini, jangan tinggalkan mahkotamu."

Setelah itu, dia berbalik badan, dan pergi menuju ke mobilnya. Mataku masih saja mengamati tubuhnya yang tinggi tegak nan semampai bak model profesional itu. Langkah kakinya, yang berwibawa seakan dia adalah seorang keturunan darah biru. Jas putih yang dia kenakan malam ini sangatlah cocok dengan perawakannya, sehingga dia terlihat sangat tampan, meskipun hanya punggungnya yang kini terlihat.

Dia pergi mengendarai mobilnya lagi dan setelah dia pergi, aku menutup pintu gerbang yang sempat dia buka dan aku masuk ke rumahku kembali.

Di kamarku, ku letakkan serangkai bunga itu di atas meja belajarku.

"Dasar, Sei. Memangnya dia itu siapa bisa berbicara seperti itu padaku? Dan apa yang dimaksud *Kucing Pemarah* ? Lalu, ratu malam ini?"

A WeekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang