Seusai pelajaran olahraga, murid-murid Reiner berganti baju sebelum istirahat pertama. Di tempat ganti laki-laki, Jean dan Marco, berbincang tentang hal ini sampai itu. Keduanya memang sangat dekat hingga orang-orang mengira keduanya bersaudara.
Tapi tentu saja tidak. Rumah keduanya kebetulan bersebelahan, kedua orang tuanya kebetulan saling mengenal, kebetulan keduanya masuk taman kanak-kanak di tahun yang sama. Sifat keduanya memang bertolak belakang namun saling melengkapi.
Jean kali ini berkeluh kesah atau lebih terdengar seperti meledakkan amarahnya pada teman sekelasnya, Eren Jaeger. Mengenai bagaimana gadis cantik yang ditaksir Jean selalu mendukung Eren. Adu mulut pun tak terelakkan.
Marco yang berganti baju di samping Jean hanya bisa tersenyum khawatir. Ini bukan pertama kalinya. Mereka memang tidak pernah akur sejak hari pertama sekolah. Seperti sudah ditakdirkan untuk saling beradu jotos.
Marco tertawa dalam hati memikirkan apa yang dipikirkannya. Ia bukannya tidak percaya pada takdir, hanya saja bagaimana bisa takdir selalu memilih orang yang tepat?
Kadang-kadang Marco tenggelam dalam lamunannya. kedua orang tuanya yang religius mengajarkannya tentang takdir yang tidak dapat diubah dan yang dapat diubah oleh usaha manusia. Jadi apakah pertemuannya dengan Jean adalah takdir yang tidak dapat diubah?
Ia merasakan ikatan batin sejak pertama kali melihat Jean yang dengan polosnya mengajaknya bermain 13 tahun yang lalu. Marco yang masih kecil itu tentu tidak mengerti. Namun lambat laun, ia mempertanyakan perasaan janggal itu di dalam hatinya.
"Aish, hentikan kalian berdua," suara Connie membawanya kembali ke dunia nyata. "Eren, ayo ke kantin saja. Mikasa dan Sasha pasti sudah menunggu."
Jean tersentak ketika mendengar perkataan connie. "You lucky jerk!" sementara Eren hanya menjulurkan lidahnya pada Jean sebelum keluar dari ruang ganti bersama Connie.
"Sudahlah Jean, kau tidak lelah setiap hari begini terus?" tanya Marco dengan nada lembut. "Mereka kan sudah berteman dari kecil. Wajarlah kalau Mikasa menempel terus dengan Eren."
"Kau ini dipihakku atau dipihaknya?"
Marco hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Jean.
***
"Hei, Jean."
"Apa, Marco?"
"Err... apa kau," Marco memberi jeda sebelum melanjutkan perkataannya. "Suka Ivan?"
"H-HAH?!"
***
Ia tiba-tiba teringat percakapannya dengan sahabat semati seumur hidupnya beberapa hari yang lalu. Bisa dibilang, hampir setiap saat Marco melihat Jean, pertanyaan seputar kisah hidup sang sahabat yang tak pernah berjalan mulus itu muncul.
Marco mendudukkan dirinya di bangkunya. Ia menghela nafas panjang sebelum mengambil bekal di tas sekolahnya. Dilihatnya Jean yang sedang mengobrol dengan Thea di dekat papan tulis. Entah sedang membicarakan apa.
Lalu iris coklatnya bergulir ke arah Ivan yang duduk tepat di depan bangkunya. Gadis itu menompang dagu sambil membaca buku di mejanya.
'Sebenarnya Jean suka siapa sih?' batin Marco bertanya-tanya dalam hati. 'Aku ingin membantunya tapi... akh! Aku bingung!'
Bukannya ingin sok campur, Marco hanya igin membantu. Selama mereka satu sekolah sejak TK, Jean pasti kena sial dengan apapun yang berhubungan dengan kisah cintanya. Ingat Mikasa? Si muka kuda itu sepertinya masih belum menyerah meskipun peluangnya berpacaran dengan Mikasa dibawah nol persen.
Jean yang selesai berbincang dengan Thea (baca: menggoda), dengan santainya melenggang menuju bangku Ivan.
Di sekolah mereka, Ivan Zerstort dikenal sebagai anak yang pendiam. Rambutnya hitam panjang dengan gradasi ungu apabila terkena sinar matahari, tingginya semapai dan mata birunya yang dingin. Tak banyak yang mengenal dia tentunya. Sepertinya gadis itu sengaja menyembunyikan kehadirannya.
"Hey, Ivan!" Jean menyapa riang. Marco yang dibelakang bangku Ivan diabaikan seakan-akan tak ada di matanya.
Ivan tak membalas. Ia hanya melirik Jean sebentar. Mungkin untuk mengetahui siapa yang berani mengganggunya, lalu kembali mencurahkan perhatiannya pada buku usang bersampul coklat.
Biasanya para gadis yang disapa Jean setidaknya akan menyapa balik, terutama Thea yang kadang antusiasnya berlebihan sampai terdengar berteriak. Tapi Ivan berbeda. Gadis itu diam saja kerjaannya. Menghilang seperti ninja sudah pasti keahliannya. Jadi mengabaikan Jean perkara yang mudah.
Dibelakangnya Marco sedang menahan tawa.
Jean melirik Marco dengan kesal. Ini kesekian kalinya keduanya berada di situasi seperti ini jika ada Ivan.
"Ada stand crepes baru dekat stasiun kereta. Kau pulang naik kereta 'kan?" Pemilik surai kuda itu mencoba membujuk. Entah gagal atau tidak ia sudah berusaha. "Harganya murah sekali. Ada berbagai macam rasa. Kau suka coklat pisang? Ada!"
Bunyi 'pfft' dari belakang memutus perkataan Jean. Rupanya Marco sudah tak sanggup menahan tawa. Wajahnya mulai membiru.
"Pokoknya, kau harus ikut kami kesana. Aku akan mengajak Marco dan Thea!"
"Maaf, tidak bisa. Aku sibuk," Ivan menjawab dengan singkat, padat dan jelas. Ia bahkan tak menatap Jean saat menjawab pertanyaan pemuda itu.
Suasana mendadak hening. Seisi kelas memang ramai seperti kandang binatang, tapi tidak untuk ketiganya. Marco masih tak mengerti mengapa Ivan selalu memasang dinding penghalang antara dirinya dan orang-orang disekitarnya. Tak ada yang tahu latar belakangnya, keluarganya bahkan nama belakangnya saat enam bulan tahun pertama mereka bersekolah.
Jean yang sudah biasa dihadiahi reaksi dingin dari Ivan hanya menaikkan bahunya. "Baiklah kalau begitu. Jika kau berubah pikiran, katakan saja pada kami sepulang sekolah. Ya 'kan, Marco!"
Di belakang sana, Marco menyunggingkan senyuman.
Ia tidak suka pada gadis itu, Ivan Zerstort.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Sins or Our Friendship? [Super SLOW Update]
FanfictionSNK REINCARNATION AU! Takdir mempertemukan mereka. Dari yang menanggung dosa di masa lalu hingga yang membawa ikatan pertemanan mereka di masa sekarang. Tapi bisakah pertemanan mereka menghapus dosa masa lalu? Siapa yang salah disini? Siapa yang bis...