Tak sedap hati melepas emak berpeluh keringat sendirian hari ini. Namun apalah daya sapi yang harus tunduk dengan penggembalanya. Tak boleh menentang kehendak matahari. Meski keputusan ini tersudut di ulu hati. Aku di suruh menanti pengolak ikan laut untuk membeli ikan belanak kesukaan-nya. Akan tetapi, emakku tetap bekerja seperti biasanya.Abidin lah seorang yang perkasa sehingga tiada seorang pun yang berani padanya. Apadaya kami hanya perempuan yang tak kenal besi kami hanya ingin air yang suci nan bersih. Sekali keluar kata, langsung tertancap di hati. Terkadang menjuluk air mata ,dan bahkan tak jarang tangannya mendarat di pipi kami. Aku dan emaku lah jadi makanan emosinya tiap hari. Kalau tak mempertimbangkan aku dan sanak saudaraku,telah lama emakku hendak memutus ikatan dengannya.
Air laut nan hijau, pasir pantai petang ini begitu putih seakan menampakkan keindahan alam sepucuk jambi Sembilan lurah. Jimat duit, itulah dalih yang ia lontarkan saat aku tak ingin pergi ke laut aku hanya ingin membeli ikan itu di pasar. Aku yakin di dunia ini tak ada insan manusia yang ingin menanti terlalu lama. Bosan, tak ada guna dan lain lain itulah yang sering ku dengar di bibir mulut para penanti.
Sebari menunggu, aku mencari kepar laut dan rumput laut. Laluku kumpulkan dan kujemur dibawah terik matahari . Sudah kering ku tumbuk di lesung padi yang bersih . ku buat bedak dingin tradisi nenek moyang dulu.
Sudah 2 jam aku menanti kapal nelayan itu datang akan tetapi awaknya pun belum kentara terlihat. Sesekali aku memperbaiki rambut yang terurai di parasku sebari menumbuk bedak dingin itu. Kursi di bawah pohon mangrove inilah tempat ku berpaku. Dari kejauhan kentara orang berambut keriting dan berpakaian sedikit robek di tengah bajunya sehingga menampakkan pusarnya. Orang itu berjalan kearah ku.
‘’Tuk, kapal pengolak ikan sudah datang?’’ tanyaku
‘’belum, pek mungkin jam empat gek’’ jawabnya sebari mengelus keringat dengan handuk yang ia selempangkan di lehernya.
orang berbaju robek seperti ditembak kompeni itu bertanya. Macam lamo dah nunggu yo pekk, sampek pasir pantai terhibur?.
"Datuk biso be dengan kata macam itu", awak jadi tersipu sendiri jawabku pelan.
Orang tersebut duduk di bawah pohon bersamaku. Pohon mangrove ini memang menjadi persinggahan sebentar bagi para pelaut. Orang tersebut banyak bercerita tentang asam manis kehidupan. Kepiawaian berhikayat tentang Kekejaman belanda maupun jepang seakan tak terkalahkan. Mulutnya selalu berbusa atas kisah yang ia ceritakan. Desir ombak menjadi alunan musik atas ceritanya. Semakin sore aku semakin asyik mendengarkan ia bercerita. Kisah itu tak akan pernah ia lupa sampai akhir hayatnya.
‘’hai, sahlan bilang kepadaku siapa yang tak mau kerja paksa’’ kata kompeni.
Lalu aku menjawab tidak tahu ketika itu ia langsung memegang tanganku,melentangkan jari-jariku, di potong kelingkingku. Ceritanya kepadaku sambil memperlihatkan jari kelingkingnya yang hilang.
Aku seakan tak terbayang pedihnya jika ku hidup di jaman itu, aku bersyukur dengan tuhan sebab pada masa itu, aku masih kanak-kanak dan selalu mendapat perlindungan orang tua.Tak habis ia bercerita langsung ia bersuara
‘’itu kapal yang kau tunggu’’ .
Aku yang menyimak ceritanya,memandang wajahnya langsung mengalih pandang. Ia pun megakhiri ceritanya,berpamit anjak denganku,merapikan pukatnya dan langsung bergegas pulang. Aku pun menuju kearah bibir pantai.
Para nakhoda maupun anak buah kapal tampak semak mendarat.‘’Satu,dua…tiga’’ suara yang sering kudengar dari kapal itu saat melangkah mendekatinya.
Tali tambang besar diikat di bibir pantai. Nyiur melambai-lambai seakan menari, gemericik air alunan musiknya, pandanganku hanya tertuju pada satu orang walaupun beribu orang yang ada, waktu seakan berhenti.
‘’pek, kenapo kau temenung? Ikan belanak pesanan ayah kau dah pak cik siapin ’’ kata orang di belakangku. Aku menoleh kebelakang.
‘’tak ada apalah pak cik, oh iyo lah, nih duitnyo, makasih pak cik’’ jawabku dan sesekali memperhatikan pemuda diujung sana.
Pak cik tengok kau tengok sepupu pak cik terus dari tadi,kau minat kah?
Eeh, gak ada pak cik, Jawabku sambil senyum simpul.
Namonyo bakri, ia baru pak cik ajak berlayar, soalnyo dio semak kuliah terus,pagi,siang malam belajar sampe tak ado batino yang dekat dengannyo. Kata pak cik ramli sambil tertawa sedikit.Pak cik ramli memanggil bakri. Ri ambil ikan belanak di kantong asoy tadi, bawak kesiko!!!
Pemuda itu makin lama makin dekat, perasaan ku campur aduk, ia juga memandangiku tanpa berkedip. Pengharapan muncul dari bola matanya.
‘’woyyy, dak bekedip kau nengok cewek cantik?’’ kata pak cik ramli sambil menepuk bahunya.
Kenalkan iko soleha anak tirinya pak cik bidin kau.
Pak cik ramli memperkenalkan kami.
Tangan kami bersalaman. Rasa tak menentu seakan bulir bulir cinta masuk ke hati. Ia menoleh sekeliling pantai lalu Ia mengajakku bermain di tepi pantai. Perasaanku tak mampu mengatakan tidak. Pak cik ramli terkadang tertawa kecil melihat tingkah kami. Ku gantung ikan belanak pesanan ayah di pohon mangrove. Kami bekejar kejaran, bermain air, dan bahkan berlomba membuat gunung pasir setinggi tingginya.‘’Bang, adek penat, rehatlah sejenak!’’ pintaku manja.
‘’ Sebentar waktupun lah penat, dasar putri pucuk putat!!!’’ katanya sambil meledek.
Aku cemberut. Lalu ia tersenyum dan meraih tanganku.
Ayok lah rehat di pohon tu, tak kuasa aku tengok muko kau.
Kami berdua di bawah payung bumi. Ia bercerita masalah kuliahnya. Aku terkadang mengangguk saja saat ia mengucapkan kata-kata asing di telingaku. Terkadang ia mencagilku dengan kata putri pucuk putat.
‘’Bang, dak tinggal disini?’’ tanyaku.
‘’Dak, abang sebentar be cuman,,magrib mungkin dah balek’’ jawabnya pelan seraya memandang matahari terbit nan indah.
Air mendidih diterpa sinar merah matahari. Silau cahayanya menusuk mata. Gambar hati yang telah kami lukis di tubuh pohon mangrove ini tersenyum seakan menjadi saksi adanya bulir cinta kami. Ia menggengam tanganku, dan berkata .
’’kalau kita jodoh pasti besua kembali dengan cara yang indah’’.
Waktu terasa singkat. Perang rasa selalu terjadi padaku. Matahari melepas sinarnya, aku pun melepasnya juga. Tali sauh di lepas dari pasaknya. Satu persatu ABK masuk bersama kotak ikannya. Tinggalah bakri yang masih di bawah bersamaku.
‘’Hanya satu pintaku padamu bang, jangan lupakan hari ini, jaga baik tubuhmu,jaga baik hatimu’’ tuturku sambil meneteskan air mata.
‘’Bakri’’ teriak orang diatas kapal. Tangannya telah terlepas, langkahnya penuh arti. Aku terus memandanginya sampai jauh tak terhingga.
Jangan lupa Follow, Like dan Juga komentar, serta ditunggu saran dan masukannya agar saya dapat berkarya dengan baik, Thanks yang udah Baca !!
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Pucuk Putat
De TodoCerita tentang Gadis Melayu Malang yang kehilangan kepercayaan akan cinta lalu terbuang.