Suaraku - 4

69 8 1
                                    

Aku berhenti di halte bus, 50 meter jaraknya dari kampus. Kulirik jam tangan di pergelanganku. Masih jam 2. Pantas saja sepi, biasanya halte ini ramai sekitar jam 4 sore.

Sebenarnya tadi Mei merengek memintaku ikut dengannya ke even bazar tahunan. Entah apa saja kegiatannya. Hanya saja aku tak terlalu suka. Membuang waktu menurutku.

Aku mengambil ponsel di saku dan bergerak duduk di kursi plastik berderet. Aku mau memesan ojek online.

Sedikit menggoyangkan ponsel di tanganku berharap signalnya bertambah.

Aku bersorak lega setelah lingkaran loading hilang. Tinggal mengisi lokasiku saat ini sebelum inderaku mendengar jeritan tertahan. Sepertinya tidak jauh dari tempatku duduk sekarang. Kusimpan lagi ponselku dan beranjak menuju sumber suara.

Suaranya semakin terdengar jelas, bedanya sekarang berganti dengan isak tangis. Tidak mungkin makhluk halus karena aku juga mendengar bentakan kasar dan keras. Apa mungkin kasus pembullyan? Tidak heran sih, tidak sedikit juga yang mengalaminya. Terkadang teman-temanku juga membicarakan kasus pembullyan yang dilakukan Triple G, geng cewek centil yang sering membully adik tingkat.

Dari kabar yang kudengar mereka sudah enam tahun kuliah tapi belum juga lulus. Entahlah, mungkin malas membuat skripsi.
Aku tak tahu apa inspirasi mereka menamakan gengnya Triple G, mungkin diambil dari huruf depan masing-masing anggotanya. Gita, Gisel, dan Gwen. Entah sengaja atau kebetulan semata huruf depan nama mereka bisa sama.

Kukira kasus pembulian hanya ada di cerita novel atau film remaja, tapi ternyata aku pernah melihatnya. Hanya saja logikaku memaksa untuk mengabaikannya. Dengan alasan aku tidak ingin berada dalam masalah. Disaat seperti ini aku sadar, betapa rendahnya pemikiranku.

Aku berdiri mematung setelah langkahku berhenti di ujung gang sempit. Aku menutup mulut menahan jeritan saat melihat ibu tua renta didorong kasar oleh lelaki tinggi berotot.

"Tolong kembalikan uang itu Adam. Adik mu benar-benar membutuhkannya." Ibu itu mendongak sambil sesekali menghapus air matanya. "Ibu janji, nanti setelah adik mu sembuh Ibu akan pinjam uang ke Den Bima. Tapi tolong jangan uang itu. Ibu mohon."

"BUK, ADAM BUTUHNYA SEKARANG. BUKAN NANTI!!"

"JANGAN!!" aku berteriak sambil berlari melihat lelaki itu mengangkat tangannya, siap untuk memukul. Seruanku yang kencang tadi membuat lelaki itu menghentikan gerakannya.

"Siapa lo??" Aku menghiraukannya dan bergegas membantu ibu tersebut untuk berdiri. Kalau didengar dari ucapan mereka tadi, aku yakin mereka adalah Ibu dan anak. Tapi si lelaki kasar itu sama sekali tidak mencerminkan selayaknya anak.

Aku menatap nyalang dia yang wajahnya sudah merah menahan amarah. "ELO YANG SIAPA?" kuteriakkan itu tapat di depan wajahnya. "Gue yakin ini Ibuk lo. Tapi lo perlakuin - Aww."

Ucapanku terhenti saat dengan tiba-tiba dia mendorong kasar bahuku. Membuatku kehilangan keseimbangan dan terjatuh di tanah. Aku meringis. Pinggangku sakit sekali.

"Ya allah nduk!" Ibu itu terkejut dan segera menghampiriku dengan raut cemas. Tapi aku menghiraukannya. Fokusku saat ini tertuju pada lelaki tadi yang sudah siap berlari. Mengedarkan pandangan di sekitarku, aku berbinar melihat gundukan batu besar dan kecil di belakangku. Tanpa aba-aba aku meraih satu batu dan langsung mengarahkannya pada lelaki tadi.

Tepat sasaran. Mengenai pangkal lehernya. "BRENGSEK!!" dia mengerang sambil menekan lehernya yang terkena lemparanku. Belum puas, aku mengambil satu batu lagi dan melayangkannya padanya. Kali ini mengenai betisnya.

"Ibuk tenang ya? Aku ambilin uangnya," aku memandang dan berkata lirih pada Ibu yang menangis terisak di sampingku sebelum beranjak dan berlari pada lelaki yang sekarang mengangkat satu kakinya sambil mengerang sakit. Langsung saja kudorong dia dengan sekuat tenaga. Tidak peduli apa yang akan kudapatkan setelah berlaku kasar padanya, aku menarik amplop cokelat di tangannya.

SuarakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang