Same Old Love

17 1 0
                                    

PROLOG

"Dia adalah cinta pertamaku. Aku menyukainya. Tapi aku tidak pernah memberitahunya"

———————————————————————

Setiap manusia pastinya pernah mengalami patah hati setidaknya sekali seumur hidup. Bagiku, patah hati pertamaku terjadi ketika aku masih SMA. Namaku Maria, dan seluruh kisahku tidak pernah sederhana.

Sebuah pepatah mengatakan kalau cinta bisa tumbuh dari kebiasaan. Pepatah itu benar, setidaknya untukku. Kebersamaan yang terlewati bersama tanpa sadar akan menumbuhkan rasa nyaman, lalu rasa nyaman akan turut pula mengajak rasa suka dan rasa cinta secara bergandengan. Begitulah bagaimana akhirnya aku mulai memutuskan bahwa aku mencintai sahabat dekatku.

Aku mengenalnya sejak dari bangku sekolah dasar. Dia hampir selalu menemaniku kemanapun aku pergi, begitupun sebaliknya. Aku berada pada daftar orang yang paling dekat dengannya setelah keluarganya. Aku menyukainya. Namun aku tidak pernah memberitahunya.

Semua permasalahan terkait persahabatan dan cinta tadinya berjalan dengan sangat normal. Aku tidak tahu apakah dia menyukaiku atau tidak. Aku tidak peduli. Yang aku tahu, kami berdua menikmati waktu ketika bersama, walau hanya membeli sebuah es potong di pinggir jalan raya.

Kami masuk ke SMA yang sama. Sebuah SMA yang cara orientasi siswa barunya sama menyebalkannya dengan seluruh SMA yang ada di Indonesia. Waktu itu aku terpaksa menguncir rambutku menjadi dua. Dia tertawa sejadi-jadinya. Menyebalkan memang. Semenjak saat itu aku berjanji untuk tidak menguncir rambut menjadi dua dengan alasan apapun.

Beberapa hari kemudian masa orientasi berjalan dengan cepat, dan kami akhirnya resmi menjadi siswa SMA. Dari sinilah semua bermulai.

Sebenarnya dari awal masa orientasi, banyak sekali laki-laki yang mencoba mendekatiku. Tapi dari sekian banyak laki-laki, hanya ada satu orang yang menurutku menyenangkan. Namanya Ahmad. Lalu apakah aku juga mencintainya? Entahlah.

Hingga beberapa minggu berikutnya, hubunganku, sahabatku, dan ahmad berjalan dengan biasa. Sesekali aku pergi dengan Ahmad, tapi aku tetap lebih banyak meluangkan waktu untuk bersama sahabatku. Sudah kubilang kan aku mencintainya? Ahmad memang menyenangkan, tapi sayangnya aku sudah lebih dulu mencintai sahabatku.

Sore itu sepulang sekolah, aku sedang berjalan di lorong lantai dua sekolahku. Lalu sebuah hal mengejutkan terjadi. Ada seseorang yang memanggilku. Suara khas yang hanya dimiliki oleh satu orang, yaitu ahmad.

Aku menoleh ke kiri dan kanan namun tidak menemukan darimana asal suara tersebut. Ahmad memanggil sekali lagi. Dan aku akhirnya tahu kalau Ahmad berteriak dari lapangan.

"Kenapa?" Aku ikut berteriak dari lorong lantai dua.

"Ayo taruhan"

"Apa?"

"Aku sedang menendang pinalti. Kalau bola ini masuk, kamu jadi pacarku", Ahmad memang saat itu sedang bermain futsal. Dan sepengetahuanku, dari semua hal di dunia, Ahmad paling bodoh jika berhubungan dengan segala benda yang berbentuk bola.

"Kalau tidak masuk?"

"Kamu ku traktir makan siang satu semester", Ahmad bodoh! Dia harus bersiap meneraktirku selama satu semester kedepan.

"Setuju!", aku menjawab dengan percaya diri.

Setelah itu Ahmad langsung menendang bola yang sudah disiapkan didepannya. Perkiraanku meleset. Bola itu masuk. Bagaimana bisa dia menendang pinalti dengan sempurna? Biasanya dia akan melewatkan sebuah peluang mencetak gol sekalipun dengan gawang yang tidak dijaga oleh kiper.

Sore itu kami resmi berpacaran. Sial. Tapi sudahlah. Aku akan berpacaran dengan Ahmad selama beberapa bulan kedepan. Setelah itu, aku akan memutuskannya. Kenapa? Dari awal sudah ku bilang bahwa aku lebih dulu mencintai sahabatku. Oh, iya, sudahkah ku ceritakan bahwa aku dan Ahmad berbeda agama? Hal ini juga yang jadi alasan lain kenapa aku tidak bisa menerima Ahmad dengan sepenuh hati.

Aku merasa semua akan baik-baik saja, hingga aku tiba di penghujung semester. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres, tapi sialnya aku tidak tahu apa. Setelah selesai ujian sekolah, aku dan keluargaku akhirnya memutuskan untuk berlibur ke Bali hingga masa liburku habis.

Sekembalinya aku dari Bali, aku langsung menghubungi Nicholas. Ah, iya. Aku lupa bercerita kalau nama sahabatku yang daritadi ku ceritakan adalah Nicholas. Aku menghubungi Nicholas untuk mengajaknya membeli perlengkapan sekolah demi menyambut semester baru.

Aku tidak mendapat jawaban. Nicholas tidak bisa dihubungi saat itu. Aku berpikir bahwa Nicholas sedang berlibur dengan keluarganya. Jadi, sudahlah, besok aku akan menghubunginya lagi. Toh masih ada dua hari sebelum masa liburan benar-benar berakhir.

Parahnya, hingga tiba hari pertama masuk sekolah di semester baru, Nicholas tidak kunjung bisa dihubungi. Aku berangkat pagi sekali ke sekolah untuk mengamankan dua buah kursi untukku dan Nicholas. Sekolahku mewajibkan agar muridnya berganti posisi duduk setiap memasuki semester baru. Untungnya peraturan itu hanya mengatur posisi duduk, bukan dengan siapa harus duduk. Jadi, aku tetap bisa duduk bersebelahan dengan Nicholas semester ini.

Bel masuk tiba. Nicholas tidak juga datang. Berulang kali aku mencoba menghubunginya, namun hasilnya tetap saja sama, tetap tidak bisa dihubungi.

Belakangan aku tahu bahwa Nicholas pindah sekolah. Aku menangis semalaman mengetahui bahwa Nicholas bahkan tidak mengabariku sama sekali terkait kepindahannya.

Apa yang terjadi? Apa semua karena aku berpacaran dengan Ahmad? Harusnya dia bicara! Aku bisa langsung memutuskan Ahmad saat itu juga andai dia bicara.

Begitulah akhirnya bagaimana aku mendapatkan patah hati pertamaku. Aku tidak mendapatkan patah hati pertamaku dari pacarku, aku justru mendapatkan ptah hati pertamaku dari seorang sahabat. Dan, ya, semua perihal patah hati ini sepenuhnya salahku. Seharusnya dari awal aku mengatakan bahwa aku mencintainya.

EPILOG

"Halo", Sebuah suara terdengar dari telepon. Aku kenal suara itu.

"Kamu kemana aja?", Aku setengah mati menahan agar tidak menangis. Jelas itu adalah suara Nicholas. Setelah sekian lama, akhirnya dia kembali menghubungiku.

"Mau cerita sesuatu?"

"Nicholas, jangan tinggalin aku lagi", Pertahananku akhirnya runtuh, aku menangis.

Setelah Nicholas pergi, aku memutuskan melanjutkan hidupku dengan Ahmad. Aku akhirnya menerima Ahmad dengan segala risiko dibelakangnya. Tapi, seperti yang dari awal kuragukan, Ahmad akhirnya meninggalkanku. Jarak yang jadi alasannya. Kami terlalu jauh. Ahmad berdoa dengan membuka tangan, sedangkan aku menutupnya. Ahmad pergi ke Masjid, sedangkan aku pergi ke Gereja. Kami tidak akan pernah bisa bersama.

Tapi, kepergian Ahmad membawa sedikit berita baik. Nicholas akhirnya kembali. Setelah semua jatuh bangun perjuangan untuk melupakannya, akhirnya Nicholas kembali. Hebatnya lagi dia tidak pernah berubah sama sekali. Sama seperti Nicholas yang dulu jadi sahabatku. Sama seperti Nicholas yang mengajarkanku bagaimana rasanya patah hati.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 04, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cerita Panjang di Hidup yang SingkatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang