[7]-Sembunyi

82 25 56
                                    

Berkat lampu kamar yang mati, Sadeena tidak mungkin menempati kamarnya lagi. Dia juga masih trauma dengan suara-suara aneh yang mengganggunya. Jadi ... mungkin, Sadeena akan membersihkan kamarnya besok.

"Ada lagi yang lo butuhin?"

Sadeena berbalik ke arah Wildan yang berdiri di belakangnya. Kemudian matanya melirik bantal dan selimut yang dia genggam. "Kayaknya nggak ada. Lo ... gak apa-apa gak pakai selimut?" tanya Sadeena.

Bukan keinginan Sadeena sebenarnya. Tapi keinginan Wildan sendiri untuk menginap. Katanya, biar bisa mengawasi Sadeena dengan tenang.

"Bantal aja cukup kok. Gue udah biasa sama kedinginan." Mengingat kamar Wildan yang dulunya bekas gudang ... dan Mama Tyas yang tidak rela Wildan tidur dengan nyenyak, jadi dia tidak pernah merasakan bagaimana nyamannya tidur dengan selimut tebal. Kecuali dengan kain tipis yang tidak sampai menutupi seluruh kakinya. Tapi ... Wildan tidak apa-apa. Sudah biasa.

Sadeena pun mengangguk meski jujur saja, merasa sangat tidak enak. Tidak mungkin kan kalau sekarang Sadeena pergi ke dapur untuk mengambil gunting? Lalu membagi dua selimutnya agar bisa dipakai dirinya dan Wildan. Terlalu memaksa, sekali.

"Lo beneran tinggal sendiri di sini?" Sambil mengekori Sadeena yang berjalan ke arah ruang tamu, Wildan bertanya.

"Mm ... harusnya sama Kakak. Tapi, Kakak lagi sibuk sama kerjaannya di kantor," jawab Sadeena. Sadeena memandang dua sofa yang terpampang di depannya. Dua sofa itu di batasi oleh meja kayu berbentuk persegi. Syukurlah. Setidaknya, ada pembatas. "Gue tidur di sini. Lo, di sana." Sadeena menunjuk sofa di sebelah kiri. Sofa untuk Wildan.

"Ok." Wildan berjalan ke sofa tersebut dan menjatuhkan dirinya untuk duduk. "Kakak lo kerja apa?"

"Reporter."

Wildan mengangguk-angguk. Kini membenahi posisi bantal, agar dia bisa tidur dengan nyaman. "Kapan ... Kakak lo pulang?"

"Nggak tahu. Dia bilang, tugasnya berat. Butuh berhari-hari nyelesaiinnya." Sadeena juga melakukan hal yang sama dengan Wildan.

"Kalau orang tua lo?" Wildan rasanya sudah menjadi wartawan jadi-jadian. Karena kerjaannya sedari tadi menanyai Sadeena. Untungnya, Sadeena tidak merasa keberatan.

"Ayah dan Mama ada di Bandung. Gue di Jakarta karena Kak Sandra, sekaligus kuliah juga." Sadeena harap jawabannya cukup jelas. "Mm, kalau orang tua lo, gimana?" tanya Sadeena.

Wildan tergugu. Orang tuanya? Apakah Sadeena ... orang yang layak untuk mengetahui, secuil privasi soal keluarganya? Wildan menarik napas sebelum menjawab, "Ayah gue ada di sini, di Jakarta. Kalau Mama ... udah lama meninggal."

Sadeena tampak terkejut mendengar penuturan Wildan. "So--sorry ya, gue nggak tahu."

Wildan tersenyum. Dia merasa, Sadeena perempuan yang baik dan bisa dipercaya. "Gak apa-apa. Lo nggak salah."

"Maaf juga, gara-gara gue ... lo harus ke sini. Gue ganggu banget ya, pasti?" Sedari tadi Sadeena ingin mengatakan maaf. Dia tidak bisa tenang kalau belum menyampaikannya langsung pada Wildan.

"Nggak perlu minta maaf. Lo nggak gangu Sadeena," ujar Wildan. Wildan merebahkan dirinya. Kakinya terjulur, menumpu pada lengan sofa. "Empuk juga," komentarnya. Memang benar. Lebih empuk daripada tempat tidur Wildan sendiri.

Sadeena ikut merebahkan dirinya. Berbaring dengan gaya terlentang. Selimutnya ditarik sampai ke dada. "Gue masih kepikiran soal--,"

"Jangan dipikirin." Wildan menyela sebelum Sadeena selesai berbicara. Lalu memiringkan tubuhnya, agar bisa menghadap Sadeena. "Yang penting lo ada di sini. Di samping gue."

Scary Voice✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang