Ospek

3.7K 165 18
                                    

“Bun, Maya berangkat ya” kataku yang sudah berada di ambang pintu bersama ayah.
Aku mau berangkat ke tempat kosanku. Disana sudah ada Asma yang stand by di tempat kos. Sebenarnya aku sudah bilang Asma biar bisa bareng aku naik mobil, tapi dia nggak mau, katanya mau berangkat duluan. Kosanku tidak terlalu jauh dari kampus, meskipun jalan kaki juga bisa. Tapi pasti kakiku akan pegal dan tidak akan ada yang memijitku. Untungnya juga Asma tetap membawa motor scoopy kesayangannya jadi aku bisa nebeng, apalagi satu jurusan.
“Iya, hati-hati” aku mencium tangan bunda, dan bunda membalasnya dengan mencium keningku. Tak lupa Reno si adik kecilku yang sebelum aku pergi sudak aku cium berulang kali, sampai dia ngadu ke bunda.
“Daaaah, bunda” kataku seraya melambaikan tangan dan berjalan menuju mobil yang sudah siap melaju. Bunda tersenyum dan membalsanya dengan lambaian tangan juga.
Akupun berangkat ke tempat kosan di temani ayah. Betul, ayah memang selalu ingin memastikan tentang apa yang aku lakukan, termasuk tempat kosku ini. Aku tidak menyalahkan ayah, karena ku tahu semua yang ayah lakukan adalah untuk kebaikanku dan ayah adalah ayah yang terbaik sedunia. Meskipun terkadang suka marah hingga membuat telingaku panas. Aku sadar ayah marah karena aku yang salah. Maafkan anakmu ini yah. Sama sekali aku tidak merasa terkekang olehnya, malah aku merasa ayah sangat menyayangiku dan bertanggung jawab atas anaknya. Jika kalian tidak setuju, maka aku tidak peduli.
###
Taraaaaaaa, aku sudah sampai di tempat kosan. Menurutku dari depan sudah lumayan bagus. Aku yakin di dalamnya juga begitu. Sebuah pagar besi  besar berwarna hitam menutupi rumah kosan itu menyambut kedatanganku. Tapi dimana Asma, oh mungkin dia ada di dalam. Setelah turun dari mobil dan mengambil koper di bagasi aku menghampiri ayah.
“May, mana temenmu?” tanya ayah
“Mungkin ada didalem yah”
“Yau udah kamu yang betah disini, kalau ada apa-apa telepon ayah”
“Siap yah” kataku dengan hormat
“Yang benar kuliahnya” kata ayah lagi
“Okay pak polisi” ayah senyum, aku juga
“Mana nomernya Doni?”
“Heh, nomer apa yah?” jawabku kaget
“Ya ponsellah, masak nomer sepatu” kata ayah ngelawak, aku kaget tapi selanjutnya tersenyum geli.
“Kali aja mau dibelikan sepatu gratis” kataku. “Buat apa yah ?” sebenarnya aku bingung kenapa tiba-tiba ayah minta nomer hpnya Doni.
“Ayah mau bilang ke Doni, suruh jagain kamu” kata ayah yang mulai serius karena terlihat dari raut wajahnya.
“He he he, ayah bisa aja, nggak usah yah” jawabku sambil tersenyum. Aku takut ayah nanti bakalan marahin Doni.
“Nggak, ayah serius, mana nomernya!” pinta ayah sekali lagi seraya mengeluarkan ponsel yang tak kalah bagusnya dengan anak muda.
“Serius yah?”
“Iya, cepetan mana!” kata ayah yang sudah siap untuk mengetik.
“082316******” kataku seraya membacakan nomer milik Doni.
“Meskipun beda kampus, sama Doni kan dekat” kata ayah lagi
“Jangan yah, nanti ngerepotin”
“Ke pacar sendiri kok ngerepotin”
“Ayah janji kan, nggak bakalan marahin Doni?” kataku mengingatkan
“Ayah bakalan marah, kalau Doni nggak jagain kamu” kata ayah lagi sambil tersenyum, aku juga.
“Bukan gitu yah, meskipun kampus Doni sama Maya deket kan nggak mungkin selalu mengawasi?”
“Sepintar-pintarnya dialah”
“Kalau Doni nggak mau?”
“Ayah masukin penjara” kata ayah dengan muka serius. Tapi sebenarnya ayah becanda.
“Ha ha ha “ aku ketawa, atah senyum
“Ya udah ayah pamit ya, inget pesan ayah”
“Beres pak polisi” kataku dengan mengangkat jempol
Akhirnya ayah masuk mobil kembali dan pergi meninggalkanku sendirian. Meninggalkan asap mobil yang bertebaran dimakan udara. Sebelum masuk ke kos aku menghubungi Asma karena aku nggak tahu sebelah mana kamar yang akan ditempati, tak lama kemudian dia muncul dengan pakaian kaos pendek yang dimasukin ke dalam celana aladin dan rambutnya yang pendek di biarkan terurai.
“Sendirian?” tanya Asma yang membuka gerbang kosan
“Tadi bareng ayah, tapi sudah pulang”
“Ya udah yuk masuk” kata Asma meraih koper yang aku bawa
“Iya, makasih”
Sesekali aku menatap beberapa sudut tempat ini. Ternyata sesuai dugaanku, tempatnya bagus. Ada empat kamar dibawah, tapi sepertinya di lantai atas juga ada kamar. Aku kurang tahu karena belum memastikan. Satu kamar ada dua tempat tidur mirip di pesantren. Aku tahu sebab sekarang sudah berada dalam ke kamar. Satu meja belajar dan lemari kayu yang tidak terlalu besar dengan dua pintu, kemudian ada kamar mandinya juga. Ini sangat cocok buatku. Maaf, aku tidak bisa mengatakan kamar ini ukuran berapa, karena belum sempat menanyakan ke ibu kosnya. Tapi yang pasti lebih luas dari kamar pesantren dan juga kamarku.
Setelah berbenah memasukkan baju-baju kedalam lemari dan peralatan lainnya dengan dibantu Asma semuanya sudah selesai tidak membutuhkan waktu lama. Besok siap-siap menemui kampus baru, karena ada pengarahan untuk OSPEK.
Aku tidak mau terlalu memikirkan tentang apa yang akan dilakukan kakak-kakak nanti. Aku hanya berpikir sekarang posisiku tidak terlalu jauh dengan Doni, jika aku mau sudah dari tadi aku menghampirinya dan bertemu abi umi alias camer. Kalian harus tahu juga, semakin hari rasanya aku sangat menyayangi Doni. Meskipun aku tidak pernah bertemu Doni setidaknya dia selalu berusaha mneghubungiku. Pernah waktu di pesantren aku ingin bertemu dengan Doni, pada saat itu aku sungguh merindukannya. Kebetulan di lantai atas sebelah utara ada tempat jemuran yang bisa melihat semua santri putra. Aku mengajak Sinta dengan paksa. Setelah menaiki batu bata sisa bangunan dengan maksud agar sampai ke ujung tembok, alhasil tatanan batu bata yang sudah tersusun rapi roboh hingga membuatku jatuh terjerembab ke bawah. Sedangkan Sinta tertawa melihatku. Itu adalah perbuatanku yang paling ekstrim dan aku sudah kapok untuk tidak melakukannya lagi. semoga tidak ada yang tahu dengan aksiku itu.
Kata-kata ayah tadi sungguh membuatku terkejut tapi senang juga, karena aku yakin nanti Doni dan ayah akan akrab. Aku harap begitu.
###
Doni menelpon, ah aku sangat senang rasanya.
“Assalaamualaikum” sapa Doni
“Waalaikumussalaam”
“Ayah tadi nelpon”
“Ayah, ayah siapa?” tanyaku nggak ngerti
“Amer”
“Siapa?” tanyaku lagi
“Ayah mertua”
“Hah! Maksud kamu ayahku?”
“Iya”
“Yang benar, ayah marah nggak, pasti marah. Kamu dimarahin ya, dimarahin gimana?” tanyaku cepat
“Stop Maya, sampai kapan kamu bicara” kata Doni yang berusaha menghentikanku bicaraku tanpa henti.
“He he he, sorry sorry aku khawatir. Emang ayah bilang apa?”
“Suruh jagain kamu”
“Terus?”
“Yaaaa, aku nolak lah” jangan kaget, Doni cuma gurau.
“Apa! sudah ku duga” kataku berdrama. Padahal mau ngelucu. Entah Doni ketawa apa nggak.
“Ya nggaklah mana mungkin Doni nolak jagain Maya” katanya lagi membenarkan kata-katanya.
“He he he”
“Udah nyampek ya?”
“Udah nih, lagi tidur-tiduran”
“Bareng siap disana?”
“Asma”
“Pengarang novel itu?” yang dimaksud Doni itu Asma Nadi pengarang novel best seller.
“Bukaaaaan” jawabku manja.
“Oh kirain, sekalian aku mau minta tanda tangan”
“Ih bukan” jawabku pura-pura kesal
“Bilang ke Asma suruh jagain Maya”
“He he he, bilang sendiri” kataku sambil menahan ketawa. “Asmaaa Doni mau ngomong” teriakku seraya menjauhkan hp sebentar dan memberikannya pada Asma. Asma juga sedang asyik dengan ponselnya.
Kemudian Asma berbicara pada Doni. Asma ketawa, entah apa yang Doni bicarakan padanya. Mudah-mudahan itu tentang kebaikanku. Mungkin sekitar tiga menit Asma memberikan hp ku lagi. Selanjutnya Doni berbicara padaku panjang lebar, sepangjang rel kereta apa dan selebar lautan.
Setelah menelpon Doni aku langsung istirahat untuk persiapan besok. Begitupun Asma dia juga tidur menikmati mimpinya, mungkin bersama Randy.
###
Dengan pakaian yang sangat aneh. Topi pak tani yang berbentuk kerucut yang sudah ditulis nama kelompoknya sudah siap di kepalaku. Kresek merah besar di buat rompi juga sudah aku kenakan, kemudian tas dari karung berisi perlengkapan alat tulis dan keperluan lainnya. Kemudian selembar kerats buffalo dengan tulisan nama peserta OSPEK menggunakan spidol permanen. Benar-benar menyiksaku, sampai-samapi saat menaiki motor Asma aku keawlahan. Kalian tahu ini butuh perjuangan keras untuk mencari bahan-bahan itu. Sungguh jika aku menjadi BEM nanti maka lihatlah pembalasanku.
Sekarang aku sudah ada di kampus bersama Asma tentunya. Banyak mahasiswa baru yang juga berpakaian sama denganku, jika di lihat dari atas mungkin sangat bagus warnanya. Jam menunjukkan pukul setengah delapan. OSPEK akan dimulai sekitar pukul delapan pagi. Aku dan Asma berusaha untuk tidak telat karena ini pertama kalinya OSPEK, jika tidak maka kita akan dikenakan hukuman. Aku harap kalian mendoakanku agar OSPEK ini selesai dan berjalan lancar.
“Cari siapa sih Ma?” tanyaku pada Asma yang sedari tadi tolah-toleh nggak jelas.
“Cari Randy” katanya katanya sambil tetap melihat ke kanan kekiri ke depan dan juga ke belakang
“Apa!” aku kaget
“Iya Randy” kata Asma meyakinkan
“Jadi aku bener dong kalian selama ini ada sesuatu” kataku tersenyum menatap mata Asma.
“Ih, apaan sih. Nggaklah!” sanggahnya cepat. Tapi aku lihat dibalik bola matanya dia sedang berbohong aku bisa membacanya.
“Terus ngapain cari Randy?” godaku lagi
“Ada kepentingan” sangkal Asma
“Udah ngaku aja” godaku lagi sambil menyenggol pundaknya
“Ya ampun Maya, mana mungkin aku pacaran sama dia”
“Tapi suatu saat kamu bakalan pacaran sama dia”
“Eh udah bunyi bel” kata Asma. Mungkin dia berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. “Yuk masuk!” katanya dengan menarik tanganku.
Semua mahasiswa sudah berkumpul di lapangan. Sepertinya mereka sudah siap dengan OSPEK hari ini. terik matahari mulai menusuk-nusuk kulitku meskipun tertutup lengan panajang.
Sedangkan aku dilanda ketakutan. Takut disuruh ini itulah sama kakak BEM. Semua berbaris mengikuti kelompoknya. Suasana mulai ramai karena mereka berebutan tempat. Aku bersyukur karena satu kelompok bersama Asma. Barisan sudah rapi. Aku berada di barisan ke empat dari depan setelah Asma. Kakak BEM mulai memperkenalkan mereka satu-satu. Kemudian disusul dengan ramah temah perkenalan semua dosen yang ada di kampus ini. Sebenarnya kalau acara yang beginian aku bosan, boan sekali. Mataku mengantuk!
Setelah itu, kini giliran kakak BEM yang mengendalikan semuanya. Setiap kelompok dipegang oleh satu BEM. Dan kelompokku dipegang oleh kak Andi. Biar ku ceritakan bagaimana ciri-ciri kak Andi. Saat ini dia pakai kemeja dangan almamater warna kuning itu pasti karena merupakan almammater kebanggan UI. Rambutnya agak klimis-klimis gimana gitu. Terus pakai celana jens warna hitam. Buku catatan kecil ada di tangan kanannya. Dan inilah inti dari yang aku ceritakan, kak Andi adalah salah satu BEM pria yang menurutku paling tampan dari semuanya. Kalian tahu Jefry Nichol, ya macan itulah. Baiklah, aku tidak bisa menceritakan semuanya tentang kak Andi karena masih baru kenal. Jika aku menjelaskan secara rinci takutnya ada yang salah paham, dilihat dari mukanya sih dia tipe orang yang tidak suka senyum. Sedari tadi tak ada hiasan sunggingan senyum di bibirnya.
“Untuk kelompok saya mari kita berkumpul di kelas Pertanian” ucap kak Andi dengan suara tegasnya.
Semua calon mahasiswa berkumpul mengikuti perintahnya. Aku berjalan disamping Asma. Setelah sampai di kelas, kak Andi sedikit memberikan arahan tentang apa yang akan dilakukan nanti. Tak sedikit dari kami mendengarkan penjelasan dari kak Andi. Kalau aku sih kadang dengerin, kadang nggak. Jujur! Aku paling nggak suka kalau kegiatan seperti ini.
Setelah semuanya selesai dan berakhir pukul lima sore semua calon mahasiswa termasuk aku dan Asma meninggalkan kampus. Sungguh hari ini sangat melelahkan bagiku. OSPEK akan berlangsung selama tiga hari. Aku sudah tidak sabar untuk segera melewatinya.
Asma sudah siap dengan motor scoopy miliknya dan aku juga siap di bonceng olehnya. Setelah sampai di depan gerbang ada seseorang yang memanggilku. Awalnya aku tidak menghiraukan, karena aku tahu di dunia ini yang namanya Maya nggak cuma ada satu. Tapi lama-kelamaan suara deru motor dan panggilannya semakin jelas di telinga. Dengan menoleh sedikit berusaha mencari siapa yang menanggil ternyata itu Randy dan aku mengenalnya setelah ia membuka sedikt kaca helm yang menutupi wajahnya. Oh Tuhan dia lagi.
“Asma berhenti, ada Randy!” kataku dengan menepuk pundaknya
“Apa?” kata Asma yang sepertinya tidak mnedengarkan kata-kataku, mungkin karena pakai helm.
“Ada Randy” kataku agak keras
“Mana?” tanya Asma yang mneghentikan motornya.
“Itu dibelakang” sahutku dengan menunjuk ke arahnya. Kemudian Randy menghampiri kami.
“Eh, kemana aja lo, gue cariin” kata Asma dengan kesal
“Ciyeeeee, perhatian banget” goda Randy
“Nggak usah GR!” timpal Asma sinis
“Hai Maya” sapa Randy senyum padaku
“Hai” sahutku dengan senyuman juga. Entah apa dibalik senyuman Randy itu. Kenapa dia selalu berusaha untuk mendekatiku, apa aku perlu kasih tahu kalau aku sudah punya Doni. Tapi bukannya dia sudah tahu.
“Ngekos dimana?”
“Dekat sini” jawabku
“Asma jangan marah dong” kata Randy. Sedangkan Asma tidak meresponnya.
Sebenarnya aku nggak tahu maksud pembicaraan mereka. Tadi Asma bilang ada kepentingan dengan Randy, sekarang Randy bilang jangan marah mungkin karena itu kalik. Stop Maya, kamu tidak perlu ikut campur dengan urusan mereka. Biarlah Asma dan Randy beradaptasi dulu. Kamu hanya tunggu kabar bahwa mereka nantinya akan jadian.
“Yuk May pulang, aku capek” kata Asma dengan wajah kesal dan mulai  menghidupkan staternya kembali.
Kamipun meningglkan Randy yang masih berada di atas motor ninjanya. Hari semakin gelap sebentar lagi kumandang azan magrib akan segera terdengar diseluruh penjuru Depok. Doni kamu lagi apa? aku baru pulang dan rasanya sangat melelahkan untuk hari ini.
###
Setelah sampai di kos, aku langsung mandi, sholat dan istirahat. Ku jatuhkan tubuhku ke kasur hingga terpental beberapa kali. Kemudian aku terlelap dan bangun hingga pukul setengah sembilan. Sebenarnya kata orang dulu, kalau tidur setelahnya magrib itu nggak boleh, nggak tahu kenapa alasannya. Tapi karena aku capek, aku lebih memilih tidur untuk menghilangkan kepenatanku.
Aku lihat Asma masih tidur dengan pulasnya, dengkurannya sampai terdengar ke bawah. Aku memilih tempat tidur di bawah sedangkan Asma dia tas. Karena dulu di pesantren sudah pernah, dan itu membuatku tidak nyaman karena masih harus menaiki tangga.
Aku bangun dan segera melaksanakn sholat isya’, setelah itu berbenah sebentar untuk menyiapkan keperluan besok. Yups, sudah selesai. perutku mulai berkaraoke. Aku membangunkan Asma meskipun sebenarnya nggak tega sih.
“Asma, Asma bangun, kamu lapar nggak?” tanyaku entah dia mendengarkan atau tidak. Tapi matanya mulai dikueck beberapa kali.
“Iya” katanya dengan suara parau
“Beli makanan yuk” ajakku
“Iya bentar, aku cuci muka dulu” katanya yang bergegas ke kamar mandi.
Sepeda motor sudah dikeluarkan, tapi sebelum keluar harus ijin dulu ke ibu kos. Sebenarnya ada satu kamar yang tidak ditempati di kosan ini, hingga membuatku merinding sendiri apalagi tempatnya berada di pojok sebelah kamarku dan kebetulan juga dekat dengan dapur.
Motorpun melaju dengan santai. Hawa dingin menusuk setiap orang yang keluar dari rumahnya, bahkan seperti menyuruh mereka untuk memakai jaket, tapi kalau punya. Kalau nggak mungkin mereka lebih memilih berdiam diri di rumah.
Akupun sama tengah memakai jaket tebal dengan bulu-bulu yang menghiasi bagian yang menutup kepala. Sedangkan Asma hanya sekedar memakai sweeter dan warnanya bagus, aku suka. Sekarang bagianku yang menyetir.
Tempat orang berjualan tidak terlalu jauh dari tempat kosanku. Terlihat disana pedagang kaki lima dengan berbagai jenis makanan yang mereka jual berada di pinggir jalan.
“Mau makan apa?” tanyaku pada Asma
“Eeee, nasi goreng aja kalik ya” katanya
“Okay”
Motorku berbelok pada abang penjual nasi goreng yang sedang asyik menggerakkan spatulanya ke depan ke belakang. Ada dua manusia yang megantri dan aku yang ketiga.
“Bang, nasi gorengnya dua ya pedas” kataku senyum seraya mengangkat dua jari. Aku duduk di kursi yang sudah disedikan bersama Asma
“Ya neng bentar” jawab abang itu dengan melihat ke arahku, karena tadi sempat fokus pada nasi yang digoreng.
Sekitar dua puluh mneit menunggu akhirnya pesanku sudah jadi.
“Jadi berapa bang?” tanyaku
“30 ribu neng” akupun mengeluarkan uang dari saku. “Makasih ya bang”
“Iya sama-sama” sahut abang tersenyum.
Akupun kembali ke kosan dan makan bersama Asma di dalam kamar. Televisi yang ada di luar kamar sudah mati padahal sebelum aku keluar masih nyala, sekitar ada 2 sampai 3 orang yang melihat. Mungkin mereka sudah tidur karena ini hampir jam sepuluh malam. Setelah makan aku kembali tidur, menunggu ayam berkokok menyambut fajar di pagi hari. Aku menarik selimut menutupi tubuhku, dan mata aku pejamkan. Aku sudah kenyang, sekarang mau tidur.
###
Alhamdulillah matahari masih terbit dari sebelah timur, warnanya masih kuning. Aku sudah mandi dan sarapan mie instan bersama Asma. Motor sudah Asma bersihkan dengan ganebo dan mengkilat.
Aku dan Asma bersiap siap ke kampus lagi untuk OSPEK yang kedua.
“Yuk May berangkat” ajak Asma
“Okay”
Akupun bergegas keluar membiarkan Asma mengeluarkan sepeda motornya.
“Mau berangkat?” tanya salah satu mbak yang mungkin tinggal di kamar kos paling atas.
“Iya mbak” sahutku sopan.
“Hati-hati” katanya.
“Iya mbak, makasih”
“Siapa namanya?” tanya mbak itu. aku tidak tahu siapa namanya agar terlihat sopan aku panggil aja dia mbak.
“Maya mbak”
“Saya Mira, kamar atas” katanya sambil menunjuka kamar dari jauh. aku hanya tersenyum. “Kuliah di UI?” tanya mbak Mira lagi.
“Iya mbak”
“Mbak juga, semester tujuh”
“Oh hampir wisuda ya mbak?” kataku mulai akrab
“Proses skripsi” katanya senyum, sepertinya dia baik. Buktinya selalu senyum dan aku baru sadar kalau ada lesung pipi mirip Sinta.
“Yuk May naik” kata Asma yang sudah berada disampingku dengan sepeda motornya.
“Iya, mari mbak” kataku berpamitan. Mbak Mira hanya senyum dan menganggukkan kepalanya.
Motor Asma melaju dengan kecepatan 30 km/jam. Kemudian berganti kecepatan menjadi 45 km/jam. Dia menyetir sangat lihai. Hinggak akhirnya kami sampai di tempat tujuan.
Ada pak satpam yang menyambut kedatanganku bersama Asma serta pintu gerbang yang sangat panjang mengurung kampus ini. Mahasiswa dengan pakaian sama hilir mudik memenuhi lapangan.
Bel berbunyi dan semua mahasiswa berkumpul serta berbaris seperti urutan kelompok kemarin. Kemudian diikuti oleh ketua pemandu masing-masing kelompok. Kak Andi menyuruh kami masuk di kelas yang sama yaitu kelas pertanian. Aku duduk bersama Asma di bangku depan sebelah kanan, tepat berhadapan dengan kak Andi sekarang.
Untuk sedikit pemanasan, kak Andi memberikan suatu permainan. Mungkin menurut kalian ini seperti MOS waktu SMA atau SMP ada permainan segalan dan permainan ini tidak jauh berbeda memang.
“Minta kertas satu” katanya padaku. Gaya bahasanya sedikt kasar menurutku, bukankah kalau meminta harus dengan sopan, untung dia BEM. Dari sini aku mulai sedikit menilai kepribadian tentangnya. Aku langsung memasukkan tanganku ke dalam karung untuk mengambil kertas dan memberikan kepadanya. Bukan terimakasih yang dia ucapkan tapi senyuman sinis yang dia tujukan.
Kemudian dia meremas-remas kertas itu hingga berbentuk lingkarang yang tidak rapi.
“Permainan apa kak?” tanya salah satu cowok yang berambut kriting di kursi paling pojok.
“Dengarkan semuanya, bola ini harus digilirkan dari sini” dia menunjuk ke arahku. Aku sangat kaget dan sedikit membangunkan punggungku hingga tegak. “Kemudian sambil menyanyi lagu kebanggaan kampus, setelah itu saya yang akan menghentikan nyanyian dengan menepuk tangan. Bola yang berhenti disitu, maka dia akan mendapat pertanyaan, jika tidak bisa menjawab, akan mendapat hukuman” jelasnya panjang lebar seperti kereta api.
Almamaterku setia berjasa
Universitas Indonesia
Kami wargamu
Bertekad bersatu
Kami semua bernyanyi lagu kebanggan kampus yang sudah diajarkan kemarin oleh kakak-kakak. Kertas berbentuk bola itu terus di gilirkan dengan cepat oleh kami dengan maksud agar bola tidak berhenti pada kami terutama aku dan Asma.Bunyi tepukan tangan yang sangat nyaring terdengar dan itu pertanda nyaian selasai. Bola berhenti pada cowok berkaca mata yang duduk di belakangku, dia macam anak yang pintar buktinya kacamata yang ia pakai tebal.
“Okay, pertanyaannya gampang” kata kak Andi memulai. “Kamu islam kan?” tanya kak Andi yang mendekat mengahmpiri cowok itu. Aku yang mendengarkan pertanyaan langsung mengkerutkan dahi, apa maksudnya sih nanya gitu. Batinku. Sedikit aku menoleh ke belakang dan melihat ekspresi yang dilontarkan cowok berkaca mata. Dia terlihhat sedikit gugup pemirsa.
“Iya” jawbanya
“Jika kamu islam pasti kamu hafal ada berapa rukun iman, coba sebutkan!” kata kak Andi. Semua langsung kaget dan suasana mulai bising. Mereka saling bertanya antar teman yang lain karena takut mnedapatkan pertanyaan yang sama. Sedangkan aku biasa aja, untung aja di pesantren sempat menghalafalkan. Gumamku senang.
“Aduh May, gue nggak bisa kalau soal kayak gitu” kata Asma berbisik ketakutan.
“Tenang nanti aku kasih tahu” jawabku enteng.
Aku heran kenapa kak Andi menanyakan hal seperti itu, apakah tidak ada pertanyaan yang lain. Yang menyangkut jurusan yang kini kami pilih. Ini nggak, malah pertanyaan agama yang dia lontarkan. Kita sadar dan bicara seperti itu, karena kita bukan jurusan agama. Semua anak terlihat tegang.
“Semuanya tenang!” katanya dengan lantang, semua langsung diam seketika, aku pikir karena sifat kak Andi seperti itu semua jadi takut, kecuali ada beberapa cowok yang cengengesan. “Ayo sebutkan!” perintah kak Andi yang melihat cowok itu tengah berpikir, aku harap dia hapal agar tidak kena hukuman.
Aku lihat cowok itu mulai mengambil napas dan menghembuskan perlahan. Sangat jelas kalau sekaang dia terlihat gugup.
“1. Percaya pada Allah
2. percaya pada malaikat
3. percaya pada kitab
4. percaya pada Rosul
5. percaya pada hari kiamat
6. percaya qodo’ dan qodar”
Akhirnya dia menjawab semuanya dengan benar meskipun sedikit terbata-bata tadi, aku tahu karena aku menyimak dalam hati. Kemudian lagu dilanjutkan begitupun dengan bola kertas itu mengikuti lagu yan dinyanyikan.
Kami amalkantridharmamu
Dan mengabdi Tuhan
Dan mengabdi bangsa
Dan negara Indonesia
Bola pun bergulir ke depan lagi mulai memasuki tempat dudukku. Alamak! Gara-gara Asma menjatukan bola kertas itu kemudian melempar padaku, kak Andipun menghentikan nyanyiannya dengan menepuk tangan. Aku langsung mati kutu seketika. Tangan gemetar dan kedinginan, enath kenapa aku jadi takut gitu. Padahal ini bukan Maya sebenarnya. Aku berpikir dia sengaja menghentikan nyanyian itu agar diberi pertanyaan dan tidak bisa menjawab. Itu sangat terlihat diwajahnya.
“Okay dengarkan pertanyaan saya” kata kak Andi bersiap-siap. aku berusaha tenang agar tidak nampak sedang gerogi.
“Kalau bisa pertanyaannya jangan sulit kak” tawarku dengan berani, tapi malu sebenarnya.
“Begini, pada tahun berapa Thomas Alfa Edison meninggal dunia” katanya. Yang tadinya aku berharap mendapat pertanyaan gampang, ini malah dikasih pertanyaan yang nyeleneh. Mana aku tahu ilmuwan itu meninggal tahun berapa, kan aku bukan anaknya. Batinku. Aku hanya diam, seolah-olah nampak berpikir, padahal tidak tahu mau jawab apa. Ingin rasanya aku katakan itu saja, tapi takut. “Ayo jawab!” tutur kak Andi lagi yang telah menikmati kediamanku. Suasana mulai bising kembali, mereka bertanya satu sama lain seakan-akan mereka sudah kenal akrab. Sedangkan aku, aku masih diam. Asma tidak bergeming.
“Eeeee,...mana saya tahu kak Thomas meninggal tahun berapa, saya bukan istrinya” jawbaku pelan sambil melihat bola matanya yang juga menatapku.
Sontak semua yang ada di kelas tertawa mendengarkan jawabanku.
“Diam!” bentak kak Andi, semua langsung diam. Sifat aslinya semakin kelihatan.
“Karena kamu tidak bisa menjawab, maka saya akan menghukum. Diluar masih banyak sampah berserakan, sekarang kamu pungut kemudian kamu buang ke tong sampah” katanya. aku yang mnednegarkan perintahnya rasanya mau mual dihadapan Andi itu. mentang-mentang BEM, sudah kuduga ini akan terjadi. Aduh, Tuhan siapa sih dia, seenaknya nyuruh-nyuruh! Sabar Maya tinggal satu hari lagi. ucap batinku seraya mengelus dadaku bersamaan dengan hembusan nafas. “Ayo cepat!” katanya lagi.
“Udah sana” kata Asma pelan sembari memegang lenganku.
Dengan sangat terpaksa aku menuruti perintah Andi dengan langkah gontai. Semua menatapku, entah mereka kasihan atau malah mengejek aku tidak peduli. 
Sekarang aku berada dihalaman kampus, untung aja sampah tidak terlalu banyak yang berserakan. Mungkin sudah dibersihkan. Hanya daun-daun kering yang berguguran yang ditanam disekitar kampus. Ku pungut satu persatu daun itu sampai pinggangku rasanya sakit. Di halaman kampus ada beberapa kelompok yang lebih memilih tempat disana. Saat aku mau mengambil satu daun yang kering tiba-tiba ada satu tangan lain yang mengambilnya juga bersamaan denganku. Aku terkejut dan langsung melepaskan daun itu.
“Doni?” teriakku histeris setelah mendongak ke arahnya, jantungku rasanya mau copot melihat kehadiran Doni tiba-tiba ada dihadapanku. Aku nggak tahu mau bilang apa, perasaanku sudah campur aduk antara senang dan terharu. Akupun langsung berdiri dan Doni juga. Seketika tanganku menjurus untuk memeluk Doni.
“Eits, katanya bukan muhrim” sahut Doni dengan sedikit menjauh dariku.
“He he he, iya lupa” kataku terkekeh. “Kenapa kamu bisa ada disini?” tanyaku dengan air mata yang mulai mnggenang karena saking terharunya.
“Kan disuruh jagain kamu” jawabnya santai.
“Kenapa kamu pakai baju sepertiku, bukannya kamu kuliah di ITB?” tanyaku lagi memastikan.
“Aku kuliah disini May”
“Apa! kok bisa?” teriakku dengan dahi mengkerut.
“Bisanya taruk di depan koknya di belakang, jadi bisa kok” jawab Doni mulai ngelawak.
“Ih, yang serius dong” kataku merengek
“Aku daftar juga di UI dan diterima”
“Berarti sekarang kamu kuliah disini?”
“Iya jagain kamu, aku orangnya amanah. Aku juga nggak mau dipecat sama calon mertua gara-gara nggak nepatin janji” tutur Doni dengan gaya bicaranya yang khas. Aku dan Doni masih berada di tengah halaman kampus, hanya berdua dan ini adalah momen yang aku nantikan. Aku senang sekali bisa ada Doni disini.
“Iya, jurusan apa?” jawabku tresenyum
“Sastra” katanya. “Kamu dihukum?”
“Iya, tuh sama kakak yang songong itu” kataku dengan menggerakkan dagu kedepan dengan wajah kesal.
“Ya udah aku bantu ya?”
“Boleh. Doni?”
“Iya”
“Aku rindu” kataku berbisik
“Kan udah ketemu”
“Tapi masih rindu” tuturku seperti orang yang manja
“Ya udah sini aku peluk” dengan entengnya dia menjawab sambil membentuk tangannya setengah lingkaran.
“Emang boleh?”
“Jangan lama-lama setengah detik” aku mendengar ucapannya tersenyum keran itu mustahil mana mungkin bisa dalam waktu setengah detik bisa meluk, paling belum meluk udah habis waktunya.
“Mustahil!” kataku
“Iya juga sih” katanya seraya menurunkan tangannya. “Nanti, kalau sudah sah”
Lagi-lagi dia selalu membuatku tersenyum bahagia. Aku senang dengan sifatnya yang seperti itu. Jika kalian tidak, mungkin kalian belum pernah merasakan atau nggak punya pasangan.
Donipun membantu memungut sampah dan aku membuangnya ke tong sampah yang ada di depan kelas pertanian. Dan semuanya sudah beres! Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang aku ajukan, tapi aku lihat di pintu ada kak Andi yang memperhatikanku dengan Doni, entahlah apa pendapat dia aku juga nggak peduli. Yang penting sekarang udah ada Doni, terimakasih Tuhan sudah membawa Doni kesini. Gumamku.
“Aku beliin minum ya?” tawar Doni
“Nggak usah, tuh lihat udah ada kak Andi di pintu” kataku pelan
“Okay, nanti aku telpon setelah pulang OSPEK”
Donipun berlalu dari hadapnku hingga tubuhnya kelihatan kecil dari jauh. aku mulai masuk kelas setelah dari tadi kak Andi menyaksikanku. Sungguh ini adalah OSPEK yang paling menyebalkan bagiku. Tapi aku juga berterimakasih pada kak Andi karena dengan aku dihukum, aku bisa ketemu sama Doni. Tak lupa juga kepada Allah. Thanks God!
###
OSPEK selesai dan semua berhamburan keluar mneuju parkiran sepeda motor dan mobil. Aku menuju parkiran sepeda motor bersama Asma kemudian keluar dari gerbang.
“Bentar Asma” kataku menepuk pundaknya
“Doni nelpon” kataku seraya Asma menghentikna sepeda motornya. Akupun mengangkat telepon dari Doni.
“Di mana?” tanya Doni, terdengar dari hpnya suara deru sepeda motor yang sangat berisik, hingga aku sedikit mnegeraskan suara.
“Di luar gerbang”
“Ok, tunggu!”
“Iya”
Tutt, tutt, tutt
“May tunggu bentar ya” kataku dengan mendekatkan kepala pada Asma
“Ada apa?”
“Nunggu Doni”
“Hah, kok bisa bukannya Doni ada di---“
“Nanti aku ceritain” kataku memutus pembicaraan Asma yang belum selesai.
Kemudian aku menunggu Doni, dan tak lama kemudian dia muncul dengan sepeda motor bebek yang sudah di modif. aku heran, kenapa dia memakai sepeda motor macam itu, bukankah dia orang mampu. Ah, aku semakin cinta Doni. Aku tidak mengejek, bahkan aku suka dengan gayanya yang sederhana.
“Hai” sapa Doni seraya membuka helmnya. Aku dan Asma menoleh. “Yuk aku antar” katanya
“Di bonceng?” tanyaku pura-pura. Aku tahu selama Doni berpacaran denganku sama sekali dia belum pernah menyetuh apalagi tanganku. Aku sangat ingat pesannya. Dia bilang tidak akan pernah menyentuh selama dia belum memilikiku seutuhnya dengan kata menikah. Inilah yang aku kagumi dari seorang Doni. Ya Doni macam Dilan tapi versi pesantren meskipun sudah berhenti. Aku harap kalian tidak usah baper, cukup aku aja sebagai pasangannya.
“Aku ikuti dari belakang”
“Iya”
Akhirnya motor Asma melaju diikuti Doni dari belakang. Aku tahu pikiran Asma sekarang, pasti dia bertanya-tanya dalam  hatinya kenapa Doni bisa ada di sini, terus kenapa aku nggak di bonceng dan pertanyaan yang lainnya. Baiklah Asma nanti setelah sampai di kosan aku akan ceritakan semuanya.
###
“Kamu ngekos dimana?” tanyaku setelah sampai di depan gerbang dan turun dari motor Asma. Sedangkan Asma langsung ke dalam untuk memasukkan motornya.
“Aku tinggal di rumah kakek”
“Oh berarti kamu ada kakek disini?”
“Iya, kamu langsung istirahat. Aku mau balik” kata Doni
“Iya, hati-hati”
Doni mengangguk kemudian memasang helmnya lagi. Setelah itu dia pergi bersamaan dengan bunyi deru motor yang tersisa. Kalian harus tahu, bahwa aku masih ingin berlam-lama dengan Doni. Tapi sudah cukup Maya, karena Doni sekarang sudah kuliah di UI, kamu tidak perlu khawatir setiap saat kamu bisa bertemu dnegannya. Aku nggak nyangka dia akan melakukan semuanya demi aku. Bukankah dia kuliah di ITB, lantas kenapa memilih UI. Aku yakin dia benar-benar ingin menjagaku. Doni aku cinta kamu.
###

Assalaamualaikum semua...masya allah akhirnya DDG bisa up lagi, hehehe...
nggak mau tahu ya, pokoknya komen sebanyak-banyaknya
hihiwww

Buat kalian yg rindu gus Raka, Maya ataupun Doni. Silahkab baca, sudah akak up.

selamat membaca...sorry tanpa edit. Kalau nggak ngerti silahkan bisa tanya langsung ke akak. Soalnya dr depan nggak diedit, jadinya malas mau ngedit lagi heheh harap dimaklumi

"Libatkan Allah dalam segala hal"
😊☺😘😘😘

DULU DIA GUSKU (Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang