PERLOMBAAN

76 25 1
                                    

Sabtu pagi tepat saat Kak Fikri ulang tahun yang ke-17, aku siap bertempur di ajang perlombaan. Karena Ayah dan Ibuku kebetulan ada urusan. Mereka tidak mengantarku ke kursi perlombaan. Walaupun demikian, sebelum berangkat aku meminta restu mereka. Kupikir aku dapat pergi sendiri, sebab dari sekolah aku diantar oleh Bu Fitri sebagai guru pembimbingku. Kami berdua berangkat menggunakan mobil Bu Fitri ke tempat lomba. Di otak, telah ku siapkan berbagai konsep untuk membuat menjadi suatu karangan layaknya sebuah cerita pendek. Secara mental, aku siap menerima kekalahan jika memang itu harus terjadi. Namun, dengan segenap keyakinan aku bertekad untuk mempersembahkan yang terbaik.

Kak Rasyid, Kak Fikri, Ibu, Ayah, aku ingin kalian berbangga kepadaku. Terutama Kak Fikri, kebaikanmu akhir-akhir ini betul-betul mensupportku. Aku tersenyum geli sendiri bila ingat kejadian GETUK di rumah Nenek.

Sampai di tempat lomba, ternyata telah banyak peserta yang hadir. Ada sedikit rasa kurang percaya diri sempat hinggap di ubun-ubun ku ketika melihat peserta lain. Kubulatkan tekadku. Aku akan berusaha "Ya, aku pasti dapat."

Tepat pukul delapan acara pembukaan berlangsung. Kami diberi arahan bahwa perlombaan akan berlangsung selama tiga jam. Peserta memasuki ruangan yang telah disediakan. Kebetulan, aku masuk beriringan dengan seorang siswi dari sekolah tetangga. Sebelum dimulai, kami sempat berkenalan dan berjabat tangan. Zilka namanya. Ia terlihat ramah dan tampil lebih siap dari diriku.

Lima orang berseragam coklat sudah berada di ruangan, yang ku ketahui mereka adalah yang akan mengawasi kami selama kami menulis. Sebelum lomba benar-benar dimulai, mereka sempat memperkenalkan dirinya. Bu Riana, Pak Mufidz, dan Mrs. Ericca Viarra Molendra, berasal dari Belanda.

Jantungku berdebar kala lomba berlangsung. Sungguh yang ku bayangkan benar-benar jauh lebih menegangkan dari kenyataannya. Ku lihat peserta lain lebih tenang dengan apa yang akan mereka hadapi, tapi bagiku sungguh tidak. Entah mengapa sepertinya ketenangan kian jauh dari diriku. Tapi, yang menjadi keyakinanku adalah support Kak Fikri yang menginginkan aku tenang menghadapi semua.

"Bismillahirrahmanirrahim..."

Ketika pengawas memberikan tanda bahwa seluruh peserta boleh mulai mengerjakan pekerjaannya, aku memulainya dengan sebuah keyakinan yang tiba-tiba memuncak setelah aku aku ingat Kak Fikri yang berulang tahun tepat pada hari ini. "Kak, jika aku menang, inilah hadiah yang akan aku berikan kepada Kakak," janjiku dalam hati.

Alhamdulillah! Ternyata aku dapat menuangkan semua ide yang ada dalam pikiranku dengan lancar, laksana mobil yang melaju di jalan yang amat rata. Tak ada kendala yang terlalu berarti selama perlombaan berlangsung. Tiga jam berlalu, akhirnya bel pun berbunyi tanda perlombaan telah usai. Semua peserta diperbolehkan untuk keluar.

Saat keluar pandanganku menyapu peserta lain, sebagian dari mereka menampakan wajah berbinar kepada orangtua atau gurunya. Kulihat sepertinya mereka telah benar-benar menyelesaikan tugasnya. Tapi, kulihat sebagian lagi memunculkan mimik tanda kecewa. Mungkin, mereka belum selesai membuat cerita. Atau katena hal lain. Yang jelas, mereka tak mau perduli dengan wajahku.

Seluruh peserta diperbolehkan pulang dan menunggu pengumuman hasil lomba yang akan diumumkan tiga hari kemudian dan dikirim ke sekolah masing-masing.

Sebelum kami berdua naik mobil, Bu Fitri mengajakku ke suatu toko yang menjual aneka makanan dan minuman. Ada yang ingin dibeli katanya. Kami menuju ke toko tersebut, tak jauh dari perlombaan berlangsung.

Sementara kami berdua memilih-milih barang-barang yang akan kami beli, tiba-tiba mataku terpaut ke toko di seberang toko makanan ini. Ya, toko yang menjual aneka kerajinan. Pikiranku terpusat ke Kak Fikri. Mungkin, jika aku membelikan sesuatu untuknya tepat di hari ulangtahun ini, ia akan tambah sayang kepadaku. Ternyata Bu Fitri akan ke toko seberang.

"Kabetulan. Ibu juga ingin membelikan sesuatu untuk keluarga Ibu. Ayo, Niss!"

"Ayo, Bu!"

Di toko itu, terdapat berbagai kerajinan unik.
Kulihat Bu Fitri memilih asbak bambu dan beberapa bingkai foto yang terbuat dari kayu. Sedangkan aku, kupilih dua buah repklika motor vespa yang terbuat dari kayu yang berukuran tak terlalu besar. Setelah kami memilih dan merasa cocok harganya. Akhirnya kami menuju tempat kasir. Kumonta kapada kasir kertas kado sekaligus meminta membungkuskan repklika motor vespa ini untuk menjadikan sebuah kafo istimewa. Ketika kami membayar di kasir, ku dengar ring tone Ya Allah agitsna dari handphone Bu Fitri.

Ketika mengangkat handphone, Bu Fitri mengatakan bahwa yang menelponnya adalah ibuku. Yang nomornya telah tersimpan sebelumnya. Hatiku bertanya-tanya mengapa Ibu lebih memilih menelpon Bu Fitri dari pada Aku. Kulihat handphoneku yang sengaja ku simpan dalam saku rok. Oo, ternyata aku lupa mengaktifkannya sejak di ruangan perlombaan tadi. Aku pun mengaktifkannya dengan perasaan lega karena telah mendapat jawaban dari pertanyaanku ini.

Sambil menunggu kado yang masih di bungkus, aku melihat Bu Fitri berbicara serius beberapa meter dariku. Mata usilku berpindah bergantian memerhatikan pelayan toko yang sedang membungkus kado dan menyuri pandangan ke Bu Fitri. Aku bagai dotikam beribu pertanyaan yang menggoda pikiranku. Apa ya yang mereka bicarakan? Tapi, aku tidak berani bertanya langsung. Setelah ia menutup telponnya, Bu Fitri langsung membayar belanjaan di kasir dan memintaku untuk menuju mobilnya.

"Nissa, kita harus cepat-cepat pulang."

"Tapi, mengapa Bu? Hal apa yang tadi ditanyakan oleh Ibu Nissa, Bu?"

"Ayo, kamu sudah ditunggu keluarga."

"Iya."

Tanpa bertanya lagi aku menurut pafa Bu Fitri. Mingkin benar, aku sudah ditunggu oleh keluargaku. Aku juga tak sabar rasanya ingin sekali memberikan kado ini kepada Kak Fikri.

"Kak, Nissa juga akan berterimakasih kepada Kakak atas buku diarynya." Kataku dalam hati.

Sebetulnya, banyak sekali pertanyaan dalam kepalaku. Tapi aku tak kuasa menanyakan kepada Bu Fitri. Aku jadi makin tak tenang ketika Bu Fitri berkata:

"Nissa, yang tabahya!"

Sebetulnya apa yang terjadi kepadaku hingga Bu Fitri berkata seperti itu. Aku ingin cepat sampai di pelukan Ibu.

KADO TAK BERTUAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang