5. Rasa

773 137 27
                                    

"Nggak. Bukan salah lo, nggak usah minta maaf."

"Salah gue nggak bisa mengontrol diri gue dan perasaan gue sendiri."

Gue terisak pelan di bahunya. Setelah mendapat dekapan erat darinya, bukannya tenang gue malah semakin merasa nggak enak. Pasti memberikan pelukan adalah sebuah gestur reflek yang dia lakukan ketika melihat gue menitikan air mata.

Semua itu hanya sebuah tanda, afeksi yang diberikan juga sebatas dua orang yang saling berteman.

"Engga. Udah, ya gausah nangis. Gue ngerasa nggak enak karena ini."

Gue diem dan Yunseong berakhir menepuk-nepuk belakang punggung gue dengan hati-hati.

Di dalam posisi ternyaman itu selama hampir lima menit, gue berhasil menguasai diri dan menghentikan tangisannya.

"Makasih udah suka gue, Shei. Tapi, lo udah tau baik buruknya gue. Gue brengsek, gue goblok, gue―"

"Kalau lo mau bilang bahwa gue terlalu baik untuk cowok kayak lo, gue nggak mau denger."

Gue beringsut mundur dan menghela napas dengan pelan. Gue mendongak dan melihat raut wajah kebingungan terpampang di mukanya.

"Tapi, emang bener. Lo terlalu baik buat gue. Lagipula, please, don't break our friendship with your feeling."

Gue terguncang selama beberapa sekon setelah mendengar ucapannya barusan.

Padahal, beberapa menit yang lalu Yunseong bilang kalau gue nggak salah, perasaan gue nggak salah. Tapi, liat sekarang? Dia minta ke gue untuk nggak menghancurkan pertemanan ini karena perasaan gue.

Double standart banget.

"No, please. Jangan mikir kayak begitu, gue belum selesai ngomong. Gue tau apa yang lo pikirin tentang gue."

Gue masih diem, memutuskan untuk mendengar ucapan lanjutan Yunseong.

"Kalau lo mau sebuah pengakuan perasaan, gue akan mengatakan secara gamblang kalau gue suka sama lo. I like you, a lot, but not in a romantic way. Its kind like i like you so i need you. Gue butuh lo di sini dalam konteks seorang teman dekat."

Gue menelan ludah dengan sulit, kerongkongan mendadak kering dan atmosfer di antara kami semakin nggak enak.

Gue pikir, gue akan bisa menerima seluruh reaksinya dengan tangan dan perasaan terbuka. Tapi, gue tau ini akan berakhir kemana maka perasaan gue nggak enak. Sakit dan rasanya berdiam diri di sekitar Yunseong menjadi nggak nyaman.

"Nggak ada yang namanya mantan temen. Gue nggak akan mau membuat lo mendapat predikat itu. Lo jelas tau kalau perasaan terkadang berjalan nggak selalu sejalan. Gue takut gue nyakitin lo di kemudian hari. Gue nggak mau lo nangis-nangis karena gue. Tolong banget, bisa lo ilangin perasaan lo buat gue? Perasaan suka yang udah lo pendam itu."

Gue mengulas senyum seikhlas mungkin. Nggak lebar mungkin, tapi sebisa mungkin gue meyakini diri sendiri bahwa ini bukanlah masalah besar. Masalah kompleks mengenai perasaan masih bisa diselesaikan dengan logika meski memakan waktu yang lama. Menurut gue, ini berlaku juga dengan rasa gue untuk Yunseong.

"Gue nggak bisa menjanjikan itu dalam waktu dekat," jawab gue pelan dan Yunseong mengangguk.

"Nggak apa-apa. Gue nggak keberatan untuk menunggu. Cuman, bisa nggak setelah hari ini, lo bersikap seakan-akan hari ini nggak pernah terjadi? Bisa nggak lo bersikap ke gue kayak biasanya aja?"

Gue terperangah selama beberapa sekon mendengar penuturannya. Melihat Yunseong meminta hal ini adalah salah satu skenario yang belum gue pikirkan sebetulnya. Gue pikir Yunseong akan serta merta menyuruh gue untuk berdiam di ruang sendiri. Merenungi perasaan gue yang berujung salah karena menyukai sahabat sendiri.

"Nggak. Gue nggak bisa," jawab gue berusaha tegar dan sebisa mungkin gue buat suara gue nggak bergetar.

"Lo baru aja nolak gue, Yunseong, dan sekarang lo minta gue untuk bersikap kayak biasanya ke lo? Nggak salah denger nih gue?"

Gue terkekeh pelan. Yunseong diam, bingung harus bereaksi bagaimana sepertinya.

"Maaf banget, mungkin ini keputusan gegabah banget. Tapi, bisa nggak kita nggak usah temenan lagi? Gue capek. Dengan gue bertingkah seperti biasa ke lo juga nggak membuat perasaan gue hilang begitu aja. Menurut gue, nggak berteman lagi dengan lo adalah opsi terbaik yang sekiranya bisa gue ambil."

"Nggak, gue nggak setuj―"

"Hubungan pertemanan kita sampe sini aja, ya? Makasih udah mau jadi sahabat gue selama dua tahun terakhir. Mungkin kalau gue udah punya pacar, kita bisa mempertimbangkan ini lagi."

Dan semuanya selesai sampai disitu aja. Sampai di parkiran sekolah dimana awan mendung sudah mulai menyelimuti dan hendak menurunkan hujan dalam rangka menghabiskan awan.

Gue berjalan menjauhi Yunseong dan menuju gerbang sekolah, hendak pulang.

Seharusnya, gue mengakhiri ini dari lama. Seharusnya gue tau bahwa reaksi seperti itu yang akan diberikan Yunseong.

Seharusnya gue nggak suka sama Yunseong.

FIN.

🌻

a.n:

Makasih udah baca. Ini emang pendek tapi menurut gue berkesan. Gue sendiri kesel banget pas nulis ini karena menurut gue ceweknya lebay, permasalahan perasaan aja segitunya.

Tapi, emang bagi beberapa orang yang suka dengan sahabatnya sendiri, mereka emang lebih memilih menarik diri dari orang yang mereka suka karena katanya sih mau menghapus perasaan. Gue sendiri suka tapi nggak sampai tahap itu.

Terakhir, gue mau bilang ini ada alternatif ending tapi i want to keep it on the line

Gue pengen bikin cerita yang emang beneran sesuai dengan tweet di atas dan kalau kalian ngeh, hubungan pertemanan yang selesai itu nggak selalu berakhir sedih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gue pengen bikin cerita yang emang beneran sesuai dengan tweet di atas dan kalau kalian ngeh, hubungan pertemanan yang selesai itu nggak selalu berakhir sedih. Hubungan pertemanan yang selesai itu bisa karena lanjut ke jenjang yang lebih serius atau karena salah satu pihak memang memutuskan hubungan ini. Makanya gue bilang ada alternatif ending. Kayak quotes dilan gitu lohhh.

Kesel, gue bacot bgt tapi gapapa deh kan ini lapak gue hehehe.

Btw, makasih udah baca curhatan berkamuflase cerita ini. Aku sayang yunseong!

Freunde First | YunseongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang