“Srigandi Purnawan!” Pak Lugas menyerahkan hasil ulangan Bahasa Inggris kepada setiap murid yang namanya ia sebutkan satu per satu. Satu per satu pula para murid maju dengan perkiraan nilai ulangan di kepala mereka, lalu Pak Lugas melanjutkan. “Inka Pradita!”
Semua murid saling melirik dan menggelengkan kepala sementara pak Lugas kembali memanggil. “Inka Pradita! Maju!”
“Heh kamu maju!” titah Pak Lugas sambil menunjuk Anki yang duduk paling belakang dengan selembar kertas ulangan. “Ini diambil!”
“Bukan punya saya Pak,” ujar Anki, semua murid nampak kebingungan terlebih lagi dirinya yang sekarang disuruh maju oleh pak Lugas.
“Anki kali Pa namanya, di kelas ini aja gak ada yang namanya Inka.” Rama si Ketua Kelas yang duduk paling depan menyahut.
“Gitu ya, ini sih salah kalian namanya mirip,” gumam pak Lugas yang mengenyampingkan selembar kertas ulangan dengan nama Inka Pradita ke sisi lain meja.
“Di mana Pak punya saya?” tanya Anki tanpa mengidahkan ucapan Pak Lugas yang menyalahkan namanya dan nama seorang murid yang mirip dengannya, yang tak pernah Anki dengar selama hampir tiga tahun sekolah di sini.
“Ya di kelasnya si Inka Pradita itu,” sahut Pak Lugas.
“Yaudah Pak saya tunggu punya saya,” ujar Anki lagi.
“Lah ambil sendiri lah, enak di kamu susah di saya.”
Dalam hatinya Anki mengumpat berkali-kali, memiliki pak Lugas sebagai gurunya adalah salah satu kerugian yang ia dapat dari sekolahnya.
***
Ibu Nurma keluar begitu saja ketika kertas ulangan Bahasa Inggris murid-muridnya ia letakkan di atas meja guru, para murid disuruh mengambil sendiri kertas hasil ulangannya. Ketika semua murid XII IPA 1 (B) sibuk mereaksi hasil nilai ulangan tengah semester mata pelajaran Bahasa Iggris mereka dengan berbagai macam reaksi, Inka masih kebingungan mencari kertas hasil ulangannya. Yang tersisa di meja guru hanya selembar kertas ulangan milik murid kelas lain.
Anki Pradikto, XII IPA 2 (A). Inka mengingat-ingat nama ini, namun terlalu sulit sebab seekolahnya punya terlalu banyak murid. Dengan teliti ia mengamati kertas ulangan yang tersisa di meja guru itu. “Namanya kalo dibalik jadi namaku,” gumamnya. Ia paham sekarang kenapa kertas ulangan dengan nilai 100 itu bisa tiba di kelasnya.
“Ka amankan nilai kamu?” tanya Rania. Teman sebangkunya yang sama-sama memperjuangkan beasiswa di sekolah ini, untuk sesama murid beasiswa, Rania dan Inka berusaha menjaga nilai mereka sestabil mungkin.
“Ketuker Ran punyaku sama punya kelas lain, mana anak kelas A,” keluh Inka yang tidak mampu menutupi kekesalannya. Ia agak ragu harus naik kelantai atas dan menukarkan kertas ulangannya, lebih tepatnya ia ragu untuk bertemu dengan murid-murid kelas A yang semuanya datang dari keluarga kaya. Saat jadi junior ia pernah di bully oleh senior kelas A dan sekarang kertas ulangannya terdampar di atas sana.
“Kenapa mesti kelas A sih? Kalo kita naik ke sana, kita bisa dikira manusia masuk dunia malaikat tau gak,” gerutu Rania yang tak kalah kesalnya.
“Bodo amat! Kamu harus temenin aku, harus—”
“Permisi!”
Sebuah suara yang memecah keributan kelas itu jauh lebih berpengaruh daripada bel masuk biasanya, apalagi saat tanda nama yang menempel di sisi kanan kemejanya menunjukkan identitas sebenarnya. Seisi kelas serempak memandangi murid yang berdiri di ambang pintu dengan tatapan berbinar, kehadirannya kali ini serupa malaikat yang turun ke bumi.
“Yang namanya Inka—” Ia membaca selembar kertas di tangannya. “Inka Pradita, ada gak?”
Jika sedang dalam pertunjukkan drama, lampu sorot yang menyoroti murid kelas A tadi beralih titik kepada Inka. Ia menghampiri murid dari kelas A itu tanpa mempedulikan tatapan teman-temannya, terutama para gadis yang juga menginginkan nama mereka disebut oleh sang murid A itu.
“Anki Pradikto?” tanya Inka sambil membaca nama dari pemilik secarik kertas yang dipegangnya. Alisnya naik sebelah sambil mengamati selembar kertas basah yang digenggam murid laki-laki itu, ia berharap itu bukan kertas ulangannya.
“Kertas basah itu bukan punyaku kan?” tanya Inka dengan tatapan mengintimidasi.
“Jadi pas mau nyari kelas kamu, aku ke toilet dulu soalnya habis dari kantin jadi ya you know lah—”
“Jangan bilang jatuh di—” Inka melebarkan matanya dengan mulut yang menganga sambil menatap iba pada kertas ulangannya. Kertas ulangan murid kelas A itu diremasnya saat emosinya mulai mengaliri tubuhnya, Inka bahkan berpikir tidak akan membuatnya bersalah memukul murid yang tidak ia kenal dan yang sudah menodai kertas ulangannya.
“Anki, namaku Anki, panggil aja Anki,” ujarnya yang tiba-tiba memperkenalkan diri saat melihat kobaran api menyala di mata Inka. “Nama kita mirip tau.”
“Beda!”
“Tinggal dibalik doang, hehe.”
“Terus kenapa kalo tinggal dibalik doang?!”
“Lucu aja, hehe.”
Inka memejamkan matanya untuk berusaha memadamkan kekesalannya, ia merasa seharian ini ia akan sulit untuk tersenyum karena hal ini. Setelah menghembuskan napas panjang Inka menyerahkan kertas ulangan Anki dengan kasar. “Keringin punyaku, baru balikin. Belajar tanggung jawab.”
Alih-alih mengelak Anki dengan cepat setuju. “Iya, pulang sekolah ini pasti udah kering. Galak banget sih kaya senior aja.”
“Siapa juga yang gak marah kalo kertas ulangannya dibasahin orang, sama orang asing lagi,” gerutu Inka dengan wajah cemberut.
“Kita kan udah kenal.”
“Kapan?”
“Tadi kan kita kenalan.”
Untuk yang beberapa kalinya orang bernama Anki ini sudah membuatnya kesal, bahkan untuk pertemuan pertama mereka, Inka malas membayangkan akan sebanyak apa kekesalan yang ia rasakan untuk pertemuan-pertemuannya dengan Anki selanjutnya.
***
Jam pelajaran terakhir di kelas Anki kosong karena gurunya sedang cuti melahirkan, setelah selesai mengerjakan tugas yang disuruh ia langsung mengipasi kertas ulangan milik Inka dengan fokus yang penuh. Ia bahkan tidak peduli keringat yang mengaliri pelipisnya, yang penting kertas ulangan Inka kering dan rasa bersalahnya hilang.
“Ngapain anjir lo ngipasin kertas?” Dari kerumunan murid laki-laki yang bersarang di barisan belakang salah satunya melempar pertanyaan pada Anki, ketika ia yang tengah sibuk mengeringkan kertas ulangan Inka itu menoleh ke arah teman-temannya ia hanya menggeleng tak habis pikir.
“Gak nonton gue yang begituan,” ujarnya. Kerumunan teman-temannya bergantian menyoraki Anki yang kembali mengipasi kertas ulangan Inka.
“Si Anki ngebokep sendirian dia, gak kuat rame-rame,” celetuk salah satu temannya dari kerumunan yang langsung disambut gelak tawa dari teman-temannya.
“Dia sukanya langsung gak perlu nonton dulu, ye gak Ki.”
“Ki buruan sini, mantep ceweknya Ki.”
“Gak napsu gue ah, jangan ganggu kenapa sih!”
Anki mengelap keringatnya dan tetap tidak peduli seheboh apa teman-temannya di belakang sana. Sama seperti saat ini, ia akan selalu menolak akajan teman-temannya untuk bergabung menonton bersama. Tapi bukan tidak berarti ia sesuci itu, ia pernah menontonnya sekali dengan durasi hampir satu jam. Dan Anki merasa itu cukup untuk rasa penasarannya.
“Anjir muncrat dong cowonya.”
“Gak suka gue cewenya pasrah banget.”
“Kenapa ya punya cowonya gede banget?”
“Punya lo aja yang kecil anjir!”
Anki tertawa mendengar komentar teman-temannya saat kerumunan itu perlahan menyebar, baginya masa remaja adalah masa di mana semua ingin diketahui, dirasakan dan dicoba. Untuk masa mudanya sendiri ia belum punya rencana apa saja yang ia ingin coba selain merokok dan mencoba alat kontrasepsi hanya untuk dipakai.
***
“Nih,” ujar Anki menyerahkan secarik kertas lecek yang sudah mati-matian ia keringkan itu pada Inka. “Bilang apa dong.”
“Makasih udah tanggung jawab,” sahut Inka. Setelah dipikir-pikir menurut Inka ia bereaksi berlebihan, untuk itu ia menghadiahkan sebuah senyuman pada Anki.
“Jangan diaduin ke pacar kamu ya, nanti dia marah ke aku,” ujar Anki sambil mengeluarkan senyum penuh bujukan.
“Kamu ngehina aku ya? Aku gak punya pacar.” Inka nampak menatap Anki dengan tatapan kesalnya lagi.
“Ini aku lagi modus Inka, pengen nanya kamu jomblo apa enggak. Kok malah dibilang ngehina,” omel Anki dengan raut wajah kesal dan kecewa karena gagal modus.
“Gak usah marah gitu kali, baru juga kenal tadi,” balas Inka, “udah sana pulang, kita gak boleh ngomong lama-lama nanti kamu kena bully karena temenan sama anak kelas B.”
“Gak ada yang berani bully seorang Anki Pradikto kok, tenang aja. Kalo perlu nanti aku pacarin anak kelas B,” ujar Anki ringan. Entah dari mana datangnya serbuk-serbuk gula itu hingga di mata Inka sekarang senyum Anki menjadi lebih manis.
“Kamu gak dibully, pacar kamu yang kena,” sahut Inka.
“Kenapa, kamu takut dibully ya?”
Inka mengerutkan keningnya, ia berpikir perlahan-lahan dan mencerna apa yang baru saja ia dengar. “Gimana si Ki maksudnya? Kamu lagi modusin aku?”
“Kamu sadar?” tanya Anki.
“Iya, iya gak sih.”
“Syukur Alhamdulilah.”
“Buat apa?”
“Buat bersyukur sama Tuhan udah memperkenalkan salah satu bidadarinya ke aku.”
Inka kehabisan kata-kata, ia baru saja berkenalan dengan seorang pemuda yang bukan tipenya. Anehnya setiap senyum Anki yang muncul tanpa alasan sukses membuatnya betah menatapi wajah itu.
Sementara Anki senang bisa mengenal seorang gadis dari kelas B, mengenal seorang gadis yang tidak menjerit histeris saat berada di hadapannya dan seorang gadis yang membuatnya mau repot-repot melakukan apa yang diperintahkan. Masalahnya selama ini, yang Anki patuhi perintahnya tidak banyak hanya orangtuanya, gurunya dan sekarang ada Inka.Hayooo kasih votenya ya sayangggkuuuu
YOU ARE READING
Cafuné
Teen FictionTerdapat konten dewasa! Bijaklah ketika memilih bacaan kalian ya teman-teman. Di atas ranjang Anki yang spreinya berwarna putih polos itu terdapat corak tetesan darah yang mulai mengering. Pencahayaan yang remang perlahan-lahan terang oleh sinar ma...