00

3.1K 282 94
                                    

SINAR matahari menembus tirai jendela lantai dua apartemen elit di pusat kota Tokyo saat Portgas D. Ace perlahan membuka mata. Dia mengerjap pelan-pelan sebelum duduk dan menguap di ranjang berukuran king size-nya. Ah. Bukan ranjang miliknya, tapi milik pria yang masih lelap di sebelahnya.

Ace menghalau hangatnya sinar matahari pukul delapan pagi dengan tangan kanan, lalu turun dari ranjang. Belum sampai sedetik dia beranjak, tubuhnya ditarik—dengan tarikan tanpa tenaga—untuk kembali berbaring. Ace mencubit lengan yang tengah memeluk tubuhnya dengan posesif. "Marco-san! Lepas! Aku mau mandi dan menyiapkan sarapan!"

Pria yang dipanggil Marco itu membuka matanya. Mata sayunya menatap Ace. "Kenapa kau teriak-teriak pagi ini, yoi?" tanyanya dengan parau. "Dan lagi, untuk siapa kau menyiapkan sarapan?"

"For you, bastard!" Sekali lagi teriakan Ace mengudara di apartemen megah mereka.

Kelopak mata Marco terbuka sempurna. Dia menatap Ace-nya dengan seringaian tipis. "Kenapa kau repot-repot begitu? Bukankah 'kau' menu sarapan paling cocok untuk pagiku?"

Tinju Ace langsung melayang ke pucuk kepala Marco, yang punya model rambut seperti nanas. Rona tipis mampir ke pipi tirus laki-laki surai hitam. "In your dream!" Dan setelahnya, dia pergi meninggalkan mate-nya yang mengaduh pelan karena tinju cintanya di pagi yang hangat ini.

***

Ace menyeruput kopi hitamnya tiga puluh menit kemudian. Dia sudah selesai membersihkan diri dan berpakaian, dan turun ke dapur untuk menyiapkan menu sarapan.

Tangan-tangannya bergerak fasih dengan pisau, memotong-motong bahan makanan, lalu memasukkannya ke panci dengan air mendidih di atas kompor. Tak mau membuang waktu, dia berjalan ke lemari, mengambil peralatan makan, menyusunnya rapi-rapi di meja, lalu membuka kulkas dan mulai memotong daging sapi yang dia ambil. Kegiatan ini rutinitasnya setiap pagi, setiap hari, sampai dia meninggal. Bagian terakhir terdengar menyakitkan, tapi Ace tidak pernah merasa begitu. Ekspresinya yang berarti terenggut beberapa tahun lalu, saat pria itu datang ke kediamannya, mempersuntingnya. Yah, mempersunting. Kalian tidak salah baca.

Marco memper'istri' Ace beberapa tahun lalu—Ace tidak pernah mau menghitung sudah berapa lama waktu yang mereka habiskan bersama.

Ace, laki-laki yang akan genap berusia dua puluh, orang yang cukup pengertian dan tidak banyak protes. Dengan karakternya yang seperti itu, dia tidak punya kuasa untuk menolak. Dia sangat memahami kondisi keluarganya yang sangat miskin. Sehingga, saat Marco, pria tiga puluh lima tahun yang kaya raya, dengan segala titel besarnya, datang dengan keseriusan tertarik padanya secara seksual, Ace menurut. Dia tidak mau—tapi kukatakan kepada kalian jika dia sejujurnya tidak bisa—menolak. Dia tidak mau terus-terusan menyusahkan Kakek Garp dan Nenek Dadan yang sudah merawatnya dari kecil. Dia tidak mau melihat kakek dan neneknya sedih, menderita, hanya karena dia. Ace terlalu menyayangi mereka, meskipun mereka tidak punya hubungan darah sama sekali.

Ace tersenyum hampa dengan tipis setelah menyelesaikan satu rutinitasnya saat ponselnya di sisi meja berbunyi. Tangannya terjulur untuk mengambil. Ternyata e-mail dari adik kecilnya, Luffy.

Tebak apa yang akan kulakukan akhir pekan ini~

Ace tersenyum. Kali ini terlihat tulus, jika kalian cermat. Dia seolah bisa mendengar nada kekanakkan Luffy mengatakan isi mail-nya pagi ini.

Tidak perlu waktu lama, jemari Ace bergerak lihai di papan keyboard, mengetik balasan, dan menekan tombol send. Dia baru akan meletak ponselnya dan memanggil Marco saat benda pipih itu bergetar lagi.

Curang! Bagaimana kau bisa tau!

Ace terkekeh lembut. Dia memutuskan tidak segera membalas mail sang adik dan berjalan ke kamar, untuk menyuruh Marco menikmati sarapannya sebelum bekerja.

Bukan hal sulit untuk Ace menebak jika akhir pekan ini Luffy punya tiket gratis untuk menonton pertunjukkan drama besar di teater pusat kota. Demi Tuhan! Baru kemarin Luffy datang ke apartemennya lalu menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan tiket itu bersama Nami dan Usopp.

Ace baru akan membuka pintu saat tiba-tiba teringat senyuman hangat adik kecilnya. Luffy dan segala kepolosan—Ace tidak mau menyebutnya kebodohan—yang dia miliki, apakah suatu saat ada yang merenggut hal itu darinya? Ace menggeleng. Dia tidak mau itu. Selama ini, Ace, serta kakek dan nenek, tidak pernah mau membuat Luffy sedih dan mengalami penderitaan, kepahitan hidup. Pernah suatu kali, mereka hanya punya sepotong roti untuk dimakan. Dengan menahan lebih lama rasa lapar, Ace serta kakek dan neneknya, membiarkan Luffy dengan senyuman lebarnya memakan roti itu. Mereka bertiga serentak mengatakan punya sedikit sisa uang untuk membeli makanan, namun tak punya waktu. Ace tersenyum. Dia dan kedua orang tua itu sama sekali tidak pernah punya rencana melakukan itu; membuat Luffy merasa senang selalu. Tapi semuanya terjadi secara alamiah. Ikatan mereka begitu kuat, sehingga mereka menjadi pembohong yang ulung. Makanya, Luffy tidak pernah menaruh curiga kepada ketiganya.

Sejak dia menikahi Marco, Ace bisa merasakan secara jelas jika kehidupannya dan keluarganya berubah. Ace tidak melihat tanda-tanda licik dalam diri Marco saat membantu keluarga yang sedang kesulitan. Semuanya terlihat dan terasa tulus dilakukan pria itu. Dia bahkan membiayai Luffy bersekolah di kampus ternama di negara ini, dan memberikan satu halaman luas yang bisa ditanami apa saja di belakang rumah kecilnya.

Sayangnya, sampai saat ini, Ace masih belum mencintai Marco. Dia memang menikahi pria itu, tapi tidak didasarkan dengan perasaan cinta, hanya dengan nafsu 'memanfaatkan' jika kasarnya Ace menerjemahkan. Tapi, bukan karena itu dia selama ini berbohong. Yah, ada satu hal lagi yang dia sembunyikan dari Marco.

Pria baik hati itu menyerahkan segala urusan rumah tangga kepada Ace. Sayangnya, Ace tidak terlalu baik menjalankan amanah Marco. Dia selalu menyelewengkan uang belanja bulanan yang diberikan Marco. Bukan untuk hal tidak baik. Ace memberikan setengah uang belanja bulanannya yang sangat banyak itu kepada adiknya, Luffy, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk bersenang-senang menikmati hidup. Dia juga memberikannya beberapa kepada kakek dan nenek. Tentu saja dua orang yang sudah susah payah membesarkannya itu marah kepadanya, tapi Ace tidak punya pilihan. Dia tidak mau melihat mereka terus hidup susah atau menderita dan sedih. Dan dengan perasaan campur aduk, Garp dan Dadan terus menerima uang yang diberikan Ace setiap bulan.

Karena itu, dengan otak kecilnya, Ace terus pandai-pandai menggunakan sisa uang belanja tersebut untuk digunakan sesuai tujuan. Dia selalu berkutat lama di supermarket untuk membeli bahan makanan.

Satu lagi. Ace bersyukur Marco tidak seperti yang pernah dia pikirkan. Pria dengan logat aneh di setiap akhir perkataannya itu sangat baik, terlalu baik. Sampai saat ini, dia tidak pernah memaksa Ace. Memaksa Ace melayaninya dengan baik, memaksa Ace memenuhi kebutuhan birahinya, memaksa Ace mencintainya. Tidak pernah. Marco selalu menunggunya, dengan sabar, tanpa tahu jika itu akan berlangsung selamanya. Karena Ace sudah berjanji dia tidak akan menyerahkan dirinya kepada Marco.

***

Kenapa gue malah nge-update fict baru? Gue juga ga ngerti. But, anggap aja fict ini penghilang rasa suntuk menunggu chapter selanjutnya Price dan Damn! Torao. Gue ga lupa kalo punya dua fict itu fyi.

Betewe, kayaknya momen MarAce lebih kerasa di fict ini—atau cuma gue yang mikir gini. Tapi tenang, momen LawLu tetap ada. Gue senang nulis fict ini karena DUA-DUANYA KAPAL GUE!!!! *lol

What Is Love - HiatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang