"Ra, tunggu." Cika masih mengejar Ara yang sedang berjalan cepat. Dia berhasil mencekal tangan Ara membuatnya berbalik dan menghadapnya.
"Kalo kesel, jangan kayak anak kecil gini dong."
"Maksud lo?"
"Ya sikap lo ini kayak anak kecil tau gak?"
"Kok lo nilai gue kayak gitu, dari mana coba sikap gue yang anak kecil?" Ara merasa sedikit terganggu dengan pernyataan Cika.
"Lo cuman pentingin perasaan yang gak nyaman lo itu ke Galih."
"Terus? Itu kan urusan gue."
"Iya gue tau, tapi at least lo respect sama Galih."
"Maksudnya?Respect gimana?"
"Dengan respon dia kayak gitu, paling enggak lo respect sebagai teman."
"Cik, lo tau alasan gue kenapa kayak gitu."
"Iya tau, tapi gak gitu juga caranya."
"Tingkah gue yang dingin dan jutek adalah cara gue yang nolak dengan tegas kepada cowok yang suka sama gue. Kan gue udah pernah bilang sama lo."
"Iya Ra, tapi lo gak ada perasaan sedikit rasa kasian apa sama Galih? Dari semenjak kita masuk, dia ga berhenti ngejar lo."
"Enggak."
"Ra, seengganya kasih dia kesempatan buat jadi temen lo." ucap Cika menasihati dengan pelan-pelan.
"Bukannya dengan itu gue malah kasih harapan yang lebih tinggi ke dia?"
"Gue yakin, setelah dia mengenal lo lebih jauh, dia akan secara perlahan menjauh dengan seiring waktu. Karena pada akhirnya perasaaan engga bisa dipaksa sampai kapanpun." Cika berusaha menyakinkan Ara untuk lebih terbuka kepada cowok, karena dia yakin sebagian cowok di sekolah hanya ingin berteman saja tanpa maksud lebih dari itu. Terkadang pikiran Cika bisa dewasa, dan hal itu yang membuat Ara nyaman dengannya.
"Cik, lo yakin? Kalo gue ngelakuin itu, nanti banyak cowok yang berharap lebih ke gue." Ara berpikir keras dengan pendapat Cika.
"Ra denger gue, kalo pun iya, mereka pasti tau lo cuman mau temanan doang dan ga lebih, mereka pasti akan ngerti. Apa salahnya sih Ra buat mereka jadi teman lo?"
"Gue... cuman belom siap Cik." Dahi Cika berkerut dengan pernyataan Ara.
"Belom siap untuk apa?"
"Untuk jatuh cinta dan sakit secara bersamaan." Ara menatap manik mata hitam Cika yang legam, Cika melihat ada ketakutan yang dirasakan oleh Ara jika sampai terjadi. Cika menggenggam tangan Ara.
"Yakin sama gue Ra, kalo sampai itu terjadi, gue selalu ada disisi lo." Ara merasa terharu dengan perkataan Cika dan menarik Cika dalam peluknya.
"Gue harap, semuanya gak berubah setelah gue merubah sikap ke mereka."
-----
Setelah mengantar Cika pulang ke rumah nya, Ara pergi ke tempat favoritnya yaitu Coffee Shop, saat ini ia sedang butuh ketenangan untuk berpikir. Ara memasuki cafe dan memesan Cappucinonya sambil mencari tempat duduk yang dekat jendela. Setelah itu minumannya datang dan Ara menyesapnya secara perlahan. Kemudian ia membuka novel yang belum sempat ia baca di sekolah karena kesibukkannya mengerjakan tugas sambil mendengarkan lagu. Satu jam berlalu tanpa terasa, kemudian ada seseorang yang menepuk pundaknya, lalu Ara menengok kebelakang dan menemukan pelakunya yaitu Arga. Ara melepaskan earphone yang sedang dipakainya.
"Arga, lo ngapain disini?"
"Gue mau ngopi aja, kalo lo?"
"Sama kayak lo."
YOU ARE READING
ELUSIVE
Teen FictionKamu benar, tentang semua hal yang kamu katakan. Tentang waktu adalah hal yang paling berharga dan kenangan yang tak akan bisa dibuat kembali. Lalu aku terlupa dengan hukum alam yang bahwasannya semua yang kita lakukan akan mendapat resiko. Sama se...