I Don't Need to be Your Lover

1.5K 185 37
                                    


Ketika aku memutuskan untuk menerima kenyataan bahwa aku mencintai Mas Fajar, aku sudah siap dengan segala risikonya. Bahkan aku sudah siap jika akhinya aku melihat Mas Fajar bersanding dengan orang lain. Karena ketika aku mencintai Mas Fajar, aku sungguh melakukannya dengan tulus, tanpa berharap dia akan membalas perasaanku. Alasannya, aku sadar kalau aku dan dia sama-sama seorang pria. Meskipun kata orang bijak cinta itu harusnya tak mengenal gender, namun sudah kodratnya seorang pria mencintai seorang wanita. Jadi aku sudah siap jika Mas Fajar nantinya menikah dengan wanita pilihannya dan membina keluarga kecil bahagia. Aku pasti juga akan ikut bahagia dengannya.

Tapi kalau ternyata kenyataannya Mas Fajar bisa jatuh cinta kepada seorang pria, dan pria itu bukan aku, itu baru aku tidak siap. Lebih tepatnya tidak rela. Makanya aku masih suka cemburu jika Mas Fajae memberikan perhatian yang berlebih terhadap Ony.

Jangan salah sangka dulu. Aku menyayangi Ony. Dia salah satu sahabat terdekatku di pelatnas. Kami seumuran, sama-sama hobi nge-game, dan aku cukup yakin kalau kami berdua sama-sama menyukai seseorang diam-diam. Mungkin bedanya aku sudah cukup pintar untuk menyadarinya, tapi dia masih belum. Entah kapan dia akan sadar kalau dia sebenarnya menyukai teman sekamarnya yang bernama Jonatan Christie itu.

Mana si Jojo-nya juga bolot. Bego amat jadi manusia. Udah diperhatikan segitunya sama Ony masih juga tidak sadar kalau Ony itu menganggapnya lebih dari sekadar sahabat.

Aku ngomong apa sih? Ngata-ngatain kalau Jojo bolot padahal orang yang aku cintai sendiri lebih parah! Dia malah dengan polosnya mengatakan kalau dia menyukai Ony tepat di depanku. Dan bodohnya aku, bukannya menanyakan apa maksudnya, aku justru pura-pura tidak mendengar dia menggumamkan itu, kemudian melanjutkan kegiatanku membereskan jajanan yang akan aku bawa besok ke Jepang.

Aku bukannya tidak mau tahu apa yang dirasakan Mas Fajar sesungguhnya. Hanya saja, aku masih belum siap mendengar kemungkinan kalau Mas Fajar selama ini ternyata menyukai Ony. Aku masih mau punya sedikit harapan. Sedikit saja cukup untuk bisa membuatku tetap berjuang mencintainya.

Entah sampai kapan, yang jelas, saat ini, detik ini, aku masih mencintainya.

"Dek..." panggil Mas Fajar.

Aku menoleh ke arahnya. Mas Fajar tengah duduk di lantai, sementara aku di atas tempat tidurnya. "Kenapa, Mas?" tanyaku setelah selama beberapa detik aku menatapnya, dia hanya diam saja.

"Nggak apa-apa. Kamu nggak tidur? Udah malem lho," katanya.

Aku melirik jam weker yang ada di meja samping tempat tidur Mas Fajar. Sudah hampir pukul 11 malam. Sepertinya ini memang waktuku untuk tidur. "Tidur sini boleh? Males balik kamar."

"Udah selesai packing?" dia balik bertanya.

"Udah, tinggal jajannya doang. Tapi kan nggak perlu dimasukin tas. Ditenteng aja. Paling di bandara juga udah abis."

"Ya udah, tidur sini aja kalo gitu," kata Mas Fajar, kemudian beranjak untuk membereskan tempat tidur Mas Ihsan. Dia yang akan tidur di sana sementara aku tidur di tempat tidurnya Mas Fajar. Dari dulu selalu begitu. Aku juga tidak paham kenapa dan tidak pernah bertanya alasannya.

Setelah melihatku berbaring dengan nyaman di tempat tidurnya, Mas Fajar baru mematikan lampu kamar dan membiarkan cahaya dari lampu lorong asrama menjadi satu-satunya sumber cahaya di kamar ini. Sebelum mata kami berdua terpejam, seperti biasa, Mas Fajar berbisik, "Mimpi indah ya, Dek."

Iya, mimpiku memang indah, Mas. Sampai-sampai aku seringkali malas untuk bangun dan kembali ke realita. Menghadapi kenyataan kalau kamu bukan punyaku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Garis TerdepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang