Prolog

401 14 1
                                    

Ini kisah dua remaja yang pandai matematika namun bodoh soal cinta. Mereka adalah Marsha dan Revan.

Menurut Marsha, matematika itu seperti sebuah harapan baru. Ketika ia terjatuh ataupun lelah matematika selalu bisa membuatnya bahagia kembali. Apalagi semenjak kehilangan orang yang paling disayang, Marsha merasa hidupnya sudah tidak berarti. Namun, dengan matematika ia bisa bangkit dari perasaan itu dan berusaha mencari kebahagiannya sendiri. Itulah arti matematika dari seseorang yang tidak pernah mengenal cinta.

Menurut Revan, matematika adalah obat. Obat dari rasa sakit yang ia rasakan dulu. Matematika itu sebuah pelampiasan ketika ia ingat bagaimana rasa sakit itu ada. Memang awalnya ia tidak menyukai matematika atau pelajaran sekolah lainnya. Tapi semenjak ia terluka karena cinta, ia pun menjadikan matematika sebagai tempat mencurahkan rasa sakit. Itulah arti matematika dari seseorang yang pernah terluka karena cinta.

~♥~

Satu tahun yang lalu...

Saat hari pertama masa orientasi sekolah di SMAN Jaya Sakti dilaksanakan. Ratusan siswa siswi berseragam putih biru dengan topi dari koran bekas memenuhi lapangan upacara.

"Alasan!" bentak seorang panitia.

"Kalau telat bilang aja telat ngga usah muter-muter cari alasan!"

"Sana baris didepan bareng anak-anak lain yang telat!"

Saat upacara akan dimulai, terdengar suara keributan dari gerbang. Ternyata ada seorang siswi yang terlambat dan dimarahi panitia.

Siswi itu melangkah menuju barisan siswa lain yang telat. Ada sekitar sepuluh orang yang sudah baris disana. Malangnya hanya siswi itu yang terlihat berbeda dari yang lain. Bukan karena dia seorang perempuan, tapi karena siswi tersebut tidak memakai topi dari koran yang sebelumnya sudah di intruksikan.

"Lo ngga bawa topi?" Tanya seorang siswa yang berada disampingnya.

Siswi itu tertunduk kemudian menggeleng pertanda tidak.

"Nih, pake punya gue." Ujar siswa tadi.

"Nanti kamu gimana?" Tanya siswi itu.

"Santai aja, gue kan anak cowok, jadi lo aja yang pake."

"Makasih." Ucap siswi itu kemudian memakai topi tersebut meskipun sedikit kebesaran.

"Kenalin gue Revan." Ucap siswa itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya.

"Marsha." Kata siswi yang telat tadi seraya tersenyum.

"HEH!!! KALIAN YANG BARIS DIBELAKANG!!" Tiba-tiba seorang panitia berteriak melalui mikrofon sambil menunjuk mereka.

"MAJU KE DEPAN!!" Ucap panitia itu pada Marsha dan Revan.

"Di depan ada orang lagi ngomong itu dengerin, bukan malah ngobrol berduaan!" Setelah tiba didepan, omelan para panitia menyambut mereka.

"Ini lagi kenapa ngga pake topi?!" Tanya seorang panitia berambut ikal pendek.

"Dipinjemin ke dia kak." Jawab Revan datar.

Sontak saja mata Marsha membulat sempurna. Takutnya malah dia yang akhirnya dihukum. Entah manusia spesies macam apa yang baru Marsha kenal ini, antara terlalu jujur atau emang ingin mengerjai Marsha.

"Topi kamu emang kemana?" Tanya seorang panitia berkacamata.

"Ketinggalan kak." Jawab Marsha.

"Baru aja hari pertama udah ketinggalan, lain kali cek lagi yang bener." Ujar panitia itu.

"Baik kak." Ucap Marsha.

"Kamu kenapa pula ngasih pinjem? Dia pacar kamu? Tanya seorang panitia lagi.

"Kasian kak, orang cantik ngga boleh kepanasan." Tambah Revan membuat semua orang yang ada disana menyoraki mereka. Sedangkan Marsha, dia tertunduk malu mendengar ucapan cowok yang baru dikenalnya.

"Kalian ini ke sekolah buat belajar bukan buat pacaran! Setelah upacara ini selesai, kalian berdua akan saya kasih hukuman tambahan." Ucap seseorang yang mereka ketahui adalah Sang ketua OSIS.

Mbahmu pacaran, dumel Marsha dalam hati.

~♥~

Disinilah mereka sekarang berada, taman belakang sekolah. Seperti kata ketua OSIS tadi, mereka berdua akhirnya dihukum untuk membersihkan halaman belakang. Sungguh hari yang sial bagi Marsha.

Semakin bertambah pula rasa kesal Marsha saat hanya dirinya lah yang bekerja sedangkan si pembuat masalah malah duduk-duduk santai. Saat Marsha tanya alasannya, katanya nanti ketampannya luntur kalau bersih-bersih. Memang sungguh orang yang tidak tahu malu.

"Woi Revan! Buangin itu sampahnya." Ucap Marsha yang sedang menyapu.

"Ngga mau, lo aja."

"Gue bilangin panitia ya."

"Bilangin aja, palingan nanti kita dihukum lagi."

"Ishh lo! Seenggaknya bantu buangin kek."

"Tangan gue gatel-gatel nanti kalo pegang begituan."

"Lo! Dari tadi ngeles mulu, gue sumpahin kulit lo kurapan!"

"Ga boleh bilang gitu Sha, berbicara buruk tentang orang lain itu dosa."

"Dihh ngeselin banget sumpah, semoga ngga sekelas deh."

"Semoga kita sekelas aamiin." Ucap Revan.

"Amit-amit!" Ujar Marsha sambil melempar daun yang dia pegang ke wajah Revan.

"Woi! Bersihin yang bener!" Teriak seorang panitia yang lewat disana.

"Ini kak, dia malah lemparin daun yang udah saya sapu." Ucap Revan.

Spontan saja Marsha memukul lengan Revan. Sungguh dia sangat benci dengan cowok bernama Revan ini.

~♥~

Happy reading...

Math LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang