03 | alasan

1.1K 176 0
                                    

Kejadian sesungguhnya

Seoul, 1 Februari 2010
14:00

"Yujin, di panggil Papa kamu."

Yujin yang tengah memainkan ponselnya langsung bangkit dari kasur kamarnya yang nyaman. Pemuda itu melangkah pelan menuju kamar ayahnya yang bagai tanpa cahaya. Tentu ditemani oleh sang ibunda di belakangnya.

"Iya, Pa?"

Yujin berlutut. Menyamakan tinggi dengan pria tua yang segala aktivitas bergeraknya di topang oleh sebuah kursi roda. "Papa mau ngomong apa sama Yujin?" Yujin memberikan spidol hitam pada genggaman tangan kanan ayahnya—satu-satunya bagian tubuh yang masih bisa bergerak, lantas meletakan papan tulis di pangkuan ayahnya.

Pernikahan

Itu yang ditulis ayahnya. Yujin membelalak kaget. "Hah?! Papa mau nikah lagi maksudnya?!" pekiknya terkejut. Ibunya menatap Yujin dengan matanya yang membelalak.

"Serius?!"

Hampir saja Yujin meledak-ledak jika saja ayahnya tidak segera menulis kata lain di atas permukaan papan tulisnya.

Kamu, bodoh!

Ibunya langsung terkikik. Yujin langsung menunduk malu. "Tapi Yujin masih muda, Pa..." cicitnya kecil. Ayahnya hanya diam, sekedar melirik saja tidak bisa. Yujin meringis kecil. "Minjoo juga belum tentu mau."

Ibunya menepuk pelan pundak Yujin. Memberi tatapan penuh harap. "Papa sama Mama udah tua," bisik Ibunya. Yujin menghela napas. Ia memang bukan anak satu-satunya. Yujin memiliki kakak perempuan yang terpaut sepuluh tahun lebih tua. Namun, umurnya tidak panjang.

"Yujin pikirin lagi," ujarnya, bangkit dari posisinya kemudian menjauhi kamar kedua orang tuanya begitu saja, bahkan ia lupa untuk sekadar menutup pintu. Yujin bimbang. Pikirannya kalut.

Ia masih berumur belum genap dua puluh tahun, dan Minjoo—sebagai kekasihnya, akan menginjak umur sembilan belas tahun dalam empat hari kedepan. Mereka masih terlalu muda untuk membangun sebuah keluarga.

Tetapi, mengingat umur kedua orang tuanya, tentu Yujin tidak bisa untuk tidak tersentuh. Ayahnya sudah tua—dan terserang stroke, sehingga hanya tangan kanan dan bola matanua saja yang mampu bergerak. Ibunya pun hanya seorang ibu rumah tangga.

Di satu sisi, ia merasa sanggup untuk membangun rumah tangga. Di sisi lain, Yujin merasa takut. Pertanyaannya;

Ingin diberi makan apa istri dan anaknya?

Ia belum bekerja. Makan sehari-haripun masih mengandalkan uang orang tua.

--

Seoul, 16 Agustus 2016
18:30

Yuri menutup telinganya kesal. Bibirnya berdecak tidak suka. "Berisik! Apa sih nangis mulu!" kesalnya mengarah pada Minjoo yang terus saja menangis sambil bergerak tidak nyaman di sampingnya.

Jo Yuri benar-benar merasa kesal. Ia baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai anggota laboratorium—dengan alasan ia tidak becus dalam bekerja. Sehingga menimbulkan banyak kelalaian. Alasan lainnya, ketua laboratorium menganggap Yuri aneh karena ambisinya dalam menciptakan mesin waktu—yang sangat mustahil diciptakan

Padahal, tidak ada yang mustahil di dunia ini.

"K—kangen Yujin!" jerit Minjoo. Matanya sudah sembab dan bengkak. Rambutnya berantakan. "G—gue nyesel, hiks..." tangisnya lagi. Yuri menggeleng tidak mengerti dengan matanya yang mendelik. "Yaudah, kalo kangen, kejar! Nggak perlu nangis nggak penting kayak gini, ngerti?!"

Minjoo masih menangis. Dengan sesegukan, ia menjawab, "Tapi, Yujin udah punya pacar—hiks."

Minjoo menunjukan sebuah foto laki-laki tampan dengan perempuan cantik dari ponsel canggihnya. Yuri menyipitkan matanya. "Yujin udah nikah?" tanyanya memastikan. Minjoo menggeleng.

"Denger, Joo... Selama janur kuning belum melengkung, Yujin masih punya siapa aja. Lo masih bebas ngejar dia," peringat Yuri. Niatnya sekadar menenangkan Minjoo yang tidak henti-hentinya menangis tiap malam.

"T—tapi gimana caranya?"

Yuri diam. Gadis pintar itu tengah berpikir. Dirinya belum pernah berpacaran, tentu tidak mengerti dengan percintaan orang lain. Bukannya Yuri terlalu mencintai dirinya sendiri hingga tidak ingin berpacaran dengan orang lain—ia hanya tidak memiliki waktu.

Jo Yuri menggesekkan telunjuk dan jempolnya hingga menciptakan bunyi jentikan kecil. "Modus ngucapin hbd pas Yujin ultah. Lewat chat aja. Perlahan, ajak dia ketemuan," sarannya. Diam-diam, ia merasa kagum dengan idenya yang sangat brilian.

Minjoo menatap Yuri tidak percaya. "Gengsi goblok!" umpatnya gemas dengan ide milik gadis Jo. "Ntar Yujin mikir gue cewek apaan?!" serunya lagi, menggebu-gebu. Namun, mata Minjoo masih setengah basah.

"Gengsi nggak bisa bikin keadaan kek dulu, Joo."

Perkataan terakhir Yuri sebelum gadis itu jatuh tertidur terus terngiang-ngiang dalam benak Minjoo tiap harinya. Akibatnya, ia benar-benar menjalankan saran Yuri, tepat di hari ulang tahun Ahn Yujin.

TBC

Agak pendek dr biasanya! Perhatiin waktunya biar g bingungg.

Time MachineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang