SENJA

133 77 4
                                    

Mentari mulai merangkak ke sebelah barat. Langit yang membiru terang lambat laun berubah menjadi kuning. Menanti senja di desa ini amat menyenangkan. Terlihat sekelompok remaja putri dengan balutan jilbab yang menutupi rambutnya. Dipadu dengan samping kain batik yang terlihat anggun. Sederhana. Mereka semua membawa Al-Qur'an ditangan kanan. Tampaknya mereka akan pergi mengaji.

Dari kejauhan terlihat mentari di ufuk barat. Langit biru kini tampak memudar kejinggaan. Awan-awan agak tampak lelah hari ini. Mungkin Awan benar-benar lelah telah menemani dunia menghadapi harinya. Atau mereka sedang bersiap-siap untuk mengikuti kembali jejak esok hari.

Matahari kini semakin mantap ke ujung barat. Mentari telah mengerjakan tugasnya siang tadi. Merangkak mengikuti rute yang telah digariskan oleh-Nya. Kini ia hampir sampai di garis finis, ufuk barat.

"Syid, apa kau tak kuatir nanti tugas-tugasmu dikampus terbengkalai?" tanya Ibu kepada Kak Rasyid diberanda rumah saat menyaksikan mentari seolah tenggelam.

"Rasyid datang ke sini juga bukan tanpa pertimbangan, Bu. Sekali-kali Rasyid juga ingin liburan sama keluarga," kata Kak Rasyid
"Tapi, Ayahmu mendengar kamu bolos dari kuliah. Kali ini. Ayah tak mau memarahimu dengan perkataan. Ia tak ingin kuliahmu terganggu karena liburan ini. Itu saja."
"Iya, Bu. Rasyid akui Rasyid salah. Tapi, salahkah jika Rasyid hanya ingin bercengkerama dengan keluarga?"
"Tidak, nak. Tak salah. Hanya saja lain kali kamu harus pintar-pintar mengambil keputusan supaya Ayah tidak marah karena hal semacam ini lagi." nasihat Ibu pada Kak Rasyid.
"Iya, Bu. Em, Ayah masih marah?" Tanya Kak Rasyid penasaran.
"Sepertinya Ayah sudah mereda. Mungkin karena Nissa yang meluluhkan hati Ayah saat diam karena hal itu," kata ibu meyakinkan.
"Nissa?" tanya Kak Rasyid heran.
"Ya, adik perempuanmu itu memang sayang sekali kepadamu, Syid. O, iya. Besok pulang adik-adikmu ikut bersama di mobilmu, ya! Biar Ayah dan Ibu pakai mobil Ayah. Ajaklah adik-adikmu untuk akrab satu sama lain!" Pesan ibu sama Kak Rasyid.
"Siap, Bu. InsyaAllah!" kata Kak Rasyid mantap.

Petang itu hanya ada Kak Rasyid dan Ibu di beranda rumah. Keduanya bercerita dan membicarakan banyak hal. Keduanya memang mesra menjalin hubungan antara seorang Ibu dan anak. Memang begitulah Kak Rasyid. Sebenarnya Kak Rasyid senang dikatakan "anak Mama". Memang, ia lebih dekat dengan Ibu dibanding Ayah. Kak Rasyid lebih lembut dari Kak Fikri. Ia senang musik dan mahir bermain gitar. Mungkin, kemiripan wajahnya dengan ibu menandakan ia akrab dan lebih dekat dengan Ibu.

Sementara itu, di ruangan tengah beda lagi aktivitasnya. Bila di beranda rumah ada Ibu dan Kak Rasyid, di ruang tengah ada, Ayah dan Kak Fikri sedang asyik menonton sebuah petandingan sepakbola di televisi. Ditemani semangkuk cimplung dan itu di teh pahit. Keduanya sibuk memerhatikan tim jagoannya.
Bahkan jauh berbeda dengan yang dilakukan Ibu dan Kak Rasyid. . Kali ini suara televisi lah yang menggema di ruang tengah. Sesekali Kak Fikri menjerit histeris karena gawang lawan hampir dibobol oleh tim sepakbola jagoannya.
"Go...Go...! Juaraku masukan bolamu ke gawangnya!"
Tapi, sesekali ia pun kecewa karena sesuatu tak enak terjadi kepada timnya.
"Aah...Jagoanku kalah lagi," teriaknya

Pada saat Kak Fikri tak enak hati seperti itu, biasanya seluruh anggota tak ada yang berani menegurnya terlalu keras. Salah-salah ia meledakan marahnya dan meluap-luap. Kebiasaan dan marah Kak Fikri ialah salah satu tanda bahwa ia mewarisi hampir seluruh sifat dan adat Ayah. Tapi, terkadang ia juga diam tanda marah. Misterius. Karena kemiripan sifat itulah, ia amat dekat dengan Ayah. Lahi-lagi hobi mereka juga persis. Senang main bola dan suka pada motor-motor antik.

Aku baru saja keluar dari kamar. Badanku wangi karena sabun mandi. Sambil membawa sisir, ku keluar sambil menyisir menyibak rambut basah yang baru saja kucuci. Kali ini aku jadi pengamat.

Sejenak kuamati kegiatan Ayah dan Kak Fikri. Begitu pun yang dilakukan Ibu dan Kak Rasyid. Kedua-duanya menggambarkan bahwa tak ada masalah dalam kehidupan keluarga kami. Sebetulnya, tak ku lihat hal tang aneh saat menyaksikan kegiatan masing-masing keluargaku. Selama tiga belas tahun aku berada di tengah-tengah mereka. Aku sepertinya tidak kaget lagi dengan yang mereka lakukan. Memang, Kak Rasyid lebih suka curhat dengan Ibu. Sedangkan Kak Fikri lebih klop dengan Ayah. Tetali, hal itu bukan penghalang untuk keluarga kamu saling berinteraksi. Harmonis. Seperti kebanyakan keluarga lainnya.

Aku sendiri menganggap dekat dengan semua anggota keluargaku. Terlebih kepada Kak Rasyid, Kakak pertamaku. Entah mengapa setiap kali ditanya teman-teman, pasti aku menjawab lebih dekat dengan Kak Rasyid. Meskipun sekarang Kak Rasyid melanjutkan kuliahnya di Bandung.

Aku lekas menuju halaman samping rumah Nenek. Memang, setiap kali aku berlibur ke rumah Nenek, pasti yang kuimpikan adalah duduk di kursi yang ada di halaman belakang. Setiap kali aku duduk disitu, pasti yang ku lakukan adalah menghirup segarnya udara senja sambil menyaksikan matahari tenggelam. Kali ini pun ku lakukan hal yang sama. Aku menatap dalam wanginya udara senja.

KADO TAK BERTUAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang