3

8 2 0
                                    


Star meninju keras bahu lebar bersalut jaket merah sesaat setelah memasuki Kelas Sejarah. Sang empunya bahu sempat menengadah sebelum buru-buru menyembunyikan gulungan sketsa di balik punggungnya.

"Eh, apa yang kau sembunyikan?" Star pura-pura terkejut supaya tidak terlihat jemawa. Tangannya menggeret kursi di sebelahnya agar bisa duduk sejajar dengan sahabat karibnya. Ia merapikan rok merahnya sebelum mengempaskan bokongnya.

Pasti Sando sedang mempersiapkan hadiah Hari Penaamaan Star! Sebulan yang lalu, ia melempar kode ke Sando. Bilang kalau ia ingin sekali menambah hiasan di dinding kamarnya. Ya, mungkin saja kali ini Sando akan memberinya lukisan yang lebih bagus dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Mata Sando langsung menghadap langit-langit kelas seraya bergumam, "bukan apa-apa. Hanya pesanan dari Thora."

Star menaikkan sebelah alisnya. "Thora? Ia pesan gambar apa? Endesbrow? Cih!" Hingga saat ini Star masih tak mengerti mengapa orang-orang di sekitarnya―termasuk Sando―menggilai Endesbrow, naga bersisik jingga yang digadang-gadang peliharaan Jenderal Deus. Menurut kepercayaan Bangsa Penderghast, konon Endesbrow membantu Penderghast menang dalam Era Pemberontakan melawan Bangsa Void belasan tahun silam.

"Maksudku, Endesbrow, kan, hanya mitos. Kalau sampai saat ini tak pernah ada yang melihat Endesbrow, berarti sejarah yang dipelajari semua Bangsa Penderghast bohong dan bualan belaka," tukas Star cuek. Ia sudah tak peduli pada siapa pun yang menuduhnya tidak nasionalis atau patriotis. Teman-temannya boleh menelan bulat-bulat Sejarah Penderghast, tetapi tidak dengan dirinya.

Star memilih mencari tahu lebih banyak dari berbagai sisi, misalnya sejarah Penderghast versi Garda Liberasi—pasukan yang dilabeli pemberontak setelah memutuskan berpisah dari Jenderal Deus delapan tahun lalu. Ia tak akan pernah menemukan apa pun yang berkaitan dengan Garda Liberasi di internet atau perpustakaan karena semuanya telah diblokir pemerintah. Ya, kecuali menggunakan mesin telusur bernama Charon yang terpasang di komputer kakaknya.

"Er... anu... anu..." Sando mengancingkan kancing pertama jaketnya dengan gugup dan menatap Star lamat. "Janji jangan tertawa, ya!" pesannya singkat.

Star mengangguk dan meletakkan tangan kanan ke dadanya. "Terpujilah Ibu Pertiwi Penderghast!"

"Dan...." desak Theon.

Star memutar bola matanya. Ia enggan melanjutkannya.

"Terpujilah Jenderal Deus, Sang Penyelamat dan Pengayom Bangsa Penderghast." Kaku lidah Star meliuk, mengucapkan sumpah dan salam wajib Bangsa Penderghast yang tak pernah disukainya.

Sando menebar senyum selagi merogoh punggungnya dan langsung mengangsurkan ke Star. Sesaat ketika Star membuka gulungan sketsa, ia membelakakan matanya. Bukan karena terpukau melihat hasil guratan pensil Sando—yang ia pikir diperuntukkan baginya. Ia terpukau karena gadis yang digambar Sando adalah Myra—anggota Skuad Mawar Merah—salah satu geng populer di SMA Tricity.

Star menatap sketsa kemudian wajah Sando yang tersipu malu. Sejak kapan Sando rela menggambar Myra? Mereka berdua, kan, suka menertawakan anggota Skuad Mawar Merah karena hanya terdiri dari sekumpulan gadis cantik dengan otak bebal.

Star tersentak. Seketika ia ingat apa yang didengarnya diam-diam di kamar mandi perempuan. Jadi... apa yang didengarnya bukan kabar burung.

Star berdeham menyembunyikan kekecewaan yang menggerogoti hatinya. "Mengapa kau melukis Myra? Kau naksir padanya?"

"Iya. Ternyata dia gadis yang baik, Star. Lukisan ini hadiah untuknya."

"Kalian berkencan? Sejak kapan?"

Sando melirik Star yang tetap memasang wajah datar. "Er... sejak minggu lalu."

Apa? Minggu lalu? Bisa-bisanya Sando merahasiakan ini darinya? Mereka, kan, sahabat baik. Star menggulung sketsa dengan penuh gaya. Kemudian dengan sekuat tenaga, ia melemparnya melalui jendela yang terbuka.

"Star!" Lengkingan Sando merobek sunyinya pagi.

Ada bunyi debuk pelan dan gerutuan beberapa siswa setelah sketsa melayang keluar. Star dan Sando langsung melongok ke bawah jendela. Menyaksikan gulungan sketsa yang tergeletak pasrah di kaki gerombolan anak kelas 3. Salah satu anak memungut sebelum diikuti gelak tawa meremehkan dari bawah. Tentu semua tahu kalau sketsa itu dibuat Sando karena ia selalu membubuhkan namanya di sudut atas kertas.

"Kau selalu membuat segalanya kacau, Star," ujar Sando parau. Tubuhnya bergetar dan semburat merah naik ke hidungnya yang berbintik-bintik.

Star melipat lengan di dadanya dan memonyongkan bibirnya. "Kenapa aku yang salah? Kau yang salah!"

"Apa salahku, heh?"

"Apa kau lupa hari ini Hari Penamaanku?"

Sando menggeleng. Ia merogoh saku celana abu-abunya dan melemparkan sesuatu. Star gesit menghindar, tetapi tertegun saat melihat kalung emas berbandul batu mirah tergeletak di kakinya. Star berjongkok, memungutnya dengan perasaan bersalah. Pasti Sando diam-diam mengambil batu mirah dari toko perhiasan orangtuanya.

"Mulai sekarang, jangan panggil aku sahabatmu lagi," kata Sando dingin. "Selamat Hari Penamaan Ke-17. Aku harap di usiamu ini, kau tidak gegabah. Mereka tahu. Mereka melihat semuanya."

"Hei tunggu dulu, Sando." Star meraih lengan Sando hanya untuk ditepis keras. "Dengarkan aku―"

Star tak sempat melanjutkan kalimatnya karena sudut matanya menangkap bayangan Profesor Nero masuk ke dalam kelas dengan menenteng setumpuk buku. Star langsung mengambil langkah seribu menuju mejanya. Enggan dihukum Profesor Nero hanya karena masih berdiri. Detensi membersihkan lapangan basket dua hari lalu cukup membuat Star tak ingin berurusan lagi dengan profesor berkacamata bulan separo ini.

Untunglah Profesor Nero sedang batuk keras sehingga Star luput dari sasaran menjawab pertanyaannya. Hal ini tentunya dimanfaatkan Star untuk melempar gulungan permintaan maaf pada Sando yang tak digubrisnya sama sekali. Saat Profesor Nero berbalik dan menuliskan sesuatu, Sando mengembalikan lima gulung kertas melalui Kiara yang posisisnya duduk di tengah-tengah mereka berdua.

Sial! Rutuk Star.

Ini Hari Penamaan paling terburuk yang pernah dialaminya.  

The CubeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang