Irene
Setelah hampir satu bulan, akhirnya aku bisa melepas armsling dan perban di tanganku. Beberapa kali aku juga harus menjalani terapi dan Ervin selalu menemaniku. Hingga akhirnya aku sangat terbiasa dengan keberadaannya di sampingku. Dia juga mulai terbiasa untuk masuk ke ruanganku meski hanya sekedar menonton televisi atau makan. Seperti siang ini, dia sudah duduk di sofa dan sedang menonton televisi. Di tangannya ada setoples kripik.
“Kamu nonton filmnya serius amat sih?” tanyaku masih dengan mata menatap layar ponsel. Aku sedang berkirim pesan dengan Nadya. Teman-teman sekantorku sedang berada di Bromo untuk family trip dan aku terpaksa absen karena kondisiku yang masih dilarang untuk beraktifitas yang melelahkan.
“Ini lagi seru-serunya, Ren.” Ervin menjawab tanpa menoleh sedikitpun. Aku menoleh padanya kemudian menatap ke layar televisi. Dia sedang melihat siaran ulang seri “FBI”.
Aku tersenyum lalu meletakkan ponselku di meja.
“Kamu mau es buah, Vin? Aku mau membelinya di depan perumahan.” Ucapku seraya beranjak dari tempat duduk.
“Kamu yakin bisa jalan sendiri ke sana?” Kali ini Ervin menatapku.
“Kan aku sudah punya dua tangan sekarang.” Aku menunjukkan kedua tanganku pada Ervin dengan senyum lebar.
“Eh, tapi tangan kanannya enggak boleh dipake bawa berat dulu.”
“Seberapa berat sih, Vin, dua bungkus es buah itu.”
Ervin tergelak. Dia akhirnya mengijinkanku pergi sendirian sementara dia kembali fokus dengan layar televisi.
Aku melangkah keluar dari pintu kamarku dan berjalan menuruni tangga. Langkah kakiku langsung terhenti saat melihat seseorang tengah berdiri di pagar depan. Orang itu juga sedang menatapku. Tidak ada senyum di bibirnya.
-00-
Ervin
Irene berjalan masuk ke dalam kamarnya lagi dan membuatku teralihkan dari melihat seri kriminal favoritku. Dia hanya diam saja dan wajahnya menunjukkan ekspresi yang susah tergambarkan.
“Kenapa, Ren?” Aku beranjak dari tempat duduk dan menghampiri Irene. Aku takut sesuatu terjadi padanya.
“Ada yang mencarimu.” Suara Irene terdengar lirih. Aku menoleh ke luar kamar dan rasanya tidak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang. Katniss berdiri di depan pintu dan sedang tersenyum padaku.
“Bisa bicara sebentar, Vin?”
Aku tidak langsung menjawab dan justru melirik ke arah Irene yang masih berdiri di sampingku. Dia seolah-olah menunggu responku.
“Apa yang ingin kamu bicarakan, Kat?”
“Bisa kita bicara berdua saja?” pinta Katniss. Matanya menatap Irene.
“Aku akan pergi dulu, Vin.” Seolah sadar dengan tatapan mata Katniss, Irene langsung memilih untuk pergi. Namun, aku memilih untuk menggenggam tangan Irene.
-00-
Irene
Seperti sengatan listrik yang langsung terasa di jantungku saat aku merasakan genggaman tangan Ervin. Aku langsung menoleh padanya dan ingin sekali menanyakan apa maksud dari sikapnya. Kenapa dia justru menghalangiku pergi padahal Katniss dengan jelas mengatakan kalau dia ingin berbicara berdua saja.
“Tidak ada yang disembunyikan antara aku dan Irene, jadi kamu bebas bicara sekarang.” Ucapan Ervin semakin membuatku tidak percaya. Tatapan matanya tajam pada Katniss. Dan ekspresi perempuan itu sulit terlukiskan. Dia tampak kecewa namun dia masih bisa tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Between [END] [The Wattys 2020]
Roman d'amourKetika cinta hadir untuk membuatmu memilih. Bukan tentang mana yang paling baik di antaranya, tetapi mana yang bisa membuatmu bertahan dan tidak bisa hidup tanpanya. Shafiyya Irene sudah terbiasa hidup sendirian di dunia ini. Dia sudah pernah merasa...