Imam

23 1 0
                                    

Takdir jua yang mempertemukan, Pak Kyai, Pak Doktor, Buya dan Herman. Disebuah negeri setelah bencana.

Herman senyum-senyum sumringah. Satu sisi ia tetap berduka, sisi lain, ini adalah impiannya melihat para tokoh bersatu.

Pak Kyai dengan serban khasnya, pak Doktor dengan janggut rapinya, dan Buya dengan peci hitamnya. Dan diantara mereka, Herman hadir sebagai perwakilan umat yang lugu, yang menanti huluran fatwa dari tokoh-tokoh tersebut.

Hingga akhirnya Buya berkata. 
"Hayuk, kita sholat jemaah dulu."

Masjid telahpun kosong, mereka baru tiba beberapa belas menit setelah jemaah bubar. Herman bergegas, ia cup buat yang Iqamat.

Pak Kyai terdiam sejenak, merapatkan bibir dan kemudian berkata, "Silahkan langsung Buya jadi Imamnya."

Buya agak terkejut, "Oh.. Silahkan Pak Doktor saja."

"Wah.. kalau saya.. hm.. pak Kyai saja lebih senior.."

Ketakjuban Herman bertambah-tambah, tidak hanya bersatu, kini ia melihat betapa tokoh-tokoh ini sangat bersahaja dan rendah hati. Tidak seperti apa yang ia ikuti, pada segelintir komentar kaum online yang kasat mata.

Herman takjub, tapi sepertinya ini agak lama.

Buya Bersikeras meminta Pak Doktor yang terus memberikan kepada Pak Kyai yang bersikukuh agar Buya lah Imamnya.

Seperti ini kah level tawadhu para tokoh? Herman mencoba untuk memahami ke dhaifannya.

"Sudah, kalau begitu Pak Herman saja Imamnya." Buya mengarahkan seluruh jari tangannya menuju Herman. Dan seketika itu semua tokoh memandangnya, sosok figuran yang sempat terlupa.

"Ya.. pak Herman saja, saya setuju."
"Benar.. Saya juga tidak masalah."
Pak Doktor dan Pak Kyai bersepakat.

Antara senang dan gamang. Herman tak sempat berfikir panjang. Tiba-tiba ia sudah di posisi imam, tiba-tiba Buya mengumandangkan Iqamat. Dan Takbiratul ihram pun telah Herman pimpin. Allahu Akbar.

Herman melantunkan suara terbaiknya, Alfatihah terbaik, dipilih ayat terbaik. Di hadapannya adalah yang Maha Kuasa, dibelakangnya ada tokoh yang tak biasa. Seperti itu Herman memandang kondisinya sekarang, tak dihiraukan, suara apapun yang memanggil dan apapun yang bakal terjadi.

Hingga salam diucap penanda jemaah usai.

Dengan lirih Buya berkata, "Pak Herman.. Anu.. Kita sedang sholat Zuhur.."

20-10-18

Hujan dan HermanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang