06. Mimpi buruk

21 1 6
                                    

Aku terbangun dari tidurku, langit sudah menunjukkan waktunya. Ya, sekarang adalah pagi dini hari.

Aku menghela nafas, aku bahkan tidak mendapatkan petunjuk dari hatiku sendiri. Karena kelelahan berpikir, aku akhirnya tertidur dengan memimpikan tempat yang sama, Negeri Tengah. Tidak ada yang aneh dari mimpiku, selalu sama, hutan gugur yang memesona, daun Maple yang bertumpuk di seluruh penjuru hutan, aku yang terus berjalan hingga akhirnya sampai di terowongan kereta misterius.

Aku teringat akan cerita yang diceritakan oleh Koil. Entahlah, apa raja mengetahui hal ini? Tapi aku berani menebak jika raja pasti mengetahui hal ini. Bagaimana tidak? Salah satu petualang terhebatnya tiba-tiba menghilang dari dunia ini. Mungkin itu pula sebabnya, Negeri Tengah kini tidak pernah dikunjungi lagi.

Karena cerita itu, aku tidak berani dekat-dekat dengan terowongan itu. Aku memilih menjauh, mengamati dedaunan merah yang menggantung di atas sana. Semenjak aku selalu memimpikan tempat ini, aku jadi menyukai daun Maple. Daun dengan bentuk menjari dan warna merah ini seakan melambangkan keberanian.

Srek Srek Srek

Aku sedikit terkejut dengan suara yang muncul di tengah lamunanku. Aku menoleh ke samping kiriku, dimana suara itu berasal. Rupanya, suara itu berasal dari Koil.

Di tengah tidurnya, ia terus bergerak gelisah ke kanan dan ke kiri, wajahnya mengkerut menunjukkan kegelisahan. Keringat membasahi dahinya, dan nafasnya terengah-engah.

Aku yang melihatnya menjadi panik, pasalnya nafasnya kian menderu dan gerakannya semakin hebat. Aku dengan panik mengguncang tubuhnya.

"Hey, hey, jangan membuatku panik, kau kenapa? Koil, Koil,"

Tidak ada respon darinya.

"Aarrghh!" dia menggeram, tetapi matanya masih terpejam. Aku semakin panik.

"Hey, Koil, bodoh! Buka matamu!"

Aku mengguncangkan tubuhnya dengan sekuat tenaga. Bahkan, aku menepuk-nepuk, mencubit, dan sedikit menampar pipinya agar membuatnya terbangun. Namun percuma, ia tetap saja menggeram, meraung, dan bergerak gelisah.

"Aku harus bagaimana, duh, duh, oh, ah, B-brigith!"

"Bodoh, kenapa baru terpikir. B-BRIGITH! BRIGITH TOLONG AK-- KOIL!!"

Brigith membuka matanya, ia segera berdiri dan dengan cepat menghampiri kami. Ia memperhatikan Koil dengan tatapan yang nampak sedang berpikir.

Dengan tenang, ia menunduk dan memegang dahi Koil. Secercah cahaya kuning yang menghangatkan keluar dari tangannya. Begitu menghangatkan, bahkan diriku yang semula panik, kini kembali tenang.

Perlahan, Koil kembali tenang. Aku menghela nafas lega. Wajahnya kini kembali tenang, nafasnya teratur, ia tertidur pulas.

"Ada apa dengannya?" tanyaku.

"Dia berhadapan dengan ketakutan terbesarnya," Brigith menoleh ke arahku.

"Tidak usah khawatir, dia pasti bisa melawannya. Apakah kau, sudah menemukannya?" tanyanya kepadaku.

Aku menelan ludahku dan menundukkan kepalaku. Aku hanya terdiam menatap tanah dan rerumputan yang aku duduki.

Brigith yang melihat reaksiku langsung mengerti dan akhirnya melangkah pergi.

Aku memutuskan untuk menyandarkan badanku di pohon yang sama dengan Koil. Aku memainkan jariku, pikiranku sangat berkecamuk. Sungguh, aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

'Apakah Brigith marah padaku? Kecewa?'

Aku mengalihkan pandanganku ke arah langit. Menatap birunya langit, yang semakin terang seiring berjalannya waktu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FINDING A ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang