Ku biarkan Al masuk duluan. Aku dengan senang hati memperlihatkan isi dalam rumahku. Sementara aku mengeluarkan alat untuk bermainku, dia melihat-lihat sekelilingnya berdecak kagum. Mungkin karena lantainya bersih.
Dia memandangku sekarang ini yang hanya membawa tongkat kasti saja.
"Mana bolanya?" Dia melihat disekelilingku memastikan bahwa aku sedang tidak membawa bola.
Aku tertawa keras saat ini. Dia dengan tampang bego nya itu, lucu sekali.
"Bolannya kan ada di kamu Al" Jelasku padanya.
"Aku? Kok aku sih. Aku gak pun-" Ucapnya terpotong karena sebelum dia menyelesaikan ucapanya, aku memukul kepalanya menggunakan tongkat kasti. Sudah kubilang kan bolannya ada pada dirinya?
~~~~~~~~
Aku menunggu Al bangun. Lama sekali sih tidurnya. Aku kan ingin bermain dengan mereka. Kalo main berdua kan gak seru.
Mereka duduk dikursi dengan tenang. Ah anak baik, aku suka anak baik. Agar mereka tak berlarian kesana kemari aku sudah mengikat mereka berdua menggunakan tali tambang yang cukup kasar dan berat bagiku.
Niya dia sekarang terisak menangis. Aku kan belum ngapa-ngapain kok dia nangis sih? Aku kan lagi nunggu Al bangun aku salah apa coba?
Aku mengelus surai coklat panjang Niya pelan. Menenangkanya agar berhenti menangis terisak.
"Cup cup cup Niya sayang. Jangan nangis. Kamu gak sabar mau main yah? Tunggu Al nya bangun ya kasian mungkin dia cape makanya tidurnya lama" Jelasku pada Niya berniat menenangkanya. Namun yang ditenangkan justru semakin terisak menangis. Aku berdecak kesal. Dia tidak bisa berbicara sekarang, mulutnya aku bungkam dengan kain yang kuikat kebelakang kepalanya.
"Berisik!! Nanti kalo Al bangun gimana? Kasian dianya cape tau!" Bentakku padanya karena tak berhenti menangis. Dia mulai berhenti terisak, hanya sesekali mengeluarkan air matanya. Aku tersenyum riang kembali karena dia menurut. Anak baik, aku suka anak baik.
Terdengar lenguhan dan ringisan bersamaan dengan bangunya Al. Aku makin tersenyum riang karena Al sudah bangun.
"YEAAAAAAY AL UDAH BANGUN" Teriakku kesenangan. Al terlihat terkejut, dia melihat disekelilingnya lalu melihatku, kubalas tatapannya dengan senyum indahku.
"Kamu ngapain ikat aku begini? Dan sejak kapan Niya ikut sama kita? Kenapa kita diikat Del?" Tanya Al beruntun. Huft apa menurut itu susah sekali ya? Aku selalu diajarkan menjadi anak yang penurut oleh ayahku, dari kecil. Hingga akhirnya beliau seperti sekarang, terdiam melihat jendela dengan tatapan kosongnya.
"Anak baik. Aku suka anak baik. Jadi anak baik Al. Aku gak suka kamu nanti lari-larian makanya aku iket. Apalagi Naya tuh, kayak bocah sukanya lari-lari mulu dari tadi kan sebel. Aku cuma mau main dia malah kabur" Ucapku sambil merengut tak suka.
"Sekarang kita mulai mainnya ya?!" Ucapku ingin memulai permainanku.
"Tapi kalo make kepala Al itu kegedean, malah jadi main basket nantinya" Ucapku tertunduk lesu. Al tampak terkejut bukan main. Niya masih dengan tangisanya yang terlihat dia tahan. Untung aku mengikat mulutnya tadi, bisa-bisa jika kubiarkan dia dengan mulut bebasnya, dia akan berteriak-teriak dan aku.... tidak menyukainya.
"Lo jangan macem-macem Del gw peringatin sama lo" Al mengubah gaya berbicaranya dari aku-kamu jadi lo-gw. Aku tidak protes, toh tidak ada bedannya. Aku berfikir penting sekarang ini, kepalanya Al itu terlalu besar jika kugunakan untuk bermain kasti.
"Ah gimana kalo matanya Niya aja? Kan bagus dipake main. Mata Niya bagus warna coklat terang. Aku suka mata Niya. Pinjem mata Niya sebentar ya Niya buat kita main bareng. Kamu jangan pelit ya" Izinku meminta bola mata Niya untuk bermain kasti.
Niya menggeleng kasar. Kenapa dia sulit sekali diam sih. Kan sesama teman itu harus baik, kalo ada teman yang mau pinjam itu harus dipinjami.
"DELLA KAM-" Aku menjambak rambul Al kemudian menyumpal mulut Al dengan sapu tangan yang tergeletak dibawah. Berisik sekali. Aku kembali lagi pada Niya.
"Niya jangan pelit dong. Aku kan temen kamu. Kok pelit sih. Lagian kemaren kan aku udah pinjemin Al sama kamu buat main. Sekarang gantian dong" Aku tersenyum, lebih tepatnya menyeringai. Aku mengeluarkan gunting dan pisau lipatku dari dalam kantung celanaku. Dia semakin menangis kalut, gelengan kepalanya semakin kuat.
"Aku gak bakat buat ngiris-ngiris sesuatu. Ini gak bakal aku iris kok Niya, cuma kulit kamu bakal aku potong dikit gak apa-apa kan? Hihihi"
Aku mencoba memotong kulit dibawah matanya dengan hati-hati, aku tidak ingin mata Niya rusak nanti, sayang kan bagus. Dan Niya ini tidak henti-hentinya bergerak.
"KAMU BISA DIEM GAK SIH? NANTI MATA KAMU KECOLOK LOH KAN RUSAK AKU GAK MAU BOLA AKU RUSAK!!" Teriakku jengkel karena dia tidak mau diam. Niya semakin terisak dan badannya kurasakan bergetar. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin matanya kenapa dia susah sekali sih dasar pelit.
Aku menjambak rambut Niya kebelakang dan mulai mengiris kulit bawah mata Niya. Darah mengalir deras akibat tusukan yang kubuat. Dengan hati-hati aku mengiris juga kulit kelopak mata Niya agar memudahkanku mengambil matanya. Kupikir ini susah sekali.
"Ah Niya maaf ya, susah sekali mengambil mata indahmu ini" Ucapku seraya mengelus kepalanya.
"Tapi gimana kalo aku buang aja semua kulitmu biar gampang ngambil mata indah ini? Hihihi aku pinter kan?" Pamerku bangga pada Niya. Niya terus saja menangis. Dasar cengeng.
Aku kembali memainkan pisau lipatku. Kali ini kupotong setengah kulit wajahnya bagian kanan. Lalu aku congkel matanya yang sialnya langsung hancur. Aku mendecak sebal karena bola mata yang kuinginkan hancur. Aku menunduk lesu kehilangan semangat.
"Kok hancur sih" Aku mengerang kecewa. Lalu melihat Niya yang menangis aku tersadar mata yang satunya masih utuh.
"Hihihi untung kamu punya 2 mata Niya jangan nangis ya, maaf tadi mata kamu yang satunya kempes. Nanti aku kompain aja yah hihihi" Aku tertawa lalu kembali meneliti wajahnya dan kulakukan hal yang sama seperti wajah bagian kananya. Aku melihat Al yang matanya mulai memerah marah dan tubuhnya gemetaran. Aku tidak peduli. Aku ingin bermain dengan Niya saja saat ini.
Kucongkel kembali mata Niya yang kiri, akhirnya aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku membuka kain yang menutupi mulut merah cantik Niya dan seketika kudengar teriakan yang merdu nan indah ditelingaku. Dia meraung, bahkan meminta maaf. Wajahnya terlihat hancur bercampur dengan darah yang mengalir sampai ke gaun merah mudanya yang kini berganti warna menjadi merah bagian atasnya. Cantik... cantik sekali.
Aku mengambil tongkat kastiku, mencoba melempar mata Niya keudara lalu memukulnya, dan... tepat menempel ke dinding. Aku melompat kegirangan. Mata Niya hancur lagi itu lucu sekali. Mata Niya itu rapuh sekali. Sekarang aku tidak ingin bermain kasti. Bagaimana jika basket?
"Gimana kalo kita main basket? Sekarang pake kepalanya Al-" Sebelum ucapanku selesai tiba-tiba tubuhku dipeluk dari belakang lalu kurasakan leherku dicium lembut oleh seseorang yang kurasa cukup familiar. Aku kenal ciuman lembut ini, aku tau siapa dia,
"Kakak" Aku berbalik memandang wajah Leon, ya dia kakak kandungku yang dulu memilih ikut dengan mama yang diusir dari rumah. Aku bahkan tidak menyangka kakakku adalah Leon, dulu saat dia pergi dari rumah wajahnya tidak setampan ini, saat itu kupikir dia masih berusia 10 tahun dan aku yang berumur 9 tahun.
"Kamu ingat aku sekarang?" Tanyannya yang merupakan pernyataan juga. Aku tidak menjawab, karena dia tau jawabanku. Dia tersenyum manis seperti biasanya. Aku membalas senyumnya. Sekarang aku tidak kaget bagaimana dia bisa masuk kedalam rumahku. Dia Leon dengan segala yang ada pada dirinya, dan kupikir otakku tak akan sampai jika memikirkan Leon saja sekarang.
"Kamu.... milikku Della" Dia memelukku posesif seperti dulu saat kami kecil. Dia tidak berubah.