PENYEMANGAT

90 43 6
                                    

Dan....
"Idih...galak amat, Buuuuu....sama kakak sendiri ko' galak?"
"Aa.......Kak Fikri, super nyebelin!!!
A.a.a.a...Hiks, hiks, hiks,.." tak terasa saking kagetnya kumenangis tersedu-sedu. Air mata membanjiri wajah.
"Aduh...Maaf, Niss. Kakak gak sengaja. Beneran, Kakak gak sengaja. Maafin Kakak, ya?" Kata Kak Fikri
Yang terlihat iseng dan menjahili kini terlihat menyesali perbuatannya seperti kehilangan arah tentang apa yang baru saja ia lakukan.

Aku terus menangis hingga tersedu, aku menutupi muka ku dengan kerudung putih setelan seragam sekolah yang ku pakai. Kerudung dari Kak Rasyid, satu bulan lalu.

"Kakak minta maaf, Nissa. Aduh, Kakak janji takkan mengulang lagi hal itu. Kakak juga minta maaf karna telah menyuruh Pak Pudin untuk tak menjemput kamu. kakak mohon, maafin Kakak yaa?" celoteh Kak Fikri memelas. Kali ini aku tak kaget lagi dengan kata-kata halusnya. Ia mulai jahil seperti dulu.

Sejenak kucoba mulai menguasai diriku sendiri. Aku langsung melontarkan pertanyaan kepadanya.
"Kanapa Kakak menyuruh Pak Pudin enggak jemput Nissa?" tanyaku agak emosi lagi.
"Supaya kamu jadi orang pertama yanf diajak naik motor Kakak. Maafin Kakak, yaa?" kata Kak Fikri tenang.

Ya Allah, aku tak menyadari jika Kak Fikri sudah punya motor baru. Seharusnya tadi pagi aku melihat ia menaiki motor baru. Pasti itu pemberian Ayah sebagai hadiah ulang tahunnya yang jatuh hari Sabtu mendatang, 16 Juli 2004. Dan kini, ia mengajakku naik motor barunya...? Tapi, jika caranya seperti tadi, aku masih tak mengiyakan bahwa Kak Fikri melakukan hal yang benar. Bagaimanapun, caranya sama sekali tak benar bagiku. Sungguh tidak benar.
"Gini Kak, kalau Kakak sampai mengulang lagi, Nissa gak akan percaya lagi! Nissa, maafin Kakak sekarang. Kalau Kakak ngelakuin hal ini lagi, Nissa gak akan maafin Kakak." Kataku serius.
Mendengar kalimat itu, Kak Fikri langsung berbinar,
"Iya, Nissa. Kakak janji. Ayo, sekarang kita naik motor Kakak. Kita pulang sama-sama."
Aku pun naik motor baru Kak Fikri dengan nomor " B 124 IS"-nya. Perasaanku bercampur aduk. Kali ini yang paling kuat kurasakan adalah hubunganku dengannya mulai terjalin dengan baik, walaupun aku masih agak kesal. Aku diam telah merasa agak dekat dibandingkan dengan sebelumnya. Setelah berlibur dari rumah Nenek, Kak Fikri memang banyak berubah.
Sejak kejadian itu, kurasakan ia semakin akrab denganku. Mungkin, benar juga pendapatku. Kak Fikri kini lebih mau terbuka dan mau bercerita tentang dirinya. Kini aku tak lagi heran dan merasa aneh terhadapnya.

Hari berganti hari. Malam dan siang terus beriringan. Akhirnya, ku sampaikan juga isi hatiku kepada Kak Fikri. Isi hati yang selalu gundah karena tinggal dua hari lagi aku mengikuti perlombaan menulis cerpen itu. Walaupun setiap pulang sekolah aku selalu mendapatkan pembinaan dan latihan khusus tentang berbagai macam teknik penulisan cerpen, hatiku selalu tetap gundah. Sebelumnya, hal ini telah ku sampaikan kepada Ibu. Kak Rasyid juga. Tapi, jawabannya seperti kebanyakan dan tak jauh dari Bu Fitri. Merwka membari semangat. Dengan penuturan selengkap-lengkapnya. Ku coba tuk bicara kepada Kak Fikri. Menyampaikan isi hatiku. Mungkin kali ini akan ada tanggapan berbeda dari Kakakku yang kedua ini.
"Terus Kak, Nissa harus gimana?"
"Saran Kakak, kamu harus percaya diri. Kakak percaya kamu mampu asalkan dibarengi Do'a dan usaha serius."
"Tapi, Kak. Tetap saja, Nissa merasa enggak mampu....., menurut temanku, aku kurang mantap. Memang sih teman Nissa ada yang lebih jago buat cerpennya, tapi karna kemarin sudah jadi juara, sekarang tidak diperbolehkan ikut serta lagi."
"Kamu jangan kalah sebelum tanding, dong! Tunjukkan kalo kamu mampu, saran Kakak, kamu jangan terlalu mempermasalahkan apa kata orang lain. Pede aja lagi!"
"Gitu ya, Kak?" Komentarku dengan perasaan tak karuan. Kak Fikri mengangguk. "Iya,deh...Nissa akan coba dulu."
"Gitu dong. Itu baru adiknya si paling ganteng di dunia, Fikri Rachmat Iskandar," kak Fikri kembali menyemangatiku sekaligus memuji dirinya.
"Uh...bukannya terganteng, tapi terguanteng!" Komentarku agak ketus, tapi tak sedikit pun aku marah kepadanya. Karena sebelum-sebelumnya Kak Fikri ogah bercanda denganku.

KADO TAK BERTUAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang