Ada suara asing gelegar bumi—gemuruh petir yang terdengar menggelegar bersenandung lepas beriring dengan rintik hujan lebat yang membasahi permukaan bumi. Begitu derasnya, hingga gemerlap malam terisi dengan kicauan alam semesta yang melepaskan amarah. Tiada lagi suara lainnya yang terdengar kecuali tangisan langit penuh angkara.
Disusul tak berselang lama kemudian jeritan maupun teriakan datang menyamakan ketukan tiap nada hujan yang mengguyur malam hari. Kekacauan yang terjadi pada pertengahan malam menggambarkan ketakutan absolut yang bersifat eksplisit. Penuh teror dan kengerian yang merambat melalui tiap-tiap pembuluh darahnya.
"Tolong! Jangan! A-ampuni kami!"
Rasanya aksara yang baru saja dilontarkan tidak menggoyahkan komitmen si pria dengan tubuh tegapnya yang siap kapan saja melayangkan pisau bermata tajam itu untuk menghunus siapapun. Topi hitam dan masker yang senada dikenakan tak berguna sama sekali untuk menutupi sisi kelamnya yang kini terpampang begitu jelas. Sipitnya netra kelabu itu yang mengisyaratkan bahwa ia tertutupi kebengisan.
"Penghianat ... pantas mati!" Intonasi suara yang teramat dalam dan rendah. Beriringan dengan geraman tertahan pada pangkal tenggorokan.
Cengkraman pada gagang pisaunya kian terasa kuat sebab petaka telah mendominasi. Pun tangan itu perlahan terangkat ke udara, melayangkan kilatan ujung pisaunya yang siap untuk dilumuri cairan kemerahan kapan saja.
...poppy...
"Jiyeon ... " Wanita itu bersuara lirih nan bergetar. Memegang bahu kecil putrinya dengan derai air mata yang kian deras. "Sayang, kau bersembunyilah. M-mama akan pergi keluar sebentar."
Mengerjap lembut sejemang, lantas Son Jiyeon menelengkan kepala dengan tatapan bingung.
"Mama mau pergi kemana?" Tak dapat terelakkan bahwa cemas juga menghantam sekujur tubuhnya. "Mama ... apa yang terjadi?"
"Mama hanya pergi sebentar, Sayang," bujuk sang mama lembut. Berusaha menenangkan putrinya. Lekas ia melanjutkan tergesa-gesa, "Cepat bersembunyi. Mama tidak punya banyak waktu."
Kekalapan yang tengah dirasakan memaksa dirinya untuk lekas membantu Jiyeon bersembunyi sebab tidak ingin membuang-buang waktu.
Membuka kasar lemari pakaian yang tergeletak apik di sudut kamar dan memaksa Jiyeon masuk ke dalam sana.
"Mama, Jiyeon takut gelap," keluhnya mendongak seraya meremat pakaian Mama. Memperlihatkan kengerian melalui ekspresi wajahnya yang sendu.
Lekas sang mama berlutut menyamakan tinggi. Mengusap surai kecoklatan putrinya penuh afeksi.
"Mama hanya sebentar saja. Mama mohon, biarkan Mama pergi. Setelah itu, Jiyeon bisa keluar dari sini, hm?" Mengulas senyum paksa kendati susah, lantas wanita itu mengecup dahi Jiyeon dengan durasi cukup lama sebelum pergi dari sana.
Menutup daun pintu lemari dengan isak tangis yang tak kunjung henti. Kemudian tungkainya memaksa berlari tergopoh-gopoh dengan kecemasan yang kian membludak cepat ke ruang tengah demi menghentikan kekacauan yang terjadi.
Kegelapan begitu mendominasi tempat pijakannya yang terbatas. Jemari kecil Jiyeon sesekali bermain pada ujung pakaian yang tergantung di dalam tempat persembunyiannya.
Mama berkata bahwa ia akan kembali secepat-cepatnya. Tapi gerah terasa hingga peluh tercipta tak ayal jika Jiyeon merasa tak nyaman. Ingin keluar segera menghirup udara segar sebab di dalam terasa pengap.
Maka, tangan kecilnya membuka daun pintu lemari perlahan. Keluar dari sana begitu santai manakala hening sesaat. Tak ada lagi kericuhan lantaran sebelumnya Jiyeon sempat mendengar pertengkaran.
"Mama ..." Tungkainya berjalan keluar kamar. Menapaki setiap pijakan sembari mengasakan bahwa ia tidak ditinggal sendirian. "Mama, Papa—"
"Akh!"
Frasa dan gerakan Jiyeon tercekat di pangkal tenggorokan begitu saja saat jeritan mengerikan itu memasuki gendang telinganya lepas. Pun irisnya kian melebar menyaksikan sebuah pisau tajam, menancap apik pada leher Mama yang kini terkapar bersimbah darah bersama tubuh Papa yang sudah tergeletak tak berdaya.
Jiyeon terlonjak, tepat saat netra Mama tercintanya melihatnya dengan tatapan terbelalak. Berlanjut dengan sebelah tangan Mama yang bergerak berusaha menggapainya kendati percuma.
Ngeri merambat cepat, pun Jiyeon terjungkal di sela tungkainya yang bergerak mundur. Menciptakan bunyi debuman bokongnya yang menimpa marmer hingga mengalihkan atensi si pria yang kini tengah melepaskan sarung tangannya.
Senyuman asimetris yang penuh afeksi membingkai bibir pria dengan tubuh jangkung yang menyorotinya. Netra itu menyipit, penuh keteduhan.
"Hei, Sayang." Tungkai lebarnya bergerak mendekat setelah menyimpan sarung tangan pada kantung celananya. "Jangan takut," kilahnya lanjut manakala Jiyeon bergerak mundur. "Aku tidak akan menyakitimu."
Beringsut mundur dengan tubuh bergetar hebat, hingga punggung kecil Jiyeon menubruk permukaan dinding yang dingin menghantarkan ngilu. Menusuk tulang-belulang disela getaran tubuhnya yang semakin hebat.
Lantas Jiyeon tersentak, tepat saat sepatu pantofel mengkilat itu kini telah berhenti dihadapannya.
Si pria berjongkok menyamakan tinggi, memaku tatapan pada wajah kecil Jiyeon yang menampakkan kecemasan.
"Kau takut?" Tangan dinginnya terulur menyapu permukaan pipi Jiyeon yang berisi. "Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu, hm?" ujarnya sembari tersenyum.
Lantas, tubuh Jiyeon mengambang begitu saja saat si pria membawanya ke dalam gendongan. Ditemani gemuruh hujan yang tiada henti-hentinya. Melangkah santai kala melewati dua tubuh yang terbujur kaku tak bernyawa di ujung tangga. Kakinya bergerak santai, sembari sesekali mengusap punggung kecil itu agar lebih rileks dan tenang.
"Jangan takut," adalah Han Jungkook berbisik rendah saat sampai pada halaman depan rumah besar Jiyeon. Mengecup singkat pelipis si gadis yang kini menatapnya kosong. Lantas melanjutkan rendah, "Mulai saat ini kau akan ikut bersamaku."
TBC
proudofjjkabs
18 Juni 2024Ada yang baru lagi, nih. Hehe, semoga kalian suka! Jangan lupa tinggalkan jejaknya biar aku semangat update>.<
KAMU SEDANG MEMBACA
POPPY [M]
FanficHan Jungkook terkenal sadis dan bengis, esensinya di dunia selalu menunjukkan kekejaman yang tiada henti, dan mengasah belati bagaikan jati diri. Pada pertengahan malam hari, Jungkook kembali berburu mencari santapan karena 'mainannya' butuh makanan...