Irene
Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan Keenan. Tanganku menggenggam dokumen yang sejak kemarin mengganggu pikiranku. Aku membuka pintu saat aku mendengar Keenan memintaku masuk. Saat pintu terbuka, mataku langsung beradu dengan mata Keenan yang tampak terkejut saat melihatku. Langkah kakiku pelan mendekatinya lalu duduk di kursi di depannya.
“Ada apa, Ren?”
Aku mengulurkan dokumen yang aku bawa tadi pada Keenan. “Aku tidak bisa menerima ini.”
Keenan
Saat melihat Irene pagi tadi, aku sengaja untuk menghindarinya. Sebisa mungkin aku tidak ingin melihat wajahnya dan membuat hatiku bergetar lagi. Namun, saat dia membuka pintu ruanganku dan kedua mata kami saling beradu, satu sisi hatiku menyadari bahwa aku sudah merindukannya meski hanya kemarin aku tidak bertemu dengannya. Lalu, saat dia mengembalikan dokumen promosi yang aku berikan padanya kemarin, perasaanku terasa bercampur aduk. Ada perasaan kecewa karena mungkin setelah ini aku akan sering mengalami kekecewaan lagi, tapi ada perasaan lega karena aku masih memiliki kesempatan untuk melihat Irene lagi.
“Kenapa, Ren?” tanyaku. Aku hanya ingin tahu alasannya.
“Aku merasa ini tidak tepat.” Jawaban Irene terasa mengambang. Aku menatap matanya dan mencoba mencari tahu apa yang disembunyikannya.
“Apa yang membuatmu merasa tidak tepat? Selama ini kamu bekerja lebih keras dari yang lainnya dan kamu sendiri juga mengatakannya beberapa hari yang lalu. Motivasi yang kamu punya itu membuatku ingin memberikan promosi itu padamu.”
Irene tidak langsung membalasku. Ia tampak berpikir dan mencari alasan.
“Banyak marketing yang memiliki kinerja bagus dan lebih tepat untuk mendapatkan promosi ini. Juga, aku masih merasa nyaman berada di posisiku sekarang.”
Aku menyandarkan punggungku pada sandaran kursi. “Kamu berat meninggalkan tempat ini?”
“Aku tidak akan keberatan untuk berada di tempat manapun hanya saja aku ingin meyakini kalau semua itu adalah pilihanku sendiri.” Jawab Irene. Kali ini dia terdengar jujur.
“Baiklah, kalau menurutmu seperti itu.” Aku akhirnya mengalah. Mungkin aku memang harus berada di sekitar Irene untuk waktu yang lebih lama lagi.
Irene lalu beranjak dari tempat duduk setelah meminta ijin untuk pulang. Pandanganku tertuju pada pintu yang tertutup setelah Irene melangkah keluar.
-00-
Irene
Hari jumat selalu saja padat dan itu membuatku malas untuk mengemudikan mobil sendiri. Itulah kenapa aku memilih untuk pulang dengan ojek online. Sepeda motor akan lebih cepat membawaku sampai di rumah. Aku turun dari sepeda motor saat pengemudi ojek menghentikan motornya di depan rumah.
“Terimakasih, Pak.” Aku mengembalikan helm padanya lalu berjalan memasuki pagar. Aku melangkah menaiki tangga dan membuat suara yang nyaring karena heels yang membentur besi.
“Baru pulang, Ren?” Suara Ervin mengagetkanku. Aku menoleh dan melihatnya sedang duduk di kursi besi.
“Iya.” Jawabku.
“Sudah makan malam?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng.
“Kita makan malam bareng yuk. Aku tadi belanja bahan makanan dan mau memasak tetapi aku tidak tahu caranya.” Ervin tersenyum saat mengucapkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Between [END] [The Wattys 2020]
RomanceKetika cinta hadir untuk membuatmu memilih. Bukan tentang mana yang paling baik di antaranya, tetapi mana yang bisa membuatmu bertahan dan tidak bisa hidup tanpanya. Shafiyya Irene sudah terbiasa hidup sendirian di dunia ini. Dia sudah pernah merasa...