Sewajah Baliho

14 1 0
                                    

"Mengapa kau bermuram muka." Sewajah baliho menyapa Herman, dipersimpangan jalan menuju kota.

"Tak dapatkan kau untuk sekedar melebarkan bibir beberapa milimeter saja." Sewajah baliho yang nyinyir.

Herman hanya memperhatikan knalpot mobil usang di depannya. Asapnya kelabu dan sepi. Sesekali melirik keberadaan lampu hijau, yang memaksa Herman terlirik sewajah baliho itu.

"Lihat aku, siang dan malam disini, panas terik, hujan dan debu. Tapi aku tetap tersenyum. Memberikan keceriaan pada dunia." Sewajah yang tak bisa diam.

Sepertinya minta dicerca dengan cercaan tak berujung, ini isi kepala Herman yang terus berlalu lalang, seperti penendara motor yang curi-curi jalan dicelah sempit.

Entah siapa yang suka dengan warnanya, dipaksa pula melulu melihatnya. Pandangan Herman sangkut di angkot hijau yang menerobos. Mencibir, lalu mendekap lagi dalam sepi. Melirik lampu hijau dan sewajah baliho.

"Mengapa kau tak mau belajar dariku, wahai Herman si rakyat jelata?" Sewajah yang ramah terus menyapa Herman.

Benci saja dibuatnya, Herman tak tau berbuat apa. Benar, ia hanya si jelata yang tak berdaya. Bahkan untuk membela ketenangan dirinya dari sewajah-wajah baliho yang bertebar merata disegala tempat. Dengan warna tak sedap. Herman tak sanggup berbuat apa. Ingin melapor polisi, sewajah itu pula sudah bercokol sekitaran sana.

"Sudahlah, tak perlu gusar, ingat wajahku dan ini nomorku. Nanti tumpahkan segala kesal, tusuk tepat diwajahku." Sewajah senyum-senyum (tak tahu) malu.

Lampu hijau menyala, Herman bangkit dan melaju perlahan, tersendat dan tersendat lagi. Beberapa angkot salip menyalip, tak tampak apa siapa selain calon penumpangnya. Herman tak berdaya apa, dan lampu merah menyala lagi.

"Mengapa kau bermuram muka." Sewajah baliho menyapa Herman, dipersimpangan jalan menuju kota.

071218

Hujan dan HermanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang