2

398 52 19
                                    

Bruk.

"Ini yang terakhir?" tanya Marco usai meletakkan satu kardus di dalam unitnya. Ace mengangguk. Ace mengedarkan pandangan pada setiap unit apartemen Marco. Kardus-kardus barangnya terlihat nyaris di setiap sudut apartemen kecuali di kamar Marco.

"Ace," panggil Marco.

Ace menoleh pada sumber suara. "Iya?"

"Enggak pa-pa, kan, kamu urus barang kamu sendiri? Aku ada perlu hingga harus pergi sebentar."

Ace mengangguk. "Enggak pa-pa. Aku bisa. Kamu hati-hati."

Marco mengulas senyum. "Aku pergi kalau gitu," Marco beranjak menuju pintu keluar. Sebelum itu ia meraih jaket yang tergantung lalu menghilang dibalik pintu.

"Yosh," Ace mengepalkan kedua tangannya. "Semangat!"
.
.
.
Ace telah tinggal seminggu dengan Marco. Nyaris setiap pagi mereka sarapan dengan Marco yang nyaris selalu selesai lebih dulu dan beranjak meninggalkan Ace usai mencuci piring.

Ace selalu memerhatikan ritme Marco.

"Marco," panggil Ace di suatu malam ketika Ace tidak melihat Marco memakai kacamata dan menghadap layar laptopnya, namun menghadap televisi.

Marco menoleh, menatap Ace yang memeluk erat bantal sofa. "Ya?"

"Kamu kuliah apa?" tanya Ace dengan tangan diatas sandaran kursi menahan kepala sembari menghadap Marco.

Marco mengangkat sebelah alis. "Ada sesuatu hingga kamu bertanya seperti itu?"

Ace mengendikkan bahu. "Ingin tahu, mungkin?"

Marco mengulas senyum. "Geografi. Peminatan geografi Fisik, minat geografi Manusia, minat pembangunan wilayah."

"Apa itu berarti kamu sering bepergian?"

Senyum Marco tetap bertahan. "Untuk sementara waktu tidak."

"Kenapa?"

"Hmm, karena memang begitu?"

Ace mengangguk. "Tapi kamu terlihat sangat sibuk."

"Oh ya?"

Ace mengangguk menggemaskan. "Setiap pagi kamu selesai makan terlebih dahulu, terus pergi entah kemana. Pulang sore. Nyiapin makan malam. Mandi. Duduk di depan laptop."

Marco tertawa. "Tidak kusangka kamu memerhatikan kebiasaanku."

Ace mengerucutkan bibir. "Ya hampir hari lihat kamu, masa aku enggak sadar?"

Marco terbahak. "Benar juga. Tapi, kamu...,"

"Aku?"

"Aku pernah pulang siang untuk mengambil beberapa hal. Aku pernah melihatmu tidur di meja makan, lantai, dan sofa. Oh, pernah sekali aku melihatmu tertidur di beranda. Kamu..., ngidap narkolepsi?"

Ace mengangguk. "Ung. Makanya aku jarang ambil kelas siang. Selalu usahain pagi. Jadi agak padat."

"Kamu ke kampus jalan kaki?"

"Naik bus."

"Mau ikut denganku saja? Biasa aku bawa mobil."

Bibir Ace kembali mengerucut. "Enggak mau. Kepagian di kampus jam tujuh. Kuliah aku kan jam delapan."

Marco terkekeh. Ia mengusap pelan kepala Ace. Ace, diam-diam mendapat satu debar aneh.

"Oke. Tapi kapanpun kamu mau berangkat denganku, bilang saja, oke?"

Ace mengangguk. Marco mengembalikan pandangan ke TV. Malam itu mereka habiskan untuk menonton tayangan hiburan yang tidak benar-benar menghibur.
.
.
.
"Marco?" panggil Ace ketika ia masuk ke dapur.

Marco, yang sedang menghadap teplon yang berisikan dua buah telur ceplok yang sedang digoreng, menoleh dan melihat Ace berdiri dengan tangan mengucek mata. "Sudah bangun? Duduk. Aku lagi goreng telur."

Ace melangkah mendekati meja makan dan duduk di kursi dengan kepala menempel di meja makan. "Aku mau telur ceplok setengah matang dua."

Marco menghadap meja ketika Ace selesai berbicara dan menyajikan setangkup roti panggang dengan isian dua telur ceplok setengah matang. "Sesuai permintaan Anda, Pangeran."

Ace tersenyum malas. "Thanks, Marco," ujar Ace yang membuatnya mendapatkan satu usakan dari Marco.

Marco sekali lagi menghadap kompor untuk menggoreng telur bagiannya. Telur goreng kocok lepas setengah matang yang segera menjadi isian roti panggang miliknya dan membawa ke meja makan untuk dimakan dengan berhadap-hadapan bersama Ace.

Ketika Ace menggigit bagian kuning telur yang setengah matang, sebagian cairan merembes melalui sudut bibir Ace, membuat tangan Marco segera mengusap sudut bibir Ace tanpa mengucapkan apa-apa.

Ace mengerjap. Ia segera menyentuh sudut bibir yang tadi disentuh oleh Marco, membuat Marco berucap, "Tadi cairan kuning telurnya rembes." Ace mengangguk lalu lanjut menyuapkan roti isinya ke dalam mulut.

Ace beranjak berdiri dan mengangkat piringnya menuju wastafel lalu membilas piringnya. Ia beranjak menuju dispenser dan mengisi gelas kosongnya dengan air dingin. Membuat ia dapat teguran dari Marco, "Ace, jangan minum air es pagi-pagi."

Ace mengerucutkan bibir. "Tapi aku suka."

Marco menghela napas lalu beranjak berdiri sambil mengangkut piringnya dan membawanya ke wastafel untuk dibilas. Ia menyusul Ace yang berada di dekat dispenser untuk ikut mengambil air dingin yang dicampur dengan air panas hingga menghadirkan suhu hangat dan memberikannya ke Ace sembari mengambil gelas digenggaman Ace.

"Minum," perintah Marco.

Ace memberengut, namun tetap menurut. Membuat Ace dihadiahi usapan lembut di kepala.

"Good boy," puji Marco.

"Memang aku bocah?" Ace meleletkan lidah.

Marco terbahak.
.
.
.
Ini ceritanya sepertinya akan cukup panjang. Haha. Aku membuat cerita ini tanpa menimbang akan tamat pada bagian berapa.

Yasud, sampai jumpa dibagian selanjutnya. Bubaaayyy

Between Me and You in Our ApartmentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang