Pernah Ada, Menjadi Seseorang Yang Membekas Di Kali Pertama Bertemu

321 11 0
                                    

Waktu itu gue sekitar usia enam tahunan. Masih kecil. Bocah ingusan, lasak pula nggak bisa diam. Ciri-ciri anak kecil banget. Kelas satu SD lah, dan sangat nggak tahu apa-apa tentang yang namanya rasa cinta dan semacamnya. Hey, masanya anak-anak adalah masanya main-main dan bersenang-senang, kan? Dulunya.

Gue dulu sama kayak anak kecil pada umumnya. Seneng banget bisa main sama temen-temen yang sebaya sampai lupa waktu. Rambut gue dulu selalu dicocang dua sama si Bunda. Biar rapi katanya. Jadi kalau gerak kesana kemari kan nggak perlu disibukkan oleh rambut yang panjang. Gue saat itu menyandang predikat anak pertama sekaligus anak satu-satunya dari kedua orang tua gue - setidaknya beberapa tahun. Gue pernah marah dan nggak suka waktu Ayah dan Bunda tanya ke gue "Mau punya adik, nggak?". Gue yang waktu itu masih kecil, menolak mentah-mentah pertanyaan itu, yang sekarang gue udah tahu itu adalah sebuah permintaan izin. Gue bakal merengut sama mereka berdua kalau terus-terusan menggoda dengan pertanyaan yang sama. Tetap gue nggak mau.

Yah, lama-kelamaan sih mereka berdua mulai mengurangi keseringan bertanya hal itu sama gue. Dan gue pun memang berusaha untuk nggak mengingatnya sama sekali. Karena yang ada di pikiran gue waktu itu adalah main, main, main, dan main, serta main. Senengnya main-main. Mandi hujan sama temen. Meloncat riang di genangan air. Becek-becekan. Hal-hal sederhana yang sulit diulangi saat sudah beranjak dewasa gini.

Hidup gue penuh main-main. Yah namanya juga anak-anak. Nggak di sekolah, di rumah, ya pasti ketemu banyak teman untuk main bareng. Apa aja pokoknya biar seru. Pulang ke rumah hanya untuk mengisi perut lalu pergi main lagi. Sama sekali nggak kepikiran buat gue untuk punya adik. No way. Entah lah, gue baru ngerasa aneh sekarang, kenapa dulu gue kukuh banget nggak mau punya adik dari Ayah dan Bunda. Padahal, yang gue rasain sekarang adalah sebuah rasa syukur karena gue bener-bener punya adik yang ternyata menyenangkan.

Jadi pada suatu hari saat gue pulang sekolah, sekitar jam sepuluh pagi menjelang siang, masih mengenakan seragam SD yang membuat gue kelihatan imut, gue memasang ekspresi heran khasnya anak kecil ketika melihat sesuatu yang membuat penasaran. Di sebelah rumah gue, ada beberapa orang yang tengah sibuk mengangkat banyak barang dari luar ke dalam rumah. Gue waktu itu memang masih anak-anak, tapi gue tahu betul bahwa rumah yang berada di sebelah rumah gue itu udah lama kosong. Nggak ada penghuninya sudah cukup lama. Gue yang masih berdiri di teras rumah, penuh dugaan bahwa keluarga gue kayaknya bakal punya tetangga baru. Kelihatannya begitu. Dan saat gue nggak sengaja melihat Bunda berada di antara orang-orang itu, gue langsung berlari kencang menyusulnya. Mendatangi rumah yang berjarak cukup dekat dari rumah gue. Bunda lihat gue lari-larian ke arahnya, gue dengan riangnya langsung melompat ke dalam pelukannya.

Bisa gue hirup aroma daster yang dipakai bunda waktu itu, aroma sabun cuci pakaian. Biasanya dulu kalau gue pulang sekolah, pasti Bunda tengah mencuci pakaian kotor keluarga kami. Tapi gue heran, kenapa Bunda ada di rumah yang sudah lama kosong bersama beberapa orang yang sedang menyusun barang?

Penasaran gue langsung terjawab saat Bunda bilang mereka adalah orang baru di rumah itu. Pindahan dari luar kota yang nggak pernah gue dengar sebelumnya. Bunda di situ sedang membantu keluarga tersebut untuk menyusun barang mereka. Beberapa orang dewasa mengangkut perabotan rumah tangga yang kelihatan cukup berat. Banyak tumpukan kotak di sekitar kami. Gue nggak tau isinya apa karena merasa nggak penting. Gue nengok kesana kemari sambil digendong Bunda. Berharap menemukan calon teman yang seumuran. Sementara Bunda sesekali meraih benda-benda yang terbilang ringan lalu diulurkan pada seorang wanita yang kelihatan sedikit lebih tua daripada Bunda.

Saat gue masih asik noleh sana dan sini, saat itulah seorang anak laki-laki melangkah keluar dari rumah itu. Dilihat dari porsi badannya, gue duga dia adalah seorang remaja. Dia tersenyum ramah pada Bunda lalu meraih beberapa kotak kardus. Gue waktu itu nggak bisa melepas pandangan darinya. Entah nggak tau kenapa wajahnya terlihat ramah di mata gue. Bukan berarti gue gatel dong. Nggak sama sekali. Kebetulan di lingkungan rumah gue memang jarang sekali ada anak remaja seusianya. Kalau pun ada, kebanyakan perempuan. Membosankan. Jadi begitu melihat seseorang sepertinya, mata gue kayak dipaksa nengok ke dia terus. Dilock.

Dia ternyata sadar kalau gue yang seorang anak kecil berbalut seragam SD sedang menatapnya penuh selidik. Biasalah anak-anak. Anehnya gue nggak kedip sedikitpun saat dia melangkah mendekat ke arah gue yang masih berada di gendongan Bunda. Waktu itu gue membuat sorot mata yang kelihatan menantang padanya. Dia senyum ke gue. Super ramah. Tinggi badannya setelinga Bunda. Otomatis gue nggak harus mendongak untuk melihat wajahnya.

Sampai sekarang pun gue masih ingat wajahnya yang kala itu sangat mulus dan bersih saat pertama kali gue melihatnya. Mulusnya kayak pantat bayi masa. Dia sambil menenteng sebongkah kotak kardus di pelukannya, bertanya sama gue, "Kelas berapa?" dengan suara yang terkesan lembut dan baik.

Gue yang pada dasarnya memang jarang dekat sama seseorang yang lebih tua daripada gue, - ya walaupun gue tahu, dia masih remaja - jadi yang menjawab pertanyaannya itu ya Bunda. Bilang bahwa gue kelas satu SD sambil menggoyang-goyangkan tubuh kecil gue. Dan gue diam saat itu. Entah gue yang terlalu imut atau apa, laki-laki itu mencubit gemas pipi gue kemudian melangkah masuk ke dalam rumah.

Singkat betul. Tapi berhasil menciptakan sesuatu yang membuat gue nggak bisa berhenti mikirin dia. Sesuatu yang membekas di awal pertemuan. Padahal gue waktu itu masih anak-anak. Itu pertama kalinya bagi gue bertemu dan berinteraksi dengannya. Seorang laki-laki yang usianya terpaut jauuuuh sekali sama gue. Yang ternyata adalah tetangga baru gue. Dan gue sama sekali nggak pernah menyangka, bahwa dialah laki-laki yang pernah ada di dalam kisah kehidupan gue. Menjadi sosok seorang abang untuk gue. Mengisi hari-hari gue dengan warna-warni yang indah, mengalahi warna crayon saat gue menggambar bersama temen sekolah. Dia yang pernah ada selama bertahun-tahun di hidup gue sampai pada akhirnya gue dan dia harus berpisah.

Walaupun kembali bertemu lagi, apa kebersamaan itu akan tetap sama?

Itu yang sempat gue pertanyakan bertahun-tahun lamanya.

Dia pernah ada.

Pernah pergi juga.

Dan pernah kembali.

Gue sangat bersyukur, bahwa perlakuannya terhadap gue nggak pernah berubah dari waktu ke waktu.

Seiring usia gue bertambah, dia kelihatan semakin sayang sama gue.

Itu yang gue rasakan.

Mungkin gue terlalu nakal memaknai bahwa dia memang sayang sama gue. Tapi bagaimana lagi, gue nggak bisa menolak fakta bahwa dia memang peduli banget sama gue.

Pernah AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang