Lanjutan

53 3 0
                                    


Hingga lama kelamaan sepertinya dia terganggu dengan tatapan gue yang nggak ada kedipnya sedikitpun. Setelah meletakkan sebuah buku, tatapannya beralih ke gue.

"Kamu suka baca buku nggak, Tang?"

Gue merasa sedikit terusik, lalu geleng-geleng kecil.

"Bunda nggak pernah manggil Bintang dengan sebutan Tang, Bang. Ayah sering dimarahin sama Bunda karena manggil Bintang kayak gitu."

Iya, gue terusik dengan sebutan Tang itu yang sudah diucapkannya sebanyak dua kali. Kalau Bunda tahu, bisa habis Bang Awan kena ceramahannya.

Gue lihat dia menyeringai tipis. "Iya, iya. Bintang. Dasar anak kecil. Kamu belum jawab pertanyaan Abang, kamu suka baca buku nggak?"

Gue nggak mengangguk ataupun menggeleng. Cepat-cepat gue bertanya balik, "Buku apa?"

Bang Awan mendengus singkat. "Yah buku apa aja. Entah buku sekolah, buku cerita, buku dongeng, buku kumpulan doa, atau buku novel barang kali. Oh iya, anak SD kayak kamu mana tau apa-apa tentang novel."

"Bintang biasanya suka baca buku pelajaran kalau lagi di kelas dan belajar di rumah, Bang. Tapi novel itu apa?"

"Anak SD memang harus rajin-rajin baca buku pelajaran supaya pintar dan bisa dapat ranking di kelas. Kalau kamu mau tau apa itu novel," Dia segera meraih sebuah buku dari rak meja belajarnya. Lalu sambil memegangnya, dia perlihatkan sama gue. "Seperti inilah dia. Ukurannya memang agak lebih kecil daripada buku pelajaran sekolah, dan rata-rata tebalnya bisa beratus-ratus halaman bahkan ada yang ribuan. Tapi sekali aja kamu selesai membaca satu buah novel, pasti kamu bakal ketagihan untuk baca novel lainnya. Kamu belum pernah dengar sebelumnya, ya?"

Gue mengangguk putus-putus, antara mengiyakan pertanyaannya dan mengamati sebuah buku tebal yang dia sebut dengan novel itu. Gue hampir nggak bisa bernapas secara lancar karena melihat novel yang dipegangnya memiliki tebal yang cukup tebal untuk ukuran anak SD, mengalahi tebal buku pelajaran di sekolah gue. Untuk beberapa menit tatapan gue hanya terfokus pada novel itu. Gue memperhatikannya begitu seksama. Sampul novel itu yang didominasi oleh warna kuning dan oranye, yang kelihatan sudah agak usang dan sedikit robek di beberapa sisi. Secara fisik, gue suka dengan warna sampulnya. Cerah. Tapi begitu gue membaca sebuah bacaan pada cover depannya, kening gue langsung kisut.

Gue tertatih-tatih berusaha membaca kata demi kata dari sebuah judul panjang dengan font berwarna putih yang tercetak jelas di gambar selembar daun kering.

Belum sempat habis gue baca, Bang Awan buru-buru menjauhkan novel itu dari wajah gue kemudian dia simpan kembali di rak buku. Seketika gue langsung kesal. Dia nggak menghargai usaha anak SD yang bersusah payah mencoba membaca kalimat yang nggak dimengerti.

"Kok disimpan, Bang? Bintang kan belum selesai baca bacaan di depannya."

Bang Awan menghadap gue kembali dan memberikan senyuman singkat. "Belum pantas buat kamu. Ada waktunya baru kamu boleh baca novel itu."

"Oh, ya? Kenapa gitu, Bang?"

Kali ini senyumannya sedikit lebih lama, walau terlihat tipis. "Kamu nggak akan ngerti. Bahasanya susah dan bikin pusing. Abang aja belum siap bacanya. Pokoknya, ada masanya kamu bisa membaca novel itu."

"Kapan?" Gue yang semakin kepo nggak bisa untuk berhenti bertanya. Gue sempat bingung saat melihat Bang Awan malah tertawa melihat wajah gue.

"Saat usiamu tiga belas tahun."

Gue diam setelah itu. Mengalihkan pandangan ke arah lain, sambil menghitung berapa tahun lagi gue berusia tiga belas tahun saat itu. Sempat juga gue mengandalkan jari-jari tangan untuk membantu perhitungan gue. Dan, "Lama lagi lah, Bang. Tujuh tahun lagi," ucap gue sembari menunjukkan tujuh jari tangan gue di hadapan Bang Awan. Gue sedikit nggak terima dengan hal itu.

Bang Awan mengedikkan kedua bahu sebagai responnya.

Setelah berbincang sedikit mengenai novel, Bang Awan memutuskan untuk mengajak gue keluar dari kamarnya karena kebetulan kegiatan menyusun buku-bukunya juga sudah selesai. Gue iyain deh tu. Lagian gue juga udah merasa nggak nyaman berlama-lama di kamar orang yang baru gue kenal. Saat pintu kamar sudah ditutup rapat olehnya, gue kembali mengikuti langkah kakinya dari belakang. Bak anak tikus mengekori kucing. Gimana ceritanya tuh?

Samar-samar gue mendengar musik yang terputar di radio di ruang depan telah berganti menjadi lagu Numa Numa yang dinyanyikan oleh O Zone. Musiknya yang berdetak-detak santai itu membuat gue ingin berjoget-joget kecil, tapi urung.

Awalnya gue kira tujuan Bang Awan adalah ruang tamu untuk mengambil lagi kardus-kardus lainnya yang belum dibongkar muat. Namun pas dia malah berbelok ke arah belakang rumah, tangan imut gue lekas menarik kaosnya dari belakang. Mengakibatkan langkahnya terhenti.

"Kenapa?"

Gue garuk-garuk kepala di bagian pangkal cocangan rambut gue. Yah, selain merasa kikuk, juga karena diakibatkan oleh cocangan di rambut gue yang cukup ketat menimbulkan rasa gatal sesekali. Gue harus mendongakkan kepala supaya bisa melihat wajahnya yang amat tinggi dari gue. Kayaknya gue harus minta digendong sama Bunda terus, deh.

"Kardusnya kan masih banyak lagi, Bang. Kenapa kita ke sini? Ayah kan larang Bintang tadi," ujar gue bersungguh-sungguh.

Bang Awan memutar kedua bola matanya. "Kan yang dilarang cuma kamu. Abang enggak. Jadi suka-suka abang lah mau ke mana aja."

"Tapi kan, kardus yang mau dirapiin masih banyak lagi, Bang." Tangan gue masih pegangin bajunya Bang Awan.

"Hadeh ... masalah kardus nanti-nanti juga bisa. Sekarang waktunya liburan."

Wajah gue mengerut. Nggak ngerti. "Liburan, Bang?"

"Iyalah. Seharusnya hari ini kamu pergi liburan sama Ayah dan Bunda kamu, 'kan?"

Gue ngangguk patah-patah.

"Yaudah, sebagai gantinya, kita liburan bareng di halaman belakang."

Dia mulai melangkah lagi, tapi gue semakin menarik kaosnya. "Tapi kan Bintang dilarang sama Ayah ke sana, Bang." Gue makin ngotot.

Dan dia semakin santai tentunya. "Makanya itu kamu ikuti Abang. Kalau samaku, Ayah kamu nggak akan marah. Kamu masih bocah, beda sama aku yang udah gede. Jadi aku nggak akan dilarang ini dan itu."

Gue nggak ngerti apa yang dimaksud ini dan itu olehnya. Yang gue tahu, dia cukup degil karena nggak mau mendengarkan omongan gue. Apa salahnya sih dengerin omongan anak-anak. Yah, apa boleh buat lah. Gue hanya bisa diam mengekorinya sampai kami berdua tiba di halaman belakang rumah.

Dan di halaman rumput yang terbentang cukup luas, terlihatlah sebuah kolam renang praktis yang berbahan karet sedang diisi dengan air bersih.

Gue terkesima demi melihat benda itu.

Ya, ampun. Ya, ampun. Apa maksudnya kolam itu?

Ayah? Bunda? Om Dani? Tante Lina? Kenapa mereka begitu terlihat senang saat gue membengong? Kenapa mereka tertawa saat gue malah terheran-heran melihat berkubik-kubik air mulai memenuhi volume kolam itu?






Pernah AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang