Bangunan bercat putih di ujung denai memiliki segudang rahasia memedihkan. Sora merasakan makanan yang dicerna lambungnya seolah berajojing dengan pawai irama kematian.
Aroma kuat alkohol merajai ruangan utama dalam griya tersebut. Seorang pria paruh baya maklumnya buyar sementara beliau terus meracau dan melaknat.
"Aku tidak melihat tumpukan won hari ini. Dan tidak ada soju!" racau sang ayah. "Ke mana saja kau, Sora?"
Anak dara itu bungkam.
"Park Sora!"
"Apa?"
"Anak ini--kauingat 'kan apa yang harus kaubawa saat kaupulang?"
"Tidak. Seingatku, aku hanya perlu menghindari omelanmu dan bekerja setiap hari, membawa pundi-pundi won dan menyimpannya untuk masa depan keluarga ini."
"Sekarang kau berani menjawabku, anak tak-tahu-terima kasih?"
"Aku tidak berusaha menjawabmu dengan mengurangi rasa respek. Namun, itu fakta yang ingin kupertegas."
"Apa? Ha? Mencoba untuk menceramahiku lagi dengan rasa humanitas yang kaupunya?"
Sora mendengus.
"Ayah. Aku memang sengaja tidak membawa uang belakangan ini karena semua uang yang kuberikan untukmu, kaugunakan untuk judi dan minum!!! Apa jadinya ketika seorang kepala rumah tangga sepatutnya bekerja dan menafkahi--"
"Kau tidak tahu apa-apa soal nafkah dan keluarga, anak kecil. Menikah saja kau selalu gagal. Kali ini siapa yang ingin menikahimu? Kukira orang kaya takkan sebodoh itu untuk sudi punya menantu cerewet sepertimu." Ayahnya mendekat. "Aku berbaik hati hari ini. Jika tidak, mungkin hari ini genitaliamu sudah kusumpal dengan tanganku."
Recikan aura bengis menusuk jiwa raganya. Ayahnya terlalu sempurna untuk dikatai seorang penjahat kelamin. Tentu orang-orang hanya tahu sisi Tuan Park yang murah senyum terhadap orang-orang sebelah griya, tetapi tidak di dalam griyanya sendiri. Pun pelecehan seksual tidak pernah menjadi jawaban yang demokratis bagi Sora.
"Terima kasih, Tuhan. Kau masih melindungiku," doa Sora dalam hati setelah pertemuan singkat dengan monster yang selalu hidup berdampingan dengannya.
Tapak kaki menemui lantai yang dingin berair. Semakin dingin kala roman bak porselen itu dibasuh dengan air yang semula hangat kini mendingin seiring waktu. Kini Sora mengangkat kaki keluar, duduk di pinggir ranjang sembari merenggangkan ototnya.
"Hah! Segar sekali, setelah semua omong kosong ayah." Ia tergelak pelan, seolah mempersendakkan takdir menjadi begitu keji padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
remarking twinge
Fiksi Penggemar[convo fic #1] setiap petang anak dara itu bercakap dengan si adam yang memberinya pelipur lara.