Brak!!
Bola mata Diandra membelalak ketika menyaksikan papanya tengah melempar piala miliknya ke lantai hingga terbelah mejadi dua bagian.
Tubuh Diandra bergetar hebat menahan tangis, kedua tangannya terkepal kuat menahan amarah.
Dalam hati dirinya terus bertanya, "Ya Tuhan, ini beneran Papa?""Kalau Papa emang gak bisa ngehargain aku sedikit pun, seenggaknya jangan bersikap kaya gini, Pa," lirih Diandra.
Hendra menoleh dan menatap tajam ke arah Diandra yang baru saja membuka suara, "Jangan pernah sebut saya sebagai Papa kamu."
Nafas Diandra memburu ketika mendengar pernyataan Papanya itu. Bertahun-tahun ia berusaha sebaik mungkin agar Papanya bisa menyayanginya, namun hasilnya sia-sia.
Karena pada kenyataannya jangankan untuk menyayanginya, menganggapnya ada pun tak pernah.
Tanpa rasa bersalah sedikit pun, Hendra berjalan begitu saja meninggalkan putrinya seorang diri.
Diandra yang sedari tadi menunduk, kini menaikkan pandangannya menatap langit-langit ruangan. Sekuat apapun ia mencoba untuk tetap tegar, air matanya berhasil lolos membasahi wajahnya.
Satu bulan penuh dirinya belajar mati-matian, menguras banyak waktu istirahatnya demi gelar juara satu dalam olimpiade matematika yang ia ikuti siang tadi dan inikah balasannya?
Harapannya memang terwujud sekarang karena piala itu telah berhasil ia bawa pulang. Namun lagi-lagi kenyataan pahit yang harus ia terima. Tak ada ucapan selamat ataupun apresiasi lainnya.
Sekejam inikah kenyataan?
Melihat Papanya yang sudah berlalu, Diandra menjatuhkan tubuhnya ke lantai lalu memeluk kedua lututnya erat-erat. Saat-saat seperti inilah yang membuatnya semakin rindu sosok mamanya.
Saat dirinya pertama kali datang ke dunia ini, saat itu jugalah kali terakhir mamanya melihat dunia ini. Ya, Tuhan memanggil mamanya ketika melahirkannya.
Sejak itu pula, Papa Diandra tidak pernah bisa menerima keberadaannya hingga sekarang.
Dirinya menganggap bahwa Diandra-lah pembunuh istrinya itu. Sangat logis, bukan?
***
"Bu, ini uang es teh manis saya yang tadi," Diandra menyodorkan selembar uang lima puluh ribu pada ibu kantin yang sekarang sedang tersenyum padanya.
Merasa ada yang sedikit aneh dengan senyuman ibu kantin, Diandra langsung bertanya, "Kenapa, Bu? Uang saya kurang, ya?"
"Kalo es teh manis doang harganya diatas lima puluh ribu, yang ada Ibunya udah didemo anak-anak dari dulu," jawab seseorang yang berdiri di belakang Diandra.
Diandra menoleh ke arah sumber suara, lalu mendapati laki-laki tinggi berkulit putih yang memiliki alis tebal lengkap dengan rambutnya yang sedikit gondrong, terlihat acak-acakan, namun malah menambah membuatnya terlihat tampan.
Dia tersenyum ramah. Seolah-olah sudah lama mengenal Diandra, padahal ini pertemuan pertama mereka.
Diandra menelan salivanya melihat senyum yang hampir memabukkannya itu. Jujur saja, ini juga kali pertamanya beradu tatap langsung dengan seorang laki-laki dalam hidupnya.
Sebab selama tinggal dengan Papanya pun, Diandra tak pernah berani melihat wajah pria itu secara langsung. Menundukan pandangan dan berbicara sehati-hati mungkin adalah kebiasaannya di rumah.
Diandra memberanikan diri memutar bola matanya layaknya seorang perempuan yang mulai kehilangan moodnya, "Aku nanya sama ibu kantin, bukan sama Kakak."
KAMU SEDANG MEMBACA
April
Teen FictionApril-ku tak lagi sendu, ketika kulihat senyummu yang berubah jadi candu. Hari-hariku juga tak lagi kelabu, saat kamu menjadi bagian dari puisiku. Benar katamu, duka itu hanya konotasi. Bahagialah yang jadi denotasi. Hal indah akan tetap hadir jika...