1. Prinsip

1.6K 183 11
                                    

Sheina

Karena terkadang ada beberapa hal yang nggak perlu dijelaskan secara gamblang. Alasan di balik itu ada banyak, entah karena nggak ingin dihakimi atau entah karena nggak ingin menyakiti hati orang lain. Gue pribadi, lebih memilih opsi yang pertama karena saat ini yang memang relateable sama kondisi gue adalah yang pertama.

Hampir seminggu ini gue matiin notifikasi line grup Batas―baris atas―yang beranggotakan gue, Jungmo, Yohan, Yunseong, Siyeon, Yeji dan Dani. Selain grup batas, gue juga nge turn off notification line milik Yunseong. Mengingat cowok itu aktif banget di grup dan gue lagi nggak mau berhubungan sama dia.

Seperti sekarang misalnya. Ketika gue dan salah satu teman gue mendapati Yunseong lagi nongkrong di kantin bareng temen-temen kelasnya yang kayaknya baru selesai olahraga, gue lebih baik memutar badan dan kembali ke kelas karena gue nggak mau ketemu dia. Eunbin yang berangkat ke kantin sama gue aja bahkan bingung dengan perangai gue akhir-akhir ini.

"Kenapa, sih? Tadi katanya mau beli air mineral."

Gue menggeleng dengan cepat. "Nggak jadi, udah nggak haus juga."

"Lo aneh tau, nggak?"

Gue berdecak. Eunbin emang masih nggak tau alasan di balik gue begini. Karena gue pikir dia nggak perlu tau juga.

Mereka juga bahkan nggak tau dan kayaknya mereka belum merasa kalau gue menarik diri dari lingkar pertemanan ini. Gue harap sih mereka nggak sadar.

Pada dasarnya, memang ada beberapa hal yang seharusnya gue lakukan untuk meminimalisir hal ini terjadi, tapi gue nggak bisa. Ini terjadi begitu aja tanpa izin dari diri gue sendiri selaku pemilik diri ini sepenuhnya.

Beberapa hal selalu berjalan dengan tidak seharusnya.

🌻

Kata orang, nggak ada persahabatan yang murni antara cowok dan cewek. Sejarah itu memang terbukti selama dua setengah tahun. Namun, lagi-lagi gue malah melakukan hal yang seharusnya nggak gue lakukan. Gue mematahkan sejarah itu such a cowards.

Mengenai perasaan ini, nggak sesedarhana itu. Gue kasih tau aja, semua ini nggak semua tentang persahabatan dan hal-hal remeh yang lainnya. Ini perasaan kompleks yang terkadang otak pun masih lebih suka memilih untuk mengalah. Perasaan ini kompleks, bukan tipikal perasaan yang bisa semudah itu lo abaikan.

Nggak, ini semua nggak semudah itu. Sebagai seseorang yang merasakannya, gue akan secara terang-terangan jujur kalau ini menyiksa. Setelah sekian lama lo bersahabat dengan seseorang dan akhirnya lo sadar kalau pertemanan memang seharusnya di selesaikan disini aja. Pertemanan aja nggak cukup.

Lagi-lagi gue merusak prinsip hidup kesekian gue. Gue selalu lebih suka menjauhi orang yang berbuat salah kepada gue daripada gue harus mengatakan pada orang tersebut apa yang salah dari mereka.

Tapi, untuk kasus ini gue nggak mungkin memusuhi diri sendiri. Maka opsi yang gue ambil adalah menjauhi orang yang merupakan sumber dari segala keresahan gue. Hwang Yunseong.

Gue suka sama Hwang Yunseong. Hati gue brengsek banget, bisa-bisanya gravitasi memperbesar satuannya untuk seorang cowok seperti Hwang Yunseong.

Semuanya salah. Hal klise ini nggak bener. Gue belum siap dengan semuanya. Termasuk dengan ini, kehadirannya di sore hari yang mendung, lengkap dengan jaket parasut hitam dan motor matic berwarna hitam senada dengan jaketnya.

"Pulang naik apa lo?"

"Angkot."

Gue berjalan menuju gerbang sekolah sedangkan Yunseong menaiki motornya namun mesin motor itu nggak dia nyalakan. Dia menggunakan kedua kakinya untuk memajukan motor sambil menyejajarkan gue yang berjalan.

Sebisa mungkin gue berucap sambil nggak melirik wajahnya karena gue nggak mau semua usaha ini berakhir sia-sia.

"Sama gue aja," sahutnya yang masih bisa gue denger dengan baik.

Gue menggeleng. Masih berjalan dan berakhir di pinggir jalan raya untuk mencegat angkot, tapi Yunseong masih berada di hadapan gue. Melirik gue dengan bingung.

"Dih, nggak denger gue ngomong?"

"Males sama lu ah. Udah sana pergi," ujar gue sambil mengibas-ibaskan tangan, menyuruhnya pergi dari hadapan gue karena gue mau nyegat angkot yang lewat karena semakin sore, angkotnya semakin sedikit juga.

"Kenapa dulu."

"Kenapa apanya?"

"Kenapa nggak mau bareng gue?"

Gue menghela napas dengan pelan. Yakin nih lo mau gue jawab jujur? Ya, masa gue jawab 'maaf gue nggak mau pulang sama lo soalnya gue suka sama lo, takut baper' gitu?

"Nggak. Dah sana pergi, nanti cowok gue marah."

Hahaha, pembohongan publik. Cowok apaan, punya aja enggak.

"Bener-bener lo ya. Giliran punya cowok, gue dibuang begini. Mana nggak cerita lagi sekarang lagi sama siapa."

Yunseong berdecak pelan. Dia memakai kembali helmnya dan menyalakan mesin.

"Cowok lo anak mana emang?"

"SMA 3," jawab gue dengan asal. Karena kepala gue bener-bener kosong, nggak tau harus bereaksi dan memberikan reaksi seperti apa.

"Beneran nggak mau bareng gue aja?"

"Bener."

"Yakin? Nggak mau? Gratis. Nggak bayar bensin kayak biasa kok."

Gue menarik napas dengan panjang dan mengeluarkannya. Mencoba sabar.

"Nggak mau, Yunseong."

"Oke. Gue duluan, ya."

🌻

Cerita ini didasari karena midnight thought padahal iseng doang ((frustasi bgt anjir))



Tapi emang bener sih, gue sempet naksir temen satu grup sendiri dan di dalam grup ini gak cuman gue doang yg merasakan hal yang sama. Tapi untung hati gue mudah oleng jd skrng udh gak suka lagi sama doi meskipun kalo diajak ngobrol gue masih bingung kayak hah apa sih lu gitu deh.

Btw, ini udah completed. Jangan lupa komen dan vote, ya!

Freunde First | YunseongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang