Metanoia ㅡ 10

4.9K 568 121
                                    

Langit Seoul sudah terbiasa untuk merindu.

Dalam jingga maupun kelabu, dalam bahagia maupun elegi, langit Seoul seakan terbiasa untuk menguntai frasa rindu. Mendengarkan bait-bait cantik seperti puisi, yang berisi sajak tentang rindu bersama senandung rintik hujan yang menemani. Merangkai ribuan kenangan dalam sunyi yang menyuara, lalu membawa hati yang kala itu tengah merindu untuk kembali jatuh pada rumah yang dicari.

"Aku tidak suka hujan, hyung." Dalam satu detik yang baru saja berlalu, ingatan tentangnya kembali mengelabui nalar.

"Kenapa?"

"Kalau hujan, langitnya jadi gelap. Aku tidak suka, nanti tidak ada bintang."

Kemudian, Taehyung tersenyum. "Sejak kapan kau menyukai bintang, memangnya?"

"Sejak ayahku ada di sana." Hela nafas pemyudanya kemudian menjadi jeda, "Aku merindukannya, hyung, dan yang bisa kulakukan hanya memandanginya dari sini, lalu kembali menyesali semuanya lagi. Seperti orang bodoh."

Keduanya sama-sama hening hingga salah satunya kembali bersuara, "Dulu kita semua bahagia. Ayahku, ibuku, kakakku, dan aku. Meskipun semua yang kita miliki tidak jauh dari hal-hal yang sederhana, semuanya selalu terasa membahagiakan saat kita ada untuk satu sama lain. Tapi ternyata takdir memang suka mempermainkan waktu. Seiring waktu berlalu, kebahagiaan itu satu persatu mulai hilang. Aku menyesali semuanya, hyung. Sangat menyesal hingga rasanya ingin mati."

Ada rasa sakit yang Taehyung rasakan jauh sudut hatinya. Setiap untai kalimat yang diucapkan pemudanya seolah meretakkan kepingan hatinya yang masih tersisa, menorehkan luka yang tercermin dari sepasang pupil matanya kala memerangkap rintik hujan yang sendu. Kemudian, rasa penasaran menyeruak diantara kepingan memorinya. Jungkook selalu berkata bahwa ia menyesal; terus menerus hingga kalimat itu menggema dalam ingatan Taehyung dengan penuh anomali. Penyesalan apa? Memangnya apa yang telah Jungkook lakukan di masa lalu hingga ia sebegini putus asa? Namun Taehyung memilih tenggelam dalam anomalinya sendiri dengan membiarkan semuanya menggantung dalam tanya.

"Suatu saat nanti kau akan bahagia, Jungkook. Kau percaya padaku, kan?"

Diantara langit kelabu yang berkabut rintik hujan sore itu, semburat jingga menggores gurat perak batas awan. Keduanya saling menautkan jemari, disusul oleh seutas senyuman Jungkook saat Taehyung membelenggu dalam dekap. Seolah mengerti, rintik hujan itu lantas berhenti mencium semesta. Beralih jatuh cinta pada sang mentari yang nyaris memeluk bulan, dan gurat pelangi muncul sebagai pertanda bahwa langit sedang tersenyum. Senyum yang sama karena ia merasa bahagia.

***

Langit Seoul juga terbiasa untuk menangis.

Pun juga, terbiasa untuk mendengar tangis anak Adam diantara petikan rintik hujannya. Maka, saat salah satu anak Adam yang dicintai langit sedang menangis, hujan akan turun untuk sekedar menemani. Merengkuh dalam setiap percikan hujan yang jatuh cinta pada sang bumi, lalu menuntunnya untuk kembali pulang.

Di salah satu penghujung sore lainnya langit senja membuat awannya menjadi kelabu, kemudian rintik hujan turun membasahi jalanan kota Seoul setelahnya. Bukan rintik yang sendu seperti hari kemarin, tetapi lebih seperti tangisan senja saat mentari nyaris terlelap. Tidak ada guratan jingga atau lukisan semburat biru di pelupuk langitnya, juga tidak ada pelangi. Yang ada hanya tangisan rintik hujan dengan suara gemericiknya yang menghiasi temaram. Masih di sore yang sama saat langit Seoul menangis, Taehyung menemukan Jungkook di balik pintu apartemennya. Berdiri dengan tubuhnya yang setengah tertatih, seragam sekolahnya yang basah kuyup, serta lebam di kedua sudut bibirnya yang menahan rintihan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

METANOIA ㅡ VKOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang