Suaraku - 2

90 7 5
                                    

"Beneran lo mau ke Gramed sendiri?" Aku menutup buku kesal, lantas menoleh pada Mei yang duduk di sebelahku. Kami sedang duduk di sofa ruang tengah.

"Iyaa Me. Daritadi nanya itu mulu ihh," gondok sekali, pasalnya sejak aku bilang ingin ke Gramedia besok, Mei tak hentinya merecokiku dengan pertanyaan. Aku memang berencana akan ke Gramedia besok, sebelum kuliah. Jadwalku sore, jadi lebih baik aku gunakan waktu siangku untuk keluar, daripada bermalas-malasan di rumah.

"Ya gue nggak tega aja. Lo kan belum lama di sini. Terus mau keluar sendiri pake motor lagi," ucap Mei sambil memasukkan kacang polong ke mulutnya.

"Udah lo tenang, gue bisa kok. Nggak perlu kawatir," ucapku santai.

"Nggak kawatir gimana si lu! Ini tuh Jakarta, bukan Surabaya. Tar kalo lo salah jalan atau parahnya salah jalur gimana? Berabe tar urusannya." Mei menaruh toples kacang di meja. Sekarang tubuhnya sudah sepenuhnya menghadapku. "Bukannya gue nggak mau minjemin motor. Tapi emang bahaya Bi. Gue nggak mau ya ambil resiko. Mending lusa deh gue anterin. Atau kalau nggak lo tunggu besok gue balik ngampus, setelah itu gue anterin. Gimana?" Tawarnya. Diam-diam aku menyembunyikan senyum. Mei terlihat mencemaskanku. Ia menawarkan diri untuk mengantarku, tapi besok seharian penuh dia ada kegiatan oraganisasi di kampus. Kalau begitu kenapa menawarkan diri mengantar kalau memang tidak bisa? Aihh.

"Santai dong Me. Beneran gue nggak papa. Sedikit banyak gue tau kok, jalanan Ibukota. Kalo ke Gramed mah udah pernah gue. Dua kali malah. Tenang aja, gue bisa jaga diri kok. Kek apa aja lo," aku melanjutkan membaca novelku setelah menjelaskan panjang lebar.

Terdengar Mei menghela nafas. "Okedeh. Ati ati tapi lo."

"Pasti lah. Takut banget motor lo bonyok," candaku.

"Yee si upil shinchan! Elonya elah, bukan motornya!" ucap Mei sambil mendorong bahuku. Aku terbahak kencang. "Lagian gue juga udah janji ke nyokap lo bakalan jagain elo," lanjutnya, sekarang Mei melanjutkan kegiatan memakan kacang polongnya tadi sambil memandang televisi

"Iya iya," balasku singkat

Sebenarnya bisa saja aku naik ojek online. Tapi aku sedang ingin mengendarai motor di jalanan Ibukota. Aku akan memakai motor Mei. Aku heran, Mei sudah dibekali motor oleh orang tuanya. Sedangkan aku, baru meminta saja sudah ditolak mentah-mentah. Mama bilang tidak tega. Yasudah, mungkin mereka tidak ingin hal buruk terjadi padaku.

***

Motor matic Mei aku belokkan pada pintu masuk kompleks, lantas berhenti di sebuah rumah satu lantai yang besar setelah melewati gerbang. Aku sedikit heran, pasalnya tidak biasanya gerbang rumah Kak Dea terbuka begitu saja. Aku singgah ke sini untuk memberikan titipan buku Kak Dea waktu itu. Aku baru saja pulang dari toko buku.

Aku melepas helm, turun dari motor setelah menstandarkannya. Tanganku meneteng bingkisan yang isinya buku. Ada satu mobil Jeep abu-abu bertengger manis di halaman yang luas ini. Kulihat dari sini pintu rumah Kak Dea terbuka. Dan baru saja aku ingin memanggilnya Kak Dea sudah keluar dahulu.

"Loh, Bi?" dia sedikit kaget dengan kedatanganku. Aku membalasnya dengan senyuman. "Udah di luar daritadi?" tanyanya, matanya mengedar ke belakangku. "Abis darimana bawa motor?"

"Gimana nih jawabnya elah," keluhku. Aku duduk di kursi plastik samping pintu. "Capek. Numpang duduk," aku menyengir.

"Nih baru aja sampe. Dari gramed tadi." kuserahkan bingkisan berplastik putih yang aku bawa, "titipan Kakak."

Kak Dea menerimanya. "Eh, udah beli aja," lalu mengeluarkan isinya. "Wihh bener ini bukunya, pinter dah lu!" pujinya tersenyum senang sambil memeluk bukunya.

SuarakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang