Gangguan Pertama

440 26 2
                                    

Suasana di kampung Getah, mendadak sepi setelah Salat Isya. Beberapa warga memilih berdiam di rumah, lantaran takut bertemu dengan Pocong yang telah membuat geger selama satu minggu belakangan. Bahkan beberapa warga ada yang mengungsi di rumah kerabatnya, lantaran mengaku telah di datangi arwah Bu Marni.

“Eh, Buk. Tahu enggak? Kalo anaknya Bu Marni akan balik lagi, ke kampung kita,” ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang mengerumuni tukang sayur.

“Ih! Kok bisa, ya dia balik?! Padahal ibunya telah membuat malu desa ini. Hingga beritanya sampai di desa sebelah,” timpal seorang ibu dengan keranjang sayur di tangan kirinya.

“Iya, Bu Marni benar-benar telah membuat kampung kita heboh. Saudara saya saja, sampai enggak betah tinggal di sini,” ucap seorang wanita muda yang seakan akan mendukung ucapan kedua Ibu-ibu itu.

“Permisi. Mau beli kangkung, ada?” seorang wanita tiba-tiba datang menghentikan rumpi para Ibu kompleks.

“Bu Marni?” tanya pedagang sayur itu yang kemudian membuat seluruh Ibu-ibu berlari dan berteriak meninggalkan pedagang sayur dan wanita itu.

“Woi! Bu sayurnya belum dibayar!” teriak pedagang sayur yang tidak digubris oleh semua Ibu-ibu itu.

“Berapa, Pak sayur kangkung satu ikat?” tanya wanita itu mengangkat satu ikat kangkung.

“Cu ... Ma Dua ... Ribu,” jawab pedagang itu gemetar.

“Oh, Saya ambil lima. Sama ini uang buat para Ibu-ibu itu.” Menyerahkan uang lima ratus ribu rupiah dan berjalan meninggalkan pedagang itu yang masih gemetar mematung.

***

“Pak RT! Kami para Ibu Kompleks, ingin memberitahu. Bahwa teror Bu Marni, semakin memuncak!” teriak seorang Ibu-ibu di depan kantor desa Getah.

“Sebentar, Ibu-ibu. Apa yang Ibu bilang, apa ada buktinya?” tanya Pak RT yang semakin bingung melihat rombongan Ibu-ibu dengan membawa peralatan dapur.

“Enggak perlu bawa bukti, Pak! Kami semua sudah menjadi saksi, bahwa Bu Marni telah datang kembali ke kampung ini!” jawab seorang Ibu-ibu yang membawa panci di tangan kanannya.

“Kalau begitu besok kita rapatkan, dan menentukan jalan keluarnya,” ucap Pak RT kemudian berjalan menutup pintu kantor desa tanpa peduli teriakan para Ibu-ibu.

Tidak terasa sudah tiga jam, Pak RT mengunci pintu kantornya. Hingga sebuah ketukan, terdengar sangat keras. Dengan langkah malas, Pak RT membukakan pintu dan hasilnya tidak ada orang. Hawa dingin terasa menyentuh kulit, Pak RT hingga membuat bulu kuduknya berdiri. Aroma bau busuk pun tercium menyengat secara tiba-tiba.

“Pak RT, mau minta KTP,” ucap sebuah suara perempuan bertepatan dengan ditutupnya pintu.

Dengan penuh keberanian, Pak RT membalikkan badannya. Dan seorang wanita terlihat memakai kain kafan, dengan hidung yang tertutup kapas tersenyum mengeluarkan darah dari sela mulutnya.

"Bu Marni!" ucap Pak RT yang hanya dapat mematung melihat arwah itu melompat pelan ke arahnya.

"Beritahu kepada seluruh warga. Bahwa aku tidak akan dapat tenang, selagi mereka masih berkeliaran menebar dosa di jalanan," ucap Bu Marni bertepatan dengan asap putih yang muncul menyelimuti tubuhnya.

Kesadaran Pak RT perlahan hilang. Hingga membuatnya jatuh terkulai lemas, di lantai kantor yang dingin.

***

Keesokan harinya warga terkejut lantaran seorang laki-laki, memakai pakaian dinas tertidur di atas makam. Di lengan kirinya tertulis tulisan yang hampir mirip cakaran.

"Kebenaran harus terungkap?" ucap seorang laki-laki bingung membaca tulisan ini.

Bersambung

Pocong The Legend From Indonesia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang