Sepucuk kabar gembira menerpa, sebuah kepercayaan dari teman kampusku menyapa. Alan, dia percaya akan kapabilitas dan kepiawaianku dalam mengurusi bisnis rintisannya. Angan-angan kian nyata, lima senti di depan mata. Aku lekas menerima tawarannya tanpa banyak bicara.
Dalam jangka waktu yang telah disepakati, aku menyanggupi. Bisnis yang dilimpahkannya berhasil menembus puncak ekspektasi. Saat itulah mengalir deras keran pundi-pundi. Kurang dari setahun, puluhan juta kukantongi.
Keberhasilan ini menumbuhkan kembali benih-benih kepercayaan diri. Dua tahun lalu aku sempat frustasi, bahkan terpikir gantung diri. Tapi semua itu kini tergerus habis oleh ukiran bukti-bukti. Lihat, Arini! aku kembali. Aku berjanji akan memantaskan diri, perlahan namun pasti.
Pasca proyek bidikan Alan selesai kuurusi, waktunya untuk mengabari. Aku sudah merasa layak untuk duduk bersama dengannya kini. Tak sabar untuk mendengar cerita fantastis nan impresif yang akan dibagi. Pasti berbeda rasanya bercakap tanpa tatap, dengan bercengkrama diiringi lantunan gerakan mata. Ya, setidaknya itu yang aku bayangi. Atau minimal, bertatap muka saja yang kuimpi.
Apa mau dirasa, harapanku tak digubris. Ekspektasi yang sempat meninggi, terjelembab terjun drastis. Asa kian menipis. Denganku dia kian berjarak, dengan karir dia maniak. Hingga akhirnya sabarku berontak.
Aku sambangi tiang beton tempat dirinya mengabdi. Seorang resepsionis kutemui. Kutanyakan namanya, Arini. Namanya tak ada! Ah aku tak percaya. Lekas kudeskripsikan ciri-cirinya dengan rinci. Resepsionis mengenali, tapi bukan Arini.
Edelweiss Javanica, namanya telah berganti. Kutunjukan sebuah foto untuk meyakinkan diri. Tak salah lagi, "itu ibu Edelweiss," ujar resepsionis.
Oh, jadi selama ini aku tak diberi tahu, namanya telah resmi berganti baru. Kukira hanya nama saru, lantaran seluruh media sosialnya
memang menggunakan nama itu, Edelweiss.Aku menunggunya dua jam untuk berkelit. Bertemu dengannya membuat otak melilit. Dinding-dinding birokrasi berdiri tegap bersuit.
Saat dirinya tiba, kulihat sosoknya benar-benar membutakan mata. Memori masa lalunya seolah-olah tak ada yang tersisa. Bila sederhana dan sahaja yang dulu meluluh lantah, kini dirinya total berubah. Bila tampilannya dahulu polos, kini menjelma layaknya bos-bos.
Sekarang dia dihadapanku dengan senyum jumawa. Belum sempat aku menyapa, datang seorang lelaki menyambanginya, mengecup keningnya, memeluknya mesra, menatapku tak lama, dan berlalu begitu saja. Kutanyakan dirinya, tapi tak keluar kata-kata.
Belum sempat aku berucap, dirinya lebih dahulu mengecap. Tempat berlabuh yang dulu kugarap, kini terakuisisi sepihak dalam pasar gelap.
Dia mengakhiri hubungan!
Berkilah bahwa aku tak layak dijadikannya lagi sandingan. Lalu aku dicampakkan, didiamkan, dan ditinggal sendirian.
Dia tak memberiku sedikit ruang. Rencana jangka panjang yang kami rancang hanya awang-awang, menguap layaknya kepulan asap yang lenyap bersama angin semilir meratap.
Batin ini masih gelap. Tanda tanya besar masih berdiri menghadap. Semudah itukah dia membuat keputusan tetap?
Ponsel berdering...
"Maaf karena kelakuanku tadi. Kita bisa bertemu minggu esok hari, jam 8 pagi, di Kebun Raya Bogor. Semoga ada waktu dan kita bisa secepatnya bertemu," Pesan dari dirinya.
***
Oh, lonceng pertunjukan baru saja ditabuh. Akan kutunjukan bahwa dirinya salah mencari musuh. Akan aku obrak-abrik drama yang dia asuh. Dan kita lihat siapa yang akan terjatuh.
Gila-gilaan aku menguras semua isi rekening. Toko-toko bermerk ternama kujarah habis hingga terkencing-kencing. Balutan atas, balutan bawah, hingga aksesoris yang menurutku sangat penting. Tampilan megah sengaja kuumbar agar dirinya menyesal atas aksi teatrikal yang sengal.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisikan Tuhan: Seimbang
Cerita PendekKesemerautan, ketimpangan, kekarut-marutan, justru merupakan bagian dari keseimbangan itu sendiri.