Part 4- Mati?

10 7 9
                                    

"Lakukan secara spontan, El. Hidup itu takdir. Dan takdir adalah milik kita. Jangan biarkan takdir mempermainkanmu!"

Aligra menggelengkan kepalanya pelan. Tanpa aba-aba, Aligra menendang tubuh salah seorang wanita serba hitam itu. Harapannya, pisaunya akan jatuh dan ia akan melawannya dengan tangan kosong, namun yang terjadi malah sebaliknya. Tangan kiri wanita itu menangkap kaki Aligra membutnya tak seimbang berdiri. Pisau yang berada tepat di samping lehernya terlihat begitu tajam.

Pisau itu mulai mngengiris kulit leher Aligra, darah segar mulai keluar. Aligra meringis. Perih. Sakit. Ia memejamkan matanya, menerima apapun yang akan terjadi.

Bug!

Pisau itu terjatuh. Begitu pula empunya. Aligra membuka matanya. "Aurel!"

"Lari!" serunya dengan menendang orang itu hingga terjungkal seperti temannya.

Aligra dan Kenaya berlari keluar dari gedung itu dengan bergandeng tangan. Keringat mulai membasahi keduanya. Napasny pun berderu.

Hidup ini memang bukanlah pelarian. Tapi terkadang kita harus berlari menerobos besarnya badai.

Aligra dan Kenaya melepas genggamannya masing-masing. Mereka duduk di pembatas jalan yang dibawahnya sungai besar.

Tiba-tiba kedua orang serba hitam tadi muncul. Kenaya menarik tangan Aligra untuk berlari. Sampai di pertigaan jalan, "El, kamu kekanan biar aku kekiri untuk mngecoh mereka."

"Tapi...."

"Sudahlah, El. Hati-hati!"

"Aurel.."

"Pergi!"

"Aurel..."

"Pergi!"

"Aurel.."

"CEPAT PERGI ALIGRA! SEBELUM MEREKA MENANGKAPMU!"

Kenaya mendorong tubuh Aligra agar pergi  Aligra mulai berlari berlawanan dengan arah Kenaya.

"Hai, kalian! Tangkaplah aku! Jika kalian berani!" teriak Kenaya pada orang-orang yang mengerjarnya untuk tidak mengejar Aligra.

Aligra menerobos kerumunan orang, melewati pemukiman, dan menelusuri jalan raya. Mnabaikan orang-orang yang memanggil nama Cleora kepadanya.

Seseorang menyapanya, "Hai, Cleora! selamat berlomba, biarkan aku menang kali ini ya?!"

"Berlomba?" jawabnya kebingungan. "Hei," belum sempat ia bertanya, gadis yang tadi menyapanya sudah berada jauh di depannya.

Ia melihat kearah kaca rumah yang dilewatinya. Rambutnya yang pendek berubah jadi panjang dan diikat ekor kuda. Kini ia memakai kaos lengan pendek berwarna kuning dan celana pendek hitam. Dengan nomor 344 yang tertera di kaosnya.

Aligra memegang kaca tersebut. Wajahnya mengekspreksikan kebingungan. Perlahan ia mundur, memperlebar jaraknya dengan kaca.

"Hai Cleora, kamu pasti sudah berlari sangat jauh," ujar Fanesa, orang yang memakai pakaian sama dengannya, hanya saja, nomornya berbeda.

"Nayla...," ujar Aligra.

"Tentu saja. Kita sudah melewati berbagai pemukiman dan sungai." jawab Angel.

"Sebaiknya kita cepat untuk memenangkan pertandingan ini!"

Gadis bernomor 357 itu menarik Aligra untuk berlari bersama dengan Fanesa, dan temannya.

"Ingatkah kamu Cleora, kita selalu berlari seperri ini, kita selalu bersama," ucap Angel.

"Iya, saat masih mengenakan seragam sekolah. Aku masih ingat jelas," timpal Liana.

"Aurel, Nayla, Diandra, kalian...."

Ketiga gadis sekerika berubah memakai seragam SMA. Ketianya menoleh dan tersenyum sambil terus berlari.

Tiba-tiba Aligra mengingatnya, empat gadis kecil berlari dengan cepat disebuah perlombaan. Wajah mereka terlihat serius, dengan keringat yang membasahi wajah mereka. Sorakan anak-anak menyoraki Cleora untuk menambah semangat. Dia berlari kencang.

"Hidup kita selalu berlari, Cleora." ujar Fanesa.

"Aurel...." guman Cleora.

"Cleora baru saja bergabung dengan kelimpok ke dua. Seorang pelari profesional. Kecepayannya tidak berkurang sama sekali." ucap seseorang menggunakan toa.

"Cleora dan teman-temannya memimpin sekarang."

"Ingat, Cleo, kita ini tim. Dari SD sampai kapanpun," ujar Fanesa.

Cleora berlari sekuat tenaganya, gais finish sudah di depan mata. Ingatannya tentang anak kecil itu kembali hadir. Namun, Angel menepuk punggungnya hingga lamunannya buyar.

"Fokus, Cleo, jangan berfikir!"

"Ini sudah kita impikan dari dulu, Cleo!"

Cleora mengangguk. Tiba-tiba pria berkepala babi itu muncul di deretan peserta paling belakang bersama dengan dua orang serba hitam itu. Mereka mengejar Cleora. Cleora menatap teman-temannya.

"Hidup itu spontan. Seperti aku menghancurkan kamarku, Ella. Itu sangat menyenangkan!"

"Aurel..."

"Ayo, cepat!"

"Mereka mengerjarmu Cleo! Cepatlah!"

Orang-orang serba hitam tadi sudah tepat dibelakang Cleora. Napas Cleora memburu.Dia mempercepat larinya. Tepat di depan gais finish itu, Cleora berbelok, menjauhi orang-orang itu.

"Cleora!"

"Cleora!"

"Cleora!"

Cleora tak peduli orang-orang meneriaki namanya, yang ia inginkan hanya jauh dari orang serba hitam itu. Cleora terus berlari sampai ke lereng. Ia menatap gua yang ditempatinya sekarang. Cahaya matahari menerobos masuk melalui  celah-celah batu di atas sana.

Cleora memegang lututnya, berusaha mengatur napasnya. Mencerna yang baru saja terjadi. Kepalany pusing.

"Hai! Kemarilah!" Teriak seorang gadis berambut bob dengan seragam SMA kearahnya sambil melambaikna tangan.

Cleora berlari kearahnya, begitupun sebaliknya. Dia memeluk Cleora sebentar. Kemudian menggandeng tangannya dan masuk ke dalam gua itu. Tampak banyak sekali gadis dengan seraam SMA berdiri membelakanginya.

"Aurel.."

Gadis itu adalah Aurel. Aurel menatap mata Cleora dan menggenggam tangannya.

"Lakukan apa yang aku perintahkan. Kau paham?" Aurel mengatakannya dengan napa yang memburu.

Cleora mengangguk.

"Hei, katakan 'aku estella'!"

Tiba-tiba terlintas tentang bus itu. tubuh-tubuh itu. Cleora benci mengingatnya.

"Aku.."

"Estella!" Aurel meneriakinya.

"Aku estella"

"Aku Eatella!"

"Aku Estella!"

"Aku Estella!"

"Aku Estella!"

Aurel dan Cleora bergantian meneriakan kakimat itu. Cleora menangis. kini ia sudah berpenampilan seperti Estella lagi.

"Baiklah, El, sekarang pejamkan matamu. Ingat semuanya."

Estella memjamkan matanya.

"Lenyapkan aku, Ella."

TBC.
Maaf menggantung kebanyakan kalau

DNA ESTELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang