Karena kesalahan yang di lakukan oleh Riana membuat dirinya mau tidak mau harus menanggung akibat dari perbuatannya.
Menyeret Riana masuk ke dalam dunia kegelapan. Di pertemukan dengan seseorang yang ternyata memiliki kelainan aneh.
Dia Arka, Pria...
Sepasang kaki milik Riana terus bergerak, melangkah menyusuri setiap sudut sekolah baru yang akan ia tempati untuk mengenyam pendidikan selama dua tahun kedepannya.
Setengah jam telah berlalu setelah jam pelajaran berakhir. Riana mulai menghapal letak setiap ruangan yang ada di sekolah milik Smirt ini. Jujur saja, sejak tadi Riana tidak henti-hentinya berdecak kagum, mengagumi kemewahan sekolah ini.
Berbagai tempat sudah Riana datangi dan ada satu yang membuatnya mati penasaran. Hingga kakinya pun terasa gatal ingin segera ke sana.
Belakang sekolah.
Sungguh, rasa penasaran yang ada didalam dirinya semakin membuncah. Ingin melihat ada apa sampai orang-orang memberinya peringatan untuk jangan sekali-kali menginjakkan kaki disana.
Dalam hati Riana meringis. Benar kata pepatah, rasa penasaran bisa membunuh. Dan itulah yang dirasakan olehnya saat ini. Semakin dilarang, maka akan semakin membuatnya penasaran setengah mati.
Riana menahan nafas sejenak. Pandangannya menatap sekeliling, memastikan tidak ada orang yang melihatnya.
Setelah dirasa aman, Riana lantas memberanikan diri untuk melangkah menuju ruang belakang sekolah.
Hanya butuh tiga menit, Riana akhirnya sampai. Tidak ada yang menarik di tempat ini. Hanya ada ruangan kecil yang berada di depan sana. Ruangan yang terpisah dengan bangunan sekolah.
Entah kenapa, tiba-tiba saja angin berembus membuat Riana seketika meremang. Ia lantas mengusap lengannya sambil menatap ragu kearah ruangan itu.
Ruangan yang mendadak terkesan angker dimatanya. Bahkan tanpa sadar Riana meneguk ludah dengan susah payah. Pintunya pun terlihat sedikit terbuka seakan-akan tengah mengundang Riana untuk segera masuk.
"Mungkin hanya gudang." gumam Riana tanpa memalingkan mata dari ruangan itu. Refleks kakinya melangkah masuk hingga mengabaikan tulisan merah darah yang ada tembok dekat pintu.
Tinta merah yang bertuliskan.
'Entering means dead'
Sebuah kalimat singkat namun mematikan.
Dengan ragu, Riana mendorong pelan pintu kayu itu hingga menimbulkan suara decitan yang terdengar cukup bising. Setelah berhasil terbuka, Riana memajukan kepalanya, mengintip kedalam ruangan itu. Mencari tahu apa saja yang ada di sana. Hal pertama yang Riana rasakan adalah sepi. Cahaya yang tercipta pun terlihat temaram dan sangat menakutkan.
Riana menelan ludah. Ia kembali melanjutkan langkahnya, semakin masuk. Mendadak Riana merasa sesak, merasakan suasana yang senyap dan lembab.
Trassh
"Argghh," tiba-tiba saja Riana berteriak saat merasakan perih yang amat sangat dibagian pipi kanannya. Spontan ia menegang pipinya dan seketika matanya membelalak lebar. Menatap tak percaya pada tangannya.
Darah?!
Ya Tuhan!
Riana langsung menoleh kearah samping. Tubuhnya menegang menemukan sebuah pisau tajam menancam di pintu kayu yang berada tepat di belakangnya. Pisau itu berlumuran darah segar yang Riana yakini adalah darah miliknya.
"Siapa kau?" suara berat terdengar tiba-tiba hingga berhasil membuat Riana terpekik kaget. Ia menatap ke depan dimana terdapat siluet seseorang yang berdiri diantara kegelapan.
Riana berdebar kencang. Seketika ia tergagap karena takut. "Ma-maaf, aku hanya—"
"Aku tanya siapa kau?! Bodoh!" bentaknya kasar disusul oleh suara geraman tajam.
Riana tersentak kaget. Jantungnya seketika terpompa hebat dan menggila. Keringat dingin pun turut membasahi pelipisnya. Merasa sangat ketakutan saat merasakan aura gelap dari orang itu.
Sekarang Riana menyesal telah berani masuk ke ruangan ini dan mengabaikan peringatan dari teman-temannya.
"Kau bisu, hm?" suara tepakan sepatu terdengar mendekat. Tubuh Riana terpaku, kepalanya menunduk menahan rasa nyeri pada bagian pipinya.
Hingga sepasang sepatu berwarna hitam pekat berhenti tepat di hadapannya—nyaris menyentuh ujung sepatunya.
Aura yang di keluarkan oleh pria ini sangat menakutkan. Tubuh Riana pun perlahan mulai gemetar dengan sendirinya.
"Selain bisu, kau juga buta ternyata. Apa matamu tidak bisa membaca tulisan itu, hah?!" geramnya marah membuat Riana memejamkan mata takut. "Masuk berarti mati!" bisiknya tepat di depan wajah Riana, saking dekatnya, Riana sampai bisa merasakan embusan nafas pria itu.
Tangan kekar dan dingin miliknya perlahan terangkat, menyentuh pipi Riana yang berdarah kemudian tanpa di sangka-sangka dia menekannya kuat hingga membuat Riana langsung menjerit kesakitan.
"Arrkh, sakiit!" Riana mencoba menepis tangan itu, namun tidak bisa. Malah pria itu semakin menekannya hingga darah keluar semakin banyak.
Brak!
Pria itu menendang pintu yang ada di belakangnya hingga tertutup dengan rapat. Riana sampai terperanjat, sangat terkejut melihat tindakan pria itu. Riana seketika mengutuk dirinya. Kenapa sejak awal ia tidak kabur saja? Apalagi pintu berada tepat di belakangnya.
Benar-benar bodoh. Rutuk Riana dalam hati. Kini nasib baiknya sedang tercancam. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, Riana berharap semoga ia masih selamat.
"Gadis yang pemberani. Rela mengorbankan diri demi memuaskan rasa penasaran.."
Riana pucat pasi, nafasnya tertahan tanpa sadar. Ia membenarkan kalimat itu. Karena rasa penasaran yang membuncah membuatnya jadi bertingkah gegabah. Sekarang ia telah terjebak dengan pria misterius di sekolah Smirt, sang pemilik bangku kosong yang ada di kelasnya.
Dia tidak lain adalah,
Arka Zafendro Cristine Smirt. Pria berdarah dingin dan berbahaya.
Dada Riana terasa sesak. Ia merosot mundur ketika pria itu hendak menyudutkannya. Bibirnya bergetar sembari terus menitihkan air mata. "To-tolong lepaskan aku. Aku janji tidak akan mengganggumu lagi."
"Melepaskanmu?" Pria itu tersenyum miring lebih tepatnya senyum ejek. "Harusnya kau tau, siapapun yang masuk, tidak akan kubiarkan keluar dengan mudah."
🍁🍁
B
aca kelanjutannya di Karyakarsa.
Cerita ini juga sudah tersedia di google playstore (playbook)
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.