Sesak yang masih jelas mengambang menggilas perasaan yang meradang. Secara jantan kuakui bahwa peluru darinya lebih bergelimang. Dan akhirnya dia merengkuh kemenangan gemilang.
Menghilangkan itu semua, aku lekas menuju puncak, bergeser tak jauh dari lokasi medan perang.
Sesampainya disana, aku merasa ada satu bagian dari diriku yang hilang.
Doa yang kupanjat, daya dan upaya yang kurambat, bahkan Tuhan pun ingin kugugat, hanya demi terlihat tak melarat dan sederajat. Dan itu adalah racun yang membuatku salah dalam menggaungkan niat.
Kudengar sebuah bisikan sekelebat. Memacu putaran sel-sel dalam otak yang tadi terasa penat.
"Dahulu waktu engkau menganggur, penghambaanmu terhadap-Ku sangat teratur."
"Lantas Aku mengujimu dengan kenikmatan secuil, dan akhirnya kamu tersandung oleh kerikil-kerikil."
"Sadarilah! Tidak semua orang memiliki gaji. Tapi tiap mahluk memiliki rezeki."
Aku mulai mengerti. Arini yang berlatar belakang miskin, diatur oleh-Nya sedemikian rupa sehingga mendapat keseimbangan-Nya. Dan aku yang berkecukupan, dikelola-Nya sedemikian rupa sehingga memperoleh keseimbangan-Nya.
'Perbedaan, ketimpangan, kesemerautan, merupakan bagian dari keseimbangan alam bawah sadar yang telah, sedang, dan akan dikendalikan.'
Bahkan pikiranku berekspansi menggeliat. Aku berkeyakinan, selama zakat masih termasuk rukun yang melekat, selama kaum miskin masih tertera pada ayat, maka selamanya kaum kaya maupun miskin akan terus tumbuh tak ada yang bisa menyumbat.
Ujian bukan hanya berupa keterpurukan, namun juga berupa kemegahan. Bila terhempas dan melupakan, maka tunggulah kehancuran.
Sebaliknya, terkadang Tuhan menimpa keterpurukan sebagai tanda cinta. Semata-mata untuk mendengar curah rintih dari seorang hamba. Karena dalam kondisi terpuruk biasanya manusia akan menghamba.
Aku hampir lupa, tugasku hanya dua, berusaha dan berdoa. Eliminasi dari itu semua berdasar pada kehendak-Nya.
Terima kasih, Arini a.k.a Edelweiss. Kamu membukakanku mata.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisikan Tuhan: Seimbang
Short StoryKesemerautan, ketimpangan, kekarut-marutan, justru merupakan bagian dari keseimbangan itu sendiri.