Suaraku - 1

260 9 10
                                    

Aku mendongak, menatap terik matahari yang begitu menyengat. Pandanganku beralih menyusuri sepanjang halaman rumah ini, aku baru saja selesai membersihkannya. Rumah minimalis bergaya bohemian ini milik tanteku yang tinggal di Bandung, yang belum lama ini beliau beli. Daripada kosong, Tanteku sendiri yang menawari. Rejeki tidak boleh ditolak bukan?

Ngomong- ngomong, dua bulan yang lalu dan beberapa tahun kedepan aku akan tinggal di sini, di Jakarta. Sebelumnya aku tinggal di Surabaya, kota kelahiranku.

Aku sangat menyukai musik, dan karena itulah aku memilih melanjutkan kuliah di Jakarta. Dari beberapa riset yang kulakukan, aku tertarik pada salah satu Universitas di kota metropolitan ini.

Aku mengambil sapu halaman untuk kemudian kusimpan di belakang pagar. Sebenarnya aku akan tinggal di sini dengan temanku, dia juga asli Surabaya. Meskipun bukan tetangga, kami sangat dekat, sudah berteman sejak SMP, entah bagaimana caranya kami bisa satu kuliah juga.

Namanya Meisie, Meisie Lituhayu, mulai pindah ke sini besok. Awalnya dia tinggal di kost dekat kampus, tapi dia bilang di sana tidak nyaman. Terlalu bebas katanya, bagaimana lelaki dan perempuan dengan mudah bertemu membuatnya sangsi. Aku bersyukur temanku itu masih mau menjaga pergaulannya.

Alhasil, aku menawarinya tinggal bersama. Lagipula aku sudah mengantongi izin dari tante dan mama. Mereka senang aku ada teman tinggal.

Aku ini tipe orang yang penakut. Perlu bertapa sebulan penuh untukku memutuskan tinggal sendiri di sini. Tiga hari setelah aku pindah, aku selalu tidur di sofa ruang tamu, dan mandi sekali sehari. Alasannya, ya karena aku takut. Untuk sekedar jalan menginvasi isi rumah pun aku terlalu takut.

Dan ya, saat tidak ada kegiatan aku akan diam sambil menoton film atau sekedar membaca buku favoritku sambil mendengar Jess Glynne memamerkan suara indahnya. Sofa ruang tamu menjadi spot favoritku, lebih tepatnya satu-satunya tempat yang berani aku jamah. Asli, aku tidak berani beranjak kemana-mana.

"Baru dibersiin Bi?"

Sedikit tersentak kaget mendengar seruan yang tiba-tiba itu, lalu aku menoleh, pada.. gadis tinggi sedikit berisi di belakangku. Langsung saja aku senyumi. "Eh, Kak Dea. Iya nih baru aja selesai."

Dea Fradella, tetangga sekaligus kakak tingkatku. Rumah kami berseberangan. Dia juga tinggal sendiri. Orangtunya tinggal di Pelembang.

Kak Dea mendekat, sambil sesekali tangannya menyentuh kaktus yang baru saja aku tanam. "Kok kaktus sih? Biasanya kan cewek sukanya bunga mawar, anggrek ato melati gitu biar kek Suzana." Aku terkekeh mendengarnya. "Lagian kan nih rumah konsepnya Bohemian gitu, tumbuhin kek apa gitu, yang ijo ijo."

"Kaktus kan juga ijo. Aku nggak terlalu suka tumbuhan kak, biasanya kan tumbuhan ada ulet bulunya.. ihh big no!!" Aku bergidik ngeri. Mengucapkannya saja membuat bulu tanganku meremang. Aku memang sangat benci ulat bulu.

Dulu, sewaktu masih di Surabaya, aku mengalami hal yang menurutku sangat mengerikan. Pernah suatu ketika, saat aku mandi, aku menemukan ulat bulu di balik handuk yang tergantung di belakang pintu. Entah bagaimana ulat itu sampai ada di handukku atau ulat jenis apa, yang aku tahu ulat itu berwarna cokelat tua dan mempunyai bulu yang panjang.

Oke, kita lupakan masalah ulat bulu dan mandi.

"Iya juga sih. Kalo taneman itu kadar bakalan ada ulet bulunya banyak. Tapi kan lo bisa pake obat hama gitu?"

"Wasting time. Kalo kaktus kan nggak usah nyiram," kilahku. Kak Dea terkekeh.

"Keliatan banget kalo nggak suka bertanam," ledeknya.

"Mending baca buku kak," balasku. Lagi-lagi dia terkekeh.

"Betewe soal baca buku, lo nggak ada rencana mau ke gramed gitu?" tanya kak Dea.

SuarakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang