4. Intuisi

574 138 12
                                    

"Ngapain? Bukannya habis ini ulangan Biologi?"

Gue mendongakkan kepala dan melirik Yunseong yang sekarang berdiri di hadapan gue. Gue lagi duduk di kursi, tepatnya lagi makan bekal karena beberapa menit yang lalu bel istirahat bunyi. Dia belum ganti baju alias masih pakai baju olahraga. Kayaknya sih begitu istirahat, dia langsung kesini menemui gue. Chaewon nggak ada di kelas, btw.

"Kenapa sih? Gue ada salah, ya? Jawab dong. Gue perbaiki, janji."

Gue menaruh sendok ke kotak makan dan mengunyah dengan pelan. Yunseong menunggu dengan sabar.

Begitu selesai, gue menatap Yunseong dengan wajah biasa.

"Lo nggak ada salah. Beneran."

"Tapi, sikap lo gitu ke gue."

"Gitu gimana?"

"Gituuuu."

Gue terkekeh. "Apa? Gausah kayak anak kecil. Gue kan emang begini."

Yunseong berdecak nggak suka. Dia langsung mengambil duduk di hadapan gue dan melirik isi kotak makan gue.

"Mau."

"Nih, habisin aja."

Gue menyodorkan kotak makan itu pada Yunseong. Gue kebetulan bawa rendang, makanan favoritnya Yunseong. Gue juga udah kenyang jadi gue kasih aja.

"Bener, ya? Buat gue?"

"Iya."

Kayaknya Yunseong mendadak lupa apa tujuannya kesini karena begitu dia melahap makanan gue, wajahnya bahagia. Mirip kayak orang yang udah nggak makan dua hari.

"Ganti baju sana. Kan habis ini lo ulangan," ujar gue pada Yunseong, sebuah keputusan yang salah karena kalau udah makan, kayaknya cowok ini susah dan nggak bisa diganggu. Fokusnya cuman satu; makanan.

"Yunseong gue mau ngomong sama lo. Pulang sekolah tungguin gue dulu bisa ngga sebelum pulang?"

Yunseong menoleh dan mengangguk. Bikin gue lega sekaligus sedikit merasa takut karena gue akan beneran menyatakan perasaan gue ke dia hari ini. Sepulang sekolah.

"Bisa kok. Tapi, kenapa nggak sekarang aja?"

"Kalo sekarang nggak leluasa. Jadi, nanti aja."

Yunseong ngangguk-ngangguk.

🌻

"Doain gue yang terbaik ya. Gue mau confess ke Yunseong."

Jeno mengangguk dengan antusias. Gue lalu kembali melanjutkan kegiatan gue untuk memasukan buku-buku ke dalam tas.

Gue sendiri udah menyiapkan skenario terburuk yang akan terjadi di antara gue dan Yunseong. Gue akan menerima segala jawaban Yunseong. Gue akan membuat semuanya jelas sekarang juga.

Begitu selesai, gue langsung berjalan keluar kelas dan menuju parkiran. Yunseong katanya nunggu di parkiran motor dan gue setuju aja disana mengingat nggak begitu ramai disana.

Begitu sampai parkiran, gue mendapati Yunseong udah duduk di atas motornya. Gue melambaikan tangan ke arahnya dan dia sadar akan eksistensi gue.

Gue merajut langkah mendekat, menghampirinya di motornya.

Suasana parkir sepi ditambah Yunseong memarkirkan motor di pojok sehingga daerah parkiran sebelah gedung cuman ada beberapa motor aja. Biasanya, orang yang dapet parkir pojok itu dikarenakan datengnya telat jadi mereka dapet ampas alias tempat yang jauh di ujung dan pojok.

"Mau ngomong apa, nih?" tanya Yunseong. Ditanya begitu tangan gue menjadi dingin dan berkeringan. Masih nggak menyangka kalau gue berakhir memiliki keberanian untuk mengungkapkan mengenai perasaan gue.

Kalau setelah ini Yunseong menolak gue, jelas gue nggak akan heran. Skenario kayak begitu udah ada di kepala gue dari beberapa waktu yang lalu.

Kalau setelah ini Yunseong memutuskan untuk nggak mau temenan sama gue lagi, gue pikir gue akan baik-baik aja. Skenario seperti ini juga udah gue persiapkan.

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo. Tapi, janji jangan pernah motong atau pun bicara sebelum gue persilahkan, ya?"

Yunseong keliatan nggak terima karena ia menyipitkan matanya dan mendengus. Tapi, dia mengangguk.

"Oke, gue janji deh."

Gue menarik napas dengan banyak-banyak. Sudah bersiap mengeluarkannya dalam sekali hempasan.

"Yunseong, gue suka sama lo."

Itu kalimat pertama. Yunseong melebarkan matanya, dan lagi gue cuman bisa diem. Mendadak kerongkongan gue tertahan, seakan-akan nggak bisa bersuara. Yunseong pun sepertinya sadar mengenai janjinya untuk nggak memotong ucapan gue.

"Gue... nggak tau sejak kapan. Yang gue tau, beberapa bulan terakhir gue udah memandang lo berbeda. Gue nggak akan memaksakan perasaan gue kok, gue cuman mau lega aja dengan cara bilang ini ke lo. Gue juga nggak akan repot-repot minta jawaban lo karena ini pernyataan perasaan, bukan pertanyaan perasaan. Pernyataan nggak membutuhkan sebuah jawaban.

"Gue minta maaf banget kalau pernyataan perasaan ini membuat lo nggak nyaman. Gue cuman... gue nggak tau lagi. Gue nggak bisa."

Mata gue memanas dan dalam hitungan detik air meluruh begitu aja dari sana. Gue pikir menyatakan perasaan nggak akan seemosional ini. Tapi, ternyata salah.

Gue mendongak dan melihat wajahnya yang masih terkejut atas ucapan tiba-tiba gue.

"Kalau lo sadar, gue lagi menarik diri dari yang lain. Jahat ya gue? Gue nggak mau ngobrol dulu sama kalian."

"Nggak. Lo nggak jahat."

Gue mengulas senyum terpaksa mendengar penuturannya. Rasanya, langit jadi mendadak mendung setelah acara confess gue tadi. Setidaknya, gue nggak sedih sendirian.

"Intuisi gue mengatakan gue harus ngomong ini ke lo langsung. Untuk reaksi yang akan lo berikan nanti, gue udah mempersiapkan skenario terburuk karena semua hal pasti ada konsekuensinya, kan?"

Yunseong mengangguk. Tangannya menarik gue dan yang gue tau, detik selanjutnya dia memeluk gue dan air mata gue berakhir membasahi seragam putihnya.

"Yunseong, maafin gue."

🌻

Yes, satu chapter lagi dan cerita ini selesai.

Freunde First | YunseongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang