Bab 1. Saat Awan Mendung

32 6 4
                                    

Kepulan awan menyatu menjadi gundukan kegelapan.

Di keramaian kota yang tak ada hentinya. Semua orang hilir mudik melakukan aktivitas dan kesibukannya masing-masing. Tapi pernah kah kalian berpikir atau tidak merasakan. Di dalam keramaian kalian merasa kesepian, seasik dan seramai apapun lingkungan kalian. Kalian merasa terpojokan oleh rasa sendiri.

Lalu canda tawa mereka, seakan kesakitan yang mengkuliti kalian hidup-hidup. Ketidak sukaan kalian, tak bisa kalian gambarkan kepada mereka yang tertawa lepas di hadapan kalian.

Itulah yang di rasakan Sari Ayu Kumala Ningsih. Terserah kalian mau panggil nama apa untuk dia. Apapun itu, mungkin tak akan berpengaruh berat untuknya. Karna, ia selalu merasa kesunyian yang menyelimuti kehidupannya.

Ia tampak terduduk lesu di sebuah halte, map coklat berada di pangkuannya yang mengenakan rok hitam selutut. Bibirnya meniup udara keatas, agar poninya tak menghalangi mata yang terus tertusuk. Pandangannya menatap langit yang gelap.

"Pasti akan turun hujan."batinnya menerka. Tangannya mengusap peluh yang mengalir di pelipis mata. Hari ini sungguh hari yang berat untuknya.

Sejak bangun tidur, ia harus menyiapkan keperluan anak-anak lain yang tinggal di rumah singgah. Dari menyiapkan sarapan, membantu mereka berbenah untuk berangkat sekolah, dan harus membersihkan rumah singgah pula. Karna hanya ia lah satu-satunya orang yang sudah dewasa yang masih tinggal disana. Satu-satu, teman sebayanya pergi, mencari kehidupan yang lebih layak. Tapi bukan berarti, hidup di rumah singgah termasuk tak layak. Sungguh itu sangat layak sekali bagi mereka, tetapi kebanyakan temannya yang telah pergi tidak ingin terus-terusan menunggu takdir yang mengubahnya dan terus berkegantungan dengan donatur yang menghidupi mereka. Bahkan saat ini donatur satu persatu mulai lepas tangan karna pendiri rumah singgah yang tak lagi mengurusi rumah singgah itu karna beralasan fokus dengan istri dan anak-anak.

Umur Sari sekarang 23 tahun, dan ia harus mengadu nasib saat ini juga untuk masa depan anak-anak singgah lainnya.

Tetapi izazah SMA saja tak cukup untuk nya bekerja di kantoran. Saat baru bertanya lowongan pekerjaan saja pada satpam, dirinya langsung terusir. Padahal susah payah ia menepikan rasa malunya saat ini untuk bekerja.

Olif teman satu-satunya sekarang telah pergi bersama suaminya dan tinggal di Tarakan. Walaupun rasa berat Sari melepasnya, namun ia harus ikhlas demi kebahagiaan sahabatnya.

Ada rasa iri di hatinya, mengapa nasib nya tak sebagus sahabatnya, olif. Menjadi wanita karier dan cantik, mendapatkan suami yang sangat mencintainya, dan Baby mungil yang baru lahir beberapa bulan yang lalu, pelengkap kebahagian mereka.

Tak terasa rintikan hujan turun, banyak orang yang langsung menepi dan singgah di halte yang Sari duduki. Bahkan sekarang kursi tunggu telah sempit karna banyak yang berebut untuk duduk, agar tak lelah saat mereka menunggu hujan yang sekarang semakin deras.

Sari merapatkan duduknya pada besi pojokan, agar tak bersentuhan dengan lelaki gembul yang mencoba terus dekat dengan Sari. Ia mulai gelisha, matanya menatap seorang nenek yang berdiri tak jauh darinya.

Namun untuk mengatakan agar nenek itu duduk saja, rasanya kelu, karna malu. Ia menggeleng, tak boleh seperti ini bisa-bisa dirinya habis oleh pria gembul itu. Tapi untuk berdiri dari duduk saja ia malu. Sari menundukan pandangan, perasaannya cemas dan bimbang. Ia ingin berdiri, tapi malu karna banyak orang di sana yang menunggu hujan reda.

SariAwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang